"Lagi pada ngobrolin apa nih? Kayaknya asik banget." suara santai itu datang dari Atha, dengan senyum khasnya yang tak merasa bersalah datang tanpa aba-aba.
Digma langsung tegang. Cowok itu tidak menyangka Atha akan datang hari ini. Apalagi muncul langsung di depan Fara.
Fara memicingkan mata, bingung. "Lo ... anak kelas mana ya?"
Seketika Digma mengatur ekspresinya. Ia harus tetap terlihat biasa saja. "Oh, ini Atha. Dia anak ... XI F 8. Jarang banget keluar kelas. Biasa anak introvert. Makanya lo asing kan liat dia?" ucap Digma cepat, menatap Atha penuh kode agar mengikuti alurnya.
"Introvert ya?" Atha melotot tak terima disebut introvert padahal hasil tes MBTI-nya dia adalah anak ekstrovert. "Ya, gue jarang keluar kelas. Tapi gue jago taekwondo loh."
"Oh ya?" Fara terlihat tertarik.
Digma mengusap wajahnya gusar. Bukannya disudahi, Atha malah memperlebar.
"Iya, nggak kayak Digma. Dia mah cupu. Di tendang aja jatuh! Dia gampang dibully kan di sekolah ini?"
"I-iya." Fara menoleh ragu, karena takut Digma tersinggung.
Jelas ia tersinggung. Ucapan Atha sepenuhnya bohong. Padahal faktanya ia lebih jago dalam taekwondo dibanding Atha. Tapi kini ia tak bisa mengelaknya.
Fara lalu berdiri. "Bentar ya, gue mau bayar makanan dulu."
Digma menggangguk cepat. Membiarkan Fara menjauh dari mereka.
Wajah Digma lalu berubah tajam."Lo gila? Kok lo nggak ngabarin gue dulu? Kalo ada yang curiga gimana?"
Atha terkekeh pelan, namun masih ada ketegangan tersamar di wajahnya. "Santai. Kelamaan kalo nunggu lo pulang."
Ia membuka tas selempangnya dan mengeluarkan kantong hitam kecil. Di dalamnya, tertata rapi beberapa alat: kamera mini seukuran kancing, alat penyadap suara, hingga perangkat pengacak sinyal.
"Ini semua yang lo minta kemarin kan? Tapi gue serius, Dig, lo harus cepet dapetin buktinya dan berhenti dari semua ini. Gery bukan sekadar pembully. Dia bisa ngelakuin hal yang lebih kejam kayak ke Abian."
Digma menatap perlengkapan itu, lalu kembali menatap Atha. "Gue tahu. Tapi selama gue belum dapet rekamannya, gue gak bakal mundur."
Atha menghela napas, lalu menepuk pundaknya.
"Lo keras kepala kayak biasa. Tapi inget, satu langkah salah ... nyawa lo yang jadi taruhannya."
Digma memasukkan alat-alat itu ke dalam kantong celananya dengan hati-hati. Saat Fara kembali, Atha langsung berdiri.
"Gue cabut, balik ke ... ya, kelas XI F ... itu," katanya sambil tersenyum lebar, lalu melenggang pergi.
Fara hanya mengangguk bingung, dan Atha pergi. Setelah makanan masing-masing habis, mereka lalu memutuskan kembali ke kelas. Tapi di tengah perjalanan, mereka memperlambat langkah, tenggelam dalam obrolan.
"Rumah lo di mana, Ra?" Digma memasukkan kedua tangan ke saku. Fokus berjalan beriringan dengan Fara.
"Di Jalan Buttercup. Lo?"
"Gue di jalan pegangsaan."
Fara menoleh. Tatapannya terkejut. "Jauh banget. Kenapa lo pindah ke sini?" tanyanya dengan kedua alis terangkat.
Digma memalingkan muka. Bingung hendak menjawab apa. "Karena ... karena ada hal yang harus gue lakuin," jawabnya sambil tersenyum santai. Tanpa Fara tahu, jantung Digma kini berdetak dua kali lebih cepat. Ia berharap gadis itu tak menanyakan hal itu lebih lanjut.
Fara mengangguk kecil. Ia kembali menatap koridor menuju kelasnya. Digma menghela napas lega diam-diam.
"Ra." Digma kembali memanggil. "Lo kenal Gery sejak kapan?"
Tatapan Fara menerawang. "Sejak gue jadi anggota PKS biasa. Dia datang, dan langsung nunjuk gue ketuanya. Padahal gue terkenal pasif di PKS. Dan itu mungkin alasan yang membuat Gery nunjuk gue."
Dahi Digma berkerut. "Bu Ega setuju?"
Fara tersenyum getir. "Siapa sih guru yang berani melawan Gery di sekolah ini?"
Digma pun terdiam. Ia menyetujui ucapan Fara. "Lo pernah mikir nggak sih ... dia udah kelewat batas di sekolah ini."
Fara menunduk. "Ya, dia terlalu sering... intimidasi anak-anak. Terutama yang keliatan lemah atau suka cari masalah sama dia."
"Lo bisa tunjukin ke gue tempat-tempat dia biasa lakuin itu?"
Fara mengangguk pelan.
Mereka pun mulai berkeliling sekolah. Mereka mulai menyusuri titik-titik gelap sekolah. Lorong belakang perpustakaan—sepi, dingin, dan sering dipakai untuk mengancam. Digma diam-diam menyelipkan satu alat kecil di balik dinding rak buku rusak. Fara tak memperhatikan. Ia sibuk mengenang cerita-cerita yang ditinggalkan korban Gery.
Selanjutnya mereka berjalan lagi ke lapangan voli indoor yang terbengkalai. Tempat beberapa siswa pernah dikunci semalaman. Digma menunduk, pura-pura mengikat sepatu, padahal menyisipkan alat penyadap kecil di sela net rusak.
Fara hanya memperhatikan langit. "Tempat ini ... dulu ramai. Tapi sekarang malah jadi saksi anak-anak dipermalukan."
"Lo pernah liat sendiri apa yang Gery lakuin di sini?" tanya Digma pelan.
Fara menggeleng. "Bukan di sini. Gue pernah liat di area belakang sekolah ..."
Kalimatnya menggantung, seolah kata-kata itu sangat sulit untuk ia keluarkan. Lidahnya kelu. Matanya mulai berkaca-kaca. Ada kenangan buruk yang tiba-tiba terlintas.
Digma menoleh. Sepertinya diamnya gadis itu punya alasan. Ia pun memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut.
Mereka pun lanjut ke gudang olahraga. Udara lembab berbau apek dan kayu lapuk menyambut mereka. Fara menunjuk ke balik tumpukan matras. "Katanya, dia pernah ngurung anak kelas 10 di situ. Gara-gara anak itu nolak ngerokok bareng gengnya."
"Parah ..." gumam Digma, sambil memutar tubuh, mencari spot untuk kamera. Ia menemukan celah di balik ventilasi tinggi. Dengan gerakan cepat, ia mengeluarkan kamera mikro dari sakunya.
Saat hendak menempelkan kamera, Fara tiba-tiba mendekat.
"Lo ngapain?" tanyanya, setengah bingung.
Digma refleks mundur setengah langkah, lalu ... menarik Fara perlahan ke arahnya. Wajah mereka nyaris bersentuhan. Napas Fara tercekat. Wajahnya langsung memanas. Matanya membulat.
"Jangan gerak dulu ..." bisik Digma, cepat dan lirih. Tangannya dengan cepat menyelipkan kamera ke balik ventilasi, menutupinya dengan tubuhnya agar tak terlihat.
Fara masih membeku, jantungnya berdentum cepat. "Dig ... apa—lo—"
"Maaf," potong Digma sambil perlahan menjauh. "Refleks. Lo datang tiba-tiba."
Fara berdiri kaku. Ia masih merasa aneh dengan momen barusan, tapi tidak tahu harus berkata apa.
"Lo ... aneh banget," gumamnya, mencoba terdengar ketus, meski nada suaranya lebih seperti orang gugup.
Digma hanya menyeringai, pura-pura tak tahu. Hingga tiba-tiba mata Digma menangkap sesuatu dari celah pintu gedung. Gery dan gengnya berjalan ke arah mereka, wajah-wajah mereka penuh tawa licik.
Digma kembali menatap Fara panik. Jika Fara tetap berada di dekatnya, gadis itu dalam bahaya.