Usai pelukan yang tak terduga itu, Digma dan Fara berdiri canggung di rooftop sekolah. Mereka sama-sama diam, bingung harus berkata apa.
Digma ngusap tengkuknya, berusaha mencari kalimat yang tepat untuk memecah suasana canggung di sekitar mereka. Dia sendiri sebenarnya masih tidak mengerti mengapa tiba-tiba memeluk gadis itu. Mungkin karena kata-kata Fara tadi membuatnya sedikit lebih kuat. Atau ... memang ia sedang butuh pelukan menenangkan saja.
Fara pun terlihat salah tingkah. Wajahnya memerah, namun ia mencoba tak acuh sambil sibuk melipat ujung roknya. Berusaha berpura-pura tidak terjadi apa-apa di antara mereka.
Perlahan, Digma pun buka suara. "Eh, Ra ... gue masih utang ngajarin lo taekwondo, kan?"
Fara langsung mengangkat kepala. "Hah? Oh, iya ... tapi nggak apa-apa, santai aja. Kalo lo ada waktu aja."
"Gue ada waktu hari ini. Pulang sekolah nanti ikut gue ke tempat latihan. Gue janji kali ini gue bakal ngajarin lo."
"Lo yakin?" Fara melirik curiga, ia masih ingat bagaimana latihan mereka kemarin bubar karena cowok itu mulai kehilangan fokus setelah mendengar ucapan Atha.
"Yakin banget. Nanti biar gue tendang si Atha, biar nggak ganggu kita lagi."
"Bukti yang hilang itu gimana?"
Digma tersenyum tipis. "Besok gue cari cara. Untuk saat ini, keselamatan lo jadi tujuan utama gue. Lo harus bisa jaga diri."
Fara ikut tersenyum kecil. Merasa lega karena Digma sudah bisa tersenyum dan melupakan kesedihannya. "Oke, deal. Tapi gue nggak mau latihan sampe babak belur ya!"
"Tenang aja, lo aman kalo sama gue."
***
Usai jam sekolah berakhir, Fara menunggu Digma di depan gerbang sambil sesekali melirik jam di pergelangan tangan. Belum lima menit, motor Digma berhenti tepat di depannya.
"Udah siap?" tanya Digma seraya memberikan helm cadangan untuk Fara.
Fara mengangguk. "Siap, Kapten."
Mereka berdua pun melaju menuju gedung tempat latihan klub taekwondo Digma.
Sesampainya di gedung latihan, mata Fara terpaku pada poster besar bertuliskan "Train Hard or Go Home" di dinding. Beberapa peralatan taekwondo seperti samsak dan pelindung kepala tertata rapi di sudut ruangan.
"Udah berapa lama lo ikut taekwondo, Dig?" tanya Fara penasaran.
"Udah lama. Dari SD kelas 5 gue udah latihan di sini," tutur Digma sambil berjalan ke arah lemari di pojok ruangan. Dia mengeluarkan seragam taekwondo cadangan dan memberikannya ke Fara. "Nih, pake ini."
"Gue pake seragam juga?"
"Ya iyalah. Entar kalo ada kontak fisik, lo aman. Pake pelindung kepala, tangan, sama kaki juga."
Fara masuk ke ruang ganti dan berganti pakaian. Setelah selesai, dia keluar dan berdiri kikuk. "Gue keliatan aneh nggak?"
Digma ngeliatin Fara sebentar, lalu senyum tipis. "Lo keliatan ... oke."
Fara mendelik, "Itu pujian atau ejekan?"
"Pujian."
"Bohong."
"Beneran. Cewek cantik mah pake apa aja tetep cantik."
"Apaan sih." Fara mencebik sambil memalingkan muka. Berusaha menutupi pipinya yang mulai memerah panas.
"Lo gue puji nggak pernah percaya."
"Gue curiga!" Fara mengacungkan telunjuknya. "Pasti selain diajarin taekwondo, anggota di sini juga diajarin gombal, kan?"
"Jangan aneh-aneh deh, Ra." Digma mengulum senyum. "Dah, mulai latihan aja." Ia pun dengan segera mulai mengajarkan Fara beberapa gerakan dasar.
"Oke, yang pertama, lo harus belajar sikap kuda-kuda dulu. Buka kaki selebar bahu, badan agak rendah, dan tangan siap di depan."
Fara mengikuti instruksi Digma, namun keseimbangannya masih kacau. "Gini?"
"Belum pas." Digma maju dan membenarkan sedikit posisi kaki Fara. Tangannya pun akhirnya tak sengaja menyentuh pinggang gadis itu, membuat keduanya langsung membeku sejenak.
Jantung Digma mulai berdegup kencang. Dia buru-buru mundur sambil merasakan pipinya yang mulai memanas.
