Kini, Haikal harus belajar hidup mandiri, tak lagi siapa yang mengharapkan perlindungan atau pembelaan dari kata-kata. Waktu senggang yang seharusnya menjadi masa bermain bersama teman-teman, malah ia habiskan dengan belajar, mengejar mimpi yang tampak jauh. Terkadang, bocah itu mencari uang saku tambahan dengan berjualan di dekat persimpangan jalan atau taman kota, mencari cara untuk bertahan.
“Kalau aku sudah besar dan bisa mencari uang sendiri, aku mau ketemu Ibu. Aku mau tahu alasan kenapa Ibu buang aku,” ucap Haikal, suara kecilnya datar, tanpa satu pun jejak kesedihan. Ia tak lagi menangisi kenyataan yang terus ia hadapi. Usianya yang kini menginjak 9 tahun membuatnya merasa jauh lebih dewasa dari anak seusianya. Empat tahun telah berlalu sejak ia ditinggalkan, dan Haikal tahu ia telah bertahan begitu lama—lebih lama dari yang ia kira.
Haikal Bachtiar Janu, bocah pemerintahan yang tak pernah tahu seberapa lama ia bisa terus bertahan seperti ini, tetap tegar meski hati kecilnya sering berteriak.
Kehidupan yang tak pernah dirayakan oleh siapa pun, telah menjadi bagian dari kesehariannya. Setiap langkah yang ia ambil, seolah-olah dihantui oleh derita yang tak kunjung berakhir. Begitu dia meminta sedikit tawa, namun yang datang justru semakin mendalami luka yang tak bisa dia hindari.
Oleh karena itu, saat menyaksikan perayaan ulang tahun anak panti lainnya, Haikal lebih memilih mengasingkan diri. Bu Patmi dan pengurus lain sering bertanya-tanya tentang sikapnya terhadap perayaan ulang tahun. Bagi banyak orang, hari itu seharusnya penuh kebahagiaan, tapi bukan bagi Haikal. Perayaan ulang tahunnya yang pertama berakhir dengan dirinya ditinggalkan oleh sang ibu. Lalu, di usianya yang tujuh tahun, ia mencoba memberanikan diri untuk dirayakan oleh para pengurus panti. Namun, alih-alih kebahagiaan, yang didapatnya malah pelanggaran. Perayaan tanpa ucapan, tiup lilin yang terasa hampa, diakhiri dengan terjadinya kebencian dan jebakan di dalam toilet yang berlangsung seharian. Katanya, jika seseorang menghilang tanpa ada yang peduli, berarti mereka tidak berharga. memangnya begitu?
Seharian terkurung di dalam toilet yang sudah jarang dikunjungi, tubuh lemas tanpa makanan, badan kedinginan di tengah hujan deras, Haikal bertanya-tanya, apakah memang tak ada satu pun yang peduli padanya? Setelah kejadian itu, haruskah ia merayakan hari yang paling menyakitkan itu lagi? Perayaan yang hanya membuat Haikal semakin membenci dirinya sendiri, semakin merasa terasing, dan semakin menyalahkan Tuhan.
Meskipun hidupnya terbatas dalam kasih sayang dan materi, bocah itu memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap pendidikannya. Selama di sekolah dasar, tak pernah sekalipun namanya absen dipanggil saat kenaikan kelas untuk menerima penghargaan sebagai pelajar berprestasi. Bu Patmi adalah satu-satunya orang yang selalu mendukungnya dengan sepenuh hati, bahkan saat pihak sekolah meminta salah satu anak asuhnya untuk menjadi perwakilan dalam Olimpiade antar Kabupaten atau Provinsi. Oleh karena itu, Haikal diberikan kamar sendiri—sebuah ruang di mana ia bisa belajar tanpa gangguan dari anak-anak lain.
Namun, apakah karena itulah dia dibenci? Rasa iri memang bisa membutakan hati, membuat orang lupa pada kebaikan yang diberikan seseorang. Tak hanya anak kecil, bahkan orang dewasa yang seharusnya bijaksana seringkali tak mampu menghindari perasaan itu. Iri, terkadang, datang tanpa bisa dikendalikan. Dan celana anak-anak lainnya pun tidak sepenuhnya salah karena mengucilkan Haikal. dan perasaan mereka juga selalu mudah untuk dikelola. Yang bisa dilakukan hanyalah menjalani apa yang bisa kita kendalikan. Bagi Haikal, menjauh dari keramaian adalah cara terbaik untuk menghindari gangguan yang semakin menyesakkan hati.
Dan seperti biasanya, rutinitas itu terus berulang. Setiap pulang sekolah, selalu ada saja yang dilakukan Nizar. Kali ini, bocah dengan seragam aneh dan rambut acak-acakan itu kembali membuat duplikat, menjahili Haikal seperti biasa. Sepatu baru yang dibelikan Bu Patmi setelah Haikal menjadi juara umum kini hilang entah ke mana. Setelah mencari ke sana kemari, sepatu itu akhirnya ditemukan dalam bak sampah, rusak parah dengan sobekan dan lubang di sana-sini. Kaki Haikal pulang tanpa alas, menapaki jalan berbatu yang cukup jauh. Tapi itu tidak membuatnya menangis. Ia semakin murung, semakin terbungkam oleh dunia yang tampaknya terus menekan dan mengabaikannya.
"Loh, Haikal kenapa gak pakai sepatu? Sini Ibu lihat!" Bu Patmi terkejut begitu melihat Haikal pulang dengan kaki yang memerah, tergores jalanan yang tajam.
“Haikal enggak apa-apa, Bu.Haikal izin ke kamar ya?” Haikal berusaha menahannya agar tidak terlihat kecewa. Ia tak ingin Bu Patmi tahu bahwa sepatu yang beliau beli dengan penuh kasih telah hancur, hanya karena ulah Nizar.
Untungnya, hanya sebelah sepatu yang disayat, jadi malam itu Haikal mengabaikan waktu belajarnya untuk menjahit sepatu itu sendiri. Tidak peduli bagaimana jadinya setelah dijahit tangan, yang penting baginya adalah nilai dan makna dari sepatu tersebut. Ia tak ingin membuat orang yang selalu peduli padanya, Bu Patmi, merasa sedih karena kehilangan sesuatu yang penuh harapan.
Sebelum tertidur, Haikal merebahkan tubuhnya di kasur dan menatap langit-langit kamar. Saat ini menjadi pengungsi, tempat di mana ia bisa tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia kerap termenung, memikirkan masa depan yang masih penuh tanda tanya. Mungkin suatu hari nanti, ia akan terlepas dari pandangan sebelah mata, dikelilingi oleh orang-orang yang benar-benar peduli padanya. Karena, terkadang, baik saja tidak cukup untuk membuat orang bertahan. Mungkin juga suatu hari nanti, ia bisa tertawa tanpa rasa takut, tanpa dihantui penilaian orang yang selalu menghakimi hanya karena satu kesalahan kecil.
Sesederhana itu, kan, untuk bisa merasa bahagia?
Namun…
"Akankah semua itu berlaku untukku?" Haikal tipis tersenyum, seperti ada ironi dalam pertanyaannya sendiri. Pertanyaan yang terasa bodoh sekaligus angkuh.