Suasana kantin siang itu ramai oleh obrolan dan denting sendok garpu. Bau gorengan dan kuah kaldu soto bercampur menjadi satu, membuat perut Digma semakin lapar. Misinya memang penting, namun ia tetap tak boleh menunda jam makan siang. Ia harus mengisi tenaga sebelum Gery dan gengnya datang membuat drama.
Baru saja ia mengambil semangkok soto dan berjalan ke arah meja kosong, matanya menangkap sosok Fara. Gadis itu duduk menyendiri, sedang menyantap bakso dengan wajah yang sedikit murung. Alisnya sedikit berkerut, sendok di tangan kirinya bergerak lambat, seolah pikirannya mengembara entah ke mana.
Tanpa pikir panjang, Digma membelokkan langkahnya. Ia pun duduk di seberang gadis itu.
"Sendirian aja, Ketua PKS?" sapanya, mencoba terdengar santai.
Fara mendongak pelan. Mata mereka bertemu—ada sekejap keterkejutan di tatapan Fara, sebelum cepat-cepat ia sembunyikan di balik senyum tipis.
"Eh ... iya." Suaranya nyaris tenggelam di antara hiruk pikuk kantin.
"Gue duduk sini ya?" Digma langsung mulai mengaduk sotonya. "Lo lagi banyak pikiran?" tanya cowok itu pada akhirnya karena tak tahan dengan wajah tertekuk Fara.
Fara menarik napas pelan. Lama. Hingga akhirnya gadis itu hanya tersenyum tipis. "Ya ... mikirin lo yang bandel."
Digma mengerutkan alis, pura-pura tersinggung. "Gue lagi laper gini malah dituduh bandel ..."
"Lo emang bandel," potong Fara cepat. "Udah dibilang jangan deket-deket Gery, masih aja ..."
Digma meneguk es tehnya, tatapannya masih tak lepas dari wajah Fara. "Tapi kalo deket lo, boleh?" tanya cowok itu datar. Namun nadanya terlalu serius untuk disebut bercanda.
Fara terdiam. Satu detik. Dua detik. Lalu menoleh pelan.
Tatapan mereka bertemu lagi.
"Deket?" ulang Fara. Senyumnya menggantung, penuh tanya. "Mau ngapain?"
"Ya kayak gini," jawab Digma santai, "makan bareng. Duduk deketan. Ngobrolin hal-hal kecil yang bikin lo lupa lagi sedih. Lo lagi sedih kan?"
Fara hanya tersenyum. Tapi senyum itu cepet hilang. Ada sesuatu di matanya yang tak bisa ia sembunyikan. Teguran Bu Ega akan sikapnya yang penakut terus menghantuinya sebagai ketua PKS.
"Cemberut lagi kan! Muka lo itu ..." Digma menggantung kalimatnya. Beralih menghabiskan sisa kuah soto di mangkuknya.
Fara menyipitkan mata. "Muka gue kenapa?"
"Hah?" Digma pura-pura tidak mengerti. Sotonya kini sudah habis.
"Yang 'muka lo itu ...' terus lo diem. Lanjutin, dong."
"Udah titik itu," elaknya.
"Gak bisa. Itu baru koma. Lanjutin."
Digma nyengir. "Gue takut lo GR."
Fara menyilangkan tangan di dada. "Tuh, kan. Lo pasti mau ngejek gue."
"Nggak," kata Digma serius. Lalu menunduk sedikit, suara memelan, "Gue cuma mau bilang... lo tetep cantik, bahkan pas lagi cemberut."
Fara terkejut. Jantungnya berhenti sejenak. Mereka kini sama-sama terdiam. Terjebak dalam suasana yang mereka sendiri pun bingung.
Hingga akhirnya Fara membuka suara. Memecah keheningan. "Dig, gue punya temen," ucapnya lirih sambil mencodongkan tubuh lebih dekat kepada Digma.
Sadar Fara akan mulai curhat padanya, Digma memasang raut serius. Siap menjadi pendengar yang baik.
"Temen gue ini ketua OSIS."
"Oke ..."
"Tapi dia penakut. Sebenarnya dia berani untuk maju di depan umum atau menghadap guru, tapi dia nggak berani kalo menyangkut anak-anak nakal. Kayak negur mereka. Atau ngehukum mereka. Dia takut dia bakal kena imbasnya dan kena bahaya kalo berurusan dengan anak kaya mereka."
"Karena dia pernah ngerasain sendiri dalam bahaya sama anak-anak nakal?"
"Iya! Dia pernah, makanya dia takut."
Digma menatap Fara lama dan dalam. "Sejak kapan lo nahan trauma itu?"
Fara terdiam beberapa detik. "Lo ... tau kalo itu gue bukan temen gue?"
Digma menghela napas berat. "Rasa takut itu hal biasa. Tapi jangan jadiin rasa takut itu mengendalikan lo, Ra. Gue tau lo punya trauma, tapi justru itu yang bakal bikin lo lebih kuat kedepannya. Lo bakal lebih berani. Gue yakin itu," jelas Digma dengan tatapan teduh. Menatap gadis itu tanpa menghakiminya.
Dada Fara menghangat. Senyumnya kembali terbit. Kata-kata menenangkan Digma bak angin segar di tengah pikirannya yang panas.
"Thanks, Dig." Fara tersenyum lembut. "Tapi lo tau dari mana kalo cerita itu adalah gue?"
"Lo sendiri. Lo bilang kalo ketua osis takut negur anak nakal, padahal itu bukan kerjaan OSIS, itu kerjaan ketua PKS kan?" tukas Digma disertai tawa geli.
Fara ikut tertawa. Menyadari sendiri kebodohannya. Hingga tiba-tiba, seseorang tanpa diduga datang dan langsung duduk di sebelah Digma. Mengejutkan mereka berdua.
"Lagi pada ngobrolin apa nih? Kayaknya asik banget."
saturasisenja








