Langkah Digma terdengar pelan membuntuti Fara yang berjalan beberapa meter di depannya. Mereka melewati lorong utama sekolah, melewati deretan kelas dan papan pengumuman yang mulai menguning dimakan waktu. Fara tak banyak bicara—hanya sesekali menunjuk sudut tertentu dengan tangan tanpa menoleh.
"Yang ini ruang guru. Yang ujung sana ruang seni. Di atas itu lab IPA, tapi jarang dipakai," katanya singkat.
Digma mengangguk pelan, walau sebenarnya belum paham betul arah-arah yang ditunjukkan.
Suasana di antara mereka agak canggung. Bukan hanya karena ini pertama kalinya mereka benar-benar bicara, tapi juga karena insiden kecil di lapangan utama tadi. Sejak itu, Fara jadi sedikit ketus.
"Lo pasti udah dapet kelas, kan?" tanyanya datar.
"Udah," jawab Digma singkat.
"Yaudah, tinggal jalan aja ke sana. Kayaknya kelilingnya juga udah cukup." Fara mulai mempercepat langkah.
Melihat itu, Digma buru-buru menyusul. "Eh... bentar."
Fara menoleh setengah jengah.
"Gue belum sempet kenalan beneran," kata Digma sambil mengulurkan tangan. "Gue Digma."
Fara menatap tangan itu beberapa detik, lalu akhirnya menyambut dengan enggan. "Fara."
Digma mencoba tersenyum kecil. "Maaf soal tadi. Gue nggak bermaksud nge-judge lo."
Fara menghela napas, lalu mengangguk. "Iya, gue ngerti. Tapi kalo lo anak baru di sekolah ini, seharusnya jangan sok tahu ya."
Digma terkekeh pelan. "Noted."
Suasana jadi sedikit lebih santai. Mereka terus berjalan menyusuri lorong demi lorong. Fara mulai sedikit membuka diri, menjelaskan ruang UKS, ruang OSIS, dan kantin yang terkenal sering bocor kalau hujan.
Tapi saat mereka mulai melewati area belakang sekolah, Fara tiba-tiba berhenti. Pandangannya lurus ke depan dan nadanya berubah dingin.
"Gue serius, Dig. Lo jangan coba-coba terlibat sama Gery lagi. Sekali lo bikin masalah sama dia, hidup lo bisa kelar di sekolah ini."
Digma mengangkat alis. Nada suaranya ikut menegang.
"Justru lo yang nggak seharusnya terlibat," balasnya datar. "Lo tahu dia kayak gimana, tapi lo masih diem aja."
Fara menoleh cepat, kaget dengan nada Digma. Tapi sebelum sempat membalas, cowok itu sudah melangkah duluan, meninggalkan Fara yang masih berdiri diam di tempat.
***
Langkah kaki Digma terdengar cepat di lorong kelas. Di antara percakapan siswa dan deru bel yang hampir berbunyi, ia terus mencari ruang bernama XI F1. Kelas yang sama dengan yang beberapa kali disebut Abian dalam obrolan mereka dulu.
Dan benar saja—di atas pintu kayu yang catnya mulai terkelupas, tergantung papan putih bertuliskan XI F1.
Digma menarik napas panjang sebelum masuk. Di dalam, seorang guru perempuan berambut pendek, dengan kacamata tipis dan aura tegas, sudah berdiri di depan kelas. Itu Bu Ega. Guru Bahasa Indonesia yang selalu datang lebih awal—terlebih hari ini, karena dia mendengar kabar ada siswa pindahan masuk ke kelas yang ia ajar di jam pertama.
Begitu melihat Digma masuk, Bu Ega langsung melipat tangan di depan dada. "Kamu, Digma, ya?"
Digma mengangguk cepat. "Iya, Bu. Maaf saya baru masuk, tadi disuruh keliling sekolah sama Fara ... Pak Heri yang nyuruh."
"Hm," gumam Bu Ega setengah percaya. "Lain kali jangan bikin saya cari-cari. Udah, langsung ke depan. Kenalan dulu."
Tanpa banyak bicara, Digma berjalan ke depan kelas. Sorot mata beberapa murid langsung tertuju padanya. Ada yang menatap penasaran, ada juga yang saling bisik-bisik, membandingkan wajah dingin Digma dengan rumor duel di lapangan tadi pagi.
Nama, asal sekolah lama, hobi—semua dilontarkan Digma seadanya, tanpa senyum. Setelah selesai, Bu Ega menunjuk kursi paling belakang.
"Duduk di sana aja, di pojok. Kursi depan udah ada yang punya, walaupun anaknya masih ... di rumah sakit."
Digma menoleh cepat ke kursi pojok depan itu. Kosong. Tapi tak asing. Karena itu—kursi Abian.
Langkahnya melambat saat berjalan ke bangku belakang. Ia duduk dengan diam, namun matanya menatap nanar ke kursi Abian yang tak terisi. Ada goresan nama "Bian" di ujung mejanya. Seketika dadanya terasa sesak.
Lo kuat, Bi? Gue datang bukan cuma buat nyari siapa yang salah. Tapi juga biar lo tahu, ada yang belum nyerah.
Suasana hening. Pelajaran baru dimulai sekitar tiga puluh menit kemudian. Tapi mendadak—suara pintu terbuka kasar membelah suasana.
BRAK!
Gery masuk. Diikuti Alex, Deta, dan Reksa yang jalan santai seperti penguasa. Semua siswa refleks menunduk, pura-pura fokus ke buku. Namun semua tahu hal buruk akan segera datang.
"Bu Ega!" seru Alex tiba-tiba. "Pak Heri manggil, katanya penting."
Bu Ega mendongak kaget. "Pak Heri?"
"Iya, barusan kami disuruh nyamperin."
Walaupun wajahnya sempat ragu, ketakutannya lebih besar dari logika. Bu Ega mengangguk cepat, "Baik, saya tinggal sebentar. Kalian diam di kelas, jangan rusuh!"
Begitu langkah Bu Ega hilang di balik pintu, semua anak menahan napas. Tak satu pun berani menatap ke depan, apalagi ke arah Gery yang kini melangkah ke barisan bangku paling belakang—ke arah Digma.
Ruangan jadi hening setelah Bu Ega melangkah keluar. Suara pintu tertutup nyaris kayak aba-aba bagi bencana yang siap meledak.
Langkah kaki berat terdengar mendekat. Gery masuk dengan senyum lebar yang menyebalkan, diikuti Alex, Deta, dan Reksa yang langsung membuat