Entah ditinggalkan atau ditinggalkan, namun dia hanyalah seorang anak kecil—rapuh, tak berdaya, keberadaannya terukir dari cinta dan keputusan mengungkapkan orang tua yang membawa menjejak Dunia.
“Dari berjuta-juta manusia, kenapa Tuhan membiarkan aku sendirian?”
— Haikal Bachtiar Janu
“Ikal…”
Haikal tertegun, tubuhnya serasa membeku saat mendengar suara yang begitu familier, namun terasa semakin asing di telinga. Nama itu, yang biasa ia dengar dengan penuh kehangatan, kini terdengar jauh dan dingin.
“Ibu?” suaranya aneh, hampir tak percaya.
Ratih, di sana, berdiri tanpa bergerak, tak berniat mendekat atau mengulurkan tangan seperti dulu. Tak ada senyum, tak ada air mata. Wajahnya pucat, seperti tak ada kehidupan di sana. Mereka hanya saling memandang, jarak di antara mereka terasa semakin lebar, seperti ada ribuan kata yang terpendam namun tak bisa diucapkan. Keheningan yang begitu tebal di sekeliling mereka, seolah-olah dunia berhenti sejenak.
Langkah Ratih perlahan mendekat, namun setiap langkahnya terasa berat, seperti dipenuhi keraguan dan ketakutan. Haikal hanya bisa berdiri di tempatnya, tak tahu harus berbuat apa. Sosok yang pernah memberikan kasih sayang itu, kini hanya tampak sebagai bayangan yang sulit dikenali. Bagaimana bisa ia, yang pernah meninggalkannya begitu saja, kembali muncul di hadapannya? Apa yang terjadi pada ibu yang dulu selalu menyayanginya?
“Jaga diri kamu, ya. Ibu nggak sanggup mengurus kamu lagi.”
Kata-kata itu terucap tajam, seperti pisau yang menghujam langsung ke hati Haikal. Ratih tidak menoleh lagi. Setelah mengucapkan perpisahan yang begitu menyakitkan, ia berbalik dan berjalan meninggalkan putranya, tanpa ragu sedikit pun.
Haikal sesaat, perasaan sesak menghimpit dada. Namun, begitu ibu mulai menjauh, langkahnya tiba-tiba berubah menjadi lari. Hujan yang turun lebat tak membuatnya gentar. Ia hanya ingin menghentikan langkah Ratih yang sudah jauh di depannya.
"Ibu, enggak boleh pergi lagi! Haikal... Haikal takut, Bu!" Haikal berteriak, hampir tak bisa menahan isakan yang mulai pecah.
Begitu dia berhasil memahami pemahaman tangan Ratih, ia merasa ada harapan. Namun, Ratih, tanpa ekspresi, menghempaskan tangannya dengan kasar. Setiap detik yang berlalu semakin menghancurkan hatinya. Sekali lagi Ratih meninggalkannya, kali ini dengan cara yang jauh lebih nyata dan menyakitkan. Tanpa penjelasan, tanpa alasan.
Sejak kepergian ayahnya, Haikal berusaha menjadi anak yang baik, anak yang bisa diandalkan, bahkan lebih dewasa dari usia yang seharusnya. Saat Hasybi ketakutan, Haikal akan selalu ada untuk melindunginya, meski ia sendiri tidak tahu harus bagaimana menghadapi ketakutannya sendiri. Tetapi kini ia bertanya-tanya, siapa yang akan melindunginya jika orang yang seharusnya memberikan perlindungan justru pergi begitu saja?
"Kenapa Ibu pergi lagi? Apa karena Haikal banyak permintaan? Kak Abi juga kenapa harus ikutan pergi?" Pertanyaan-pertanyaan itu menggema di hati Haikal, seiring dengan matanya yang mulai meniru oleh air mata. Ia kembali menunduk, duduk sendirian di bawah perosotan meskipun hujan sudah berhenti lama. Ada perasaan berat yang mengikat langkahnya, tak ingin kembali ke celana dalam—tempat yang kini terasa seperti penjara bagi hatinya yang hampa. Ia merasa benar-benar sendirian, terbuang, dan tak ada lagi yang peduli.
Perutnya mendengung, suara kelaparan yang semakin nyata seiring waktu yang terus berjalan. Dengan malas, Haikal menyeret langkah kecilnya menuju panti. Apa lagi yang bisa ia lakukan? Kini, rumahnya tak lagi memiliki arti. Tak ada tempat lain yang ia kenal selain panti ini—tempat yang meskipun penuh dengan orang, tetap membuatnya merasa asing dan sendiri. Ia masih kecil, dan dunia ini terlalu besar untuknya. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain pergi ke sekolah atau bermain—sesuatu yang tampak begitu jauh dari harapan yang selama ini ia pendam.
“Haikal, masuk nak! Sudah malam, nanti besok sekolahnya kesiangan loh,” Bu Patmi memanggil dengan suara lembut, membujuk Haikal untuk kembali ke dalam panti. Ia sudah terbiasa dengan sikap Haikal yang sering kali duduk lama di halaman, seakan menunggu sesuatu yang tak pernah datang.
Seperti rutinitas yang tak pernah berubah, meski baru saja bertemu dengan ibunya, Haikal kembali menduduki tempat yang sama, menunggu tanpa tahu untuk apa. Hanya berharap, meski tahu harapannya itu sering kali sia-sia. Setiap hari berulang, begitu juga dengan bulan yang berganti, tahun yang berlalu, dan Haikal tetap di sana—terjebak dalam harapan yang tak kunjung terwujud.