"Eh, lanjut ya," kata Digma, berusaha mengalihkan suasana.
Di depannya, Fara juga salah tingkah. Namun ia berusaha pura-pura tidak peduli dan kembali fokus latihan.
Tak terasa, sudah hampir satu jam mereka latihan. Aula utama yang sepi membuat keduanya terbawa suasana latihan yang intens dengan sedikit candaan. Untung saja hari ini sang pelatih memberikan pengumuman di grup WhatsApp bahwa ia ada kepentingan keluarga. Jadi semua anggota tak ada yang datang untuk latihan rutin.
Mereka pun memutuskan duduk di lantai untuk beristirahat sejenak setelah napas mereka hampir habis. Fara mengelap keringat di dahinya, sementara Digma mengecek ponselnya.
Tiba-tiba, sebuah pesan masuk ke ponsel Digma. Cowok itu pun membacanya dengan cepat. Matanya melebar. Mulutnya terbuka tak percaya.
"Abian ... siuman!" seru Digma girang. Suaranya penuh rasa lega.
Fara ikut terkejut. "Serius? Abian udah sadar?"
"Iya, Ra! Gue harus ke rumah sakit sekarang."
"Ya udah, gue pulang sendiri naik ojek online aja. Lo cepetan ke sana."
"Nggak, gue anter lo pulang dulu."
"Kelamaan Digma. Gue bisa naik ojek."
"Beneran lo nggak apa-apa?"
"Serius. Gih, sana!" Fara mendorong pelan bahu Digma.
Dengan penuh pertimbangan Digma akhirnya mengiyakan dengan satu syarat. "Tapi kalo dah nyampe, lo harus kabarin gue," pesannya sambil mengambil jaket.
Fara mengangkat tangan memberi gerakan hormat. "Siap, Kapten!"
Sebelum pergi, dia sempat melirik Fara sambil tersenyum tipis. "Makasih, Ra. Hati-hati di jalan ya."
Fara hanya balas tersenyum kecil sambil melambaikan tangan.
***
Dalam perjalanan pulang naik ojek online, mata Fara terus terpaku melihat layar ponselnya. Sebuah video satu bulan lalu yang pernah ia rekam diam-diam tak sengaja terpikirkan kembali oleh gadis itu. Jantungnya berdegup cepat saat membayangkan harus mengungkap video berdurasi kurang lebih setengah menit tersebut.
Fara menggigit bibir bawahnya, gelisah. Setelah memikirkan segala konsekuensinya, gadis itu pun akhirnya menepuk bahu sang supir.
"Pak, maaf. Tolong puter balik, ya. Ke Rumah Sakit Permata Harapan. Saya bayar biaya tambahannya."
"Siap, Mbak."
Namun di tengah perjalanan, suara deru knalpot bising terdengar mendekat dari belakang.
"Eh, kenapa, ya, Pak?" tanya Fara curiga.
"Kayaknya ada yang ngikutin kita, Mbak..."
Sebelum supir ojek itu dapat menjelaskan situasi aneh yang terjadi, sebuah motor lain tiba-tiba menyalip dan berhenti tepat di depan mereka. Dari arah berlawanan, sebuah mobil hitam juga muncul dan memblokir jalan.
Jalanan sepi. Malam semakin larut. Tak ada pengendara lain yang melintas selain mereka. Fara turun dari motor dengan degup jantung yang semakin berdebar kencang.
Tiga orang berjaket hitam turun dari motor masing-masing, wajah mereka ditutupi masker hitam.
"Heh, mau kalian apa?" teriak supir ojek setelah turun dari motor. Tangannya sudah mengepal di depan, bersiap membela diri dan sang penumpang.
Namun salah satu dari mereka sudah maju lebih dulu dan langsung melumpuhkan supir ojek dengan satu pukulan ke rahang.
Fara berteriak kaget. Dengan terburu-buru, gadis itu mengeluarkan ponselnya dan hendak menghubungi Digma. Namun belum sempat memencet tombol telepon, salah satu dari mereka berhasil merampas ponsel Fara dan melemparnya ke aspal.
"Lo ikut kita," suruh yang lainnya sambil menarik kasar tangan Fara.
Fara meronta, namun tetap saja tenaganya tak cukup kuat untuk melawan. Dengan panik, ia pun menendang dan memukul sebisanya dan berakhir dengan percuma.
Tubuh Fara kini telah diseret untuk masuk ke mobil hitam. Sementara supir ojek kini sudah tergeletak tak sadarkan diri di jalan.
Keempat orang tak dikenal itu pun sudah pergi dari tempat kejadian. Meninggalkan supir ojek dan ponsel Fara yang mati dengan layar separuh retak.