Setelah beberapa menit berkutat dengan laptop dihadapannya, perlahan alis Atha tertaut.
"... Digma."
Mendengar namanya dipanggil, Digma yang masih mager di kasur Atha pun bangkit dan mendekatkan diri ke laptop. Satu tangannya bersandar di meja. "Apa? Lo nemu videonya?"
Atha mengusap wajah, frustasi. "Nggak ada. Nggak ada satu pun foto atau video Gery ngebully orang. Isinya cuma chat receh sama foto-foto nggak penting."
Wajah Digma menegang. Cowok tinggi itu langsung merebut laptop hendak mengeceknya sendiri. "Mana mungkin! Ponsel anak buahnya Gery pasti ada sesuatu! Masa bersih begini?!"
Jemari Digma bergerak di atas touchpad, mengklik berbagai folder tersembunyi, namun tetap saja hasilnya nihil. Rahangnya mengeras, tangan mencengkeram ujung meja, frustasi."
"Brengsek!" umpat Digma sambil menutup laptop dengan agak keras. Ia menarik napas berat.
Atha melihat raut kesal Digma, namun tak banyak yang dapat ia lakukan. Cowok yang kini sudah memakai piyama itu lalu bersandar di kursi sambil menyilangkan tangan di dada. "Gue udah bilang, Gery bukan orang sembarangan. Dia pasti udah bersihin semuanya jauh sebelum kita kepikiran buat nyari bukti. Dan ... ponsel yang lo retas itu bukan anak buah Gery. Ada beberapa chat yang nunjukin kalo dia adalah salah satu VIP yang Gery undang secara khusus di Nirvana Zone."
Digma mengacak rambutnya sendiri. Kakinya tak henti-hentinya berjalan bolak-balik. "Tuh kan! Apalagi VIP. Dia pasti pegang lah setidaknya satu video kejahatan yang mereka lakuin bersama di tempat itu!"
Atha mengamati teman dekatnya itu, lalu berbicara dengan perlahan."Mungkin... lo harus cari cara lain. Bukan dari hape anak buahnya, tapi dari orang yang pernah jadi korban dia."
Langkah Digma terhenti. Ia menatap Atha dengan pandangan berpikir. Meskipun masih ada perasaan kesal, namun perlahan ide dari Atha mulai masuk akal.
"Hape Abian?" tanyanya sambil menghela napas berat dan menyandarkan punggung di dinding.
***
Langkah kaki Gery dan dua temannya, Alex dan Reksa, menggema di lorong seperti aba-aba kehancuran yang pelan-pelan datang. Mereka tidak berkata apa pun, tapi arah pandang mereka jelas. Satu titik: Fara.
Setibanya di kelas, Gery langsung melangkah cepat ke bangku Fara. Ia tak berkata apa-apa—hanya menatap. Lalu tanpa permisi, ia menurunkan tubuhnya hingga sejajar dengan Fara yang tengah duduk, membuat gadis itu bisa melihat luka gosong di leher Gery dengan jelas.
"Ra..." ucap Gery, nadanya dingin, pelan, namun mengandung bara. Tangan kanannya menyentuh ujung rambut Fara dengan gerakan yang terlalu lembut untuk niat yang jahat. "Lo kok nggak nolongin gue kemarin?"
Fara terdiam. Tubuhnya menegang. Matanya tak berani menatap balik. Ia hanya bisa menunduk, seolah sedang berdiri di tepi jurang.
"Lo liat kan gimana cowok brengsek itu nyakitin gue?" lanjut Gery. Tatapannya menusuk. Nafasnya berat. "Lo diem aja kemarin, kenapa?"
Fara menggigit bibir. Ia tahu ia harus jawab. Tapi tenggorokannya kering. Akhirnya, dengan suara pelan ia bertanya, "Lo... nggak nangkep Digma, kan?"
Senyum Gery terangkat perlahan. Bukan senyum yang menghibur, melainkan menyakitkan.
"Lo belum tau, ya?" bisiknya.
"Wah lo belum tau? Dia hampir habis sama Gery di Nirvana Zone," timpal Alex mengompori Fara.
"Seru banget liat mereka berdua lawan kita sama anak-anak lainnya." Reksa berseru sambil tertawa bangga.
Digma nggak apa-apa, kan?" Fara menatap Gery, suaranya bergetar.
Gery tak langsung menjawab. Ia menatap Fara lama, lalu berkata datar, "Gue nggak bisa jamin hal itu."
Seketika, pikiran Fara dipenuhi bayangan buruk. Napasnya tercekat. Ia berdiri refleks, ingin berlari mengecek keadaan Digma. Tapi belum sempat bergerak jauh, tangan Gery mencengkeram lengannya.
"Mau ke mana lo?" bisik Gery. Genggamannya makin kencang, membuat Fara meringis.
"Lepasin dia." Suara berat itu datang dari arah pintu.
Semua menoleh. Digma berdiri di sana, wajahnya dingin, namun matanya menyala oleh emosi yang ditekan kuat-kuat. Ia berjalan cepat, lalu menarik tangan Gery dari lengan Fara.
"Gue udah bilang, urusan lo sama gue. Jangan bawa-bawa dia."
Gery tertawa. Suaranya mengejek, keras, penuh kemenangan. "Kalo gue nggak mau, kenapa emangnya?"
Digma menghela napas lelah. "Gue bakal lakuin apapun yang lo mau." Digma melangkah lebih dekat ke Gery, menatapnya dengan tatapan yang penuh peringatan. "Dengan satu syarat, lo ga bakal ganggu dia lagi," lanjutnya tegas.
Gery menyeringai. "Serius lo? Apapun yang gue mau?" Ia terlihat berpikir beberapa detik. "Oke, gue setuju. Lo datang ke lapangan belakang sore ini, gue kasih lo kerjaan. Jangan sampe kabur lo!" jawab Gery dengan tatapan penuh tantangan. Ia menoleh ke gengnya yang ikut tertawa.
Gery dan gengnya akhirnya pergi dari kelas Fara, meninggalkan suasana tegang. Digma menatap mereka pergi, lalu dengan cepat menaruh tasnya di meja Fara dan mendekati gadis itu. Ekspresinya lebih lembut, meskipun masih jelas ada kecemasan di matanya.
"Ra, lo nggak apa-apa, kan?" tanyanya pelan dan lembut.
Fara tak langsung menjawab. Ia menatap tubuh Digma, mencari-cari luka. "Gery... dia nyakitin lo kemarin, kan?"
Menyadari Fara mencemaskan orang yang salah, membuat Digma tertawa mengejek. "Yang harus lo pikirin itu di lo sendiri. Gue bisa jaga diri, Ra," terang Digma memegang kedua bahu Fara lembut.
Mata Fara berkaca-kaca perlahan. Ia memukul lengan Digma kecil. "Lo bisa nggak sih sehari aja jangan terlibat sama dia? Gue takut Dig. Gue takut lo kenapa-napa!" erang Fara menatap Digma kesal.
Melihat reaksi Fara membuat Digma melirik sekeliling. Untung saja hanya ada satu dua anak yang baru tiba. Mereka memandang Digma dan Fara bingung.
"Sshhtt! Udah ya, Ra." Digma berbisik pelan. "Temen sekelas lo pada curiga."
Fara menarik napas panjang. Ia mulai tenang dan kembali menatap Digma tajam. "Pokoknya kalo ada apa apa kabarin gue."
"Iya, Fara," jawabnya pelan. Sorot matanya menenangkan.
Bel masuk berbunyi. Digma kembali ke kelasnya.
Namun saat Fara hendak membereskan tasnya, ia melihat tas hitam Digma tertinggal di mejanya. Ia memutuskan akan menunggu Digma datang kembali mengambil tasnya. Tapi sejak tadi Digma tak kunjung datang.
Di tengah pelajaran matematika, tanpa sengaja Fara menyenggol tas itu. Resleting yang tidak tertutup sempurna membuat sebuah sarung tangan taekwondo menjuntai keluar.
Fara terdiam.
Pelan-pelan, ia membuka tas itu lebih lebar. Di dalamnya, seragam taekwondo lengkap terlipat rapi.
"Hah? Digma bisa taekwondo?" bisiknya tak percaya. Tangannya gemetar saat menyentuh sarung tangan itu.
Ia menunduk. Matanya berkabut oleh kebingungan.
"Kenapa dia nggak pernah bilang?" gumamnya. "Kalau dia bisa bela diri, kenapa dia nggak pernah lawan Gery? Apa yang sebenernya dia sembunyiin..."
Ia terdiam lama. Pandangannya mengarah kosong, seolah mencoba menyusun potongan-potongan teka-teki yang belum lengkap.
Dan di detik itu juga, Fara sadar—Digma bukan cuma sekadar murid pindahan biasa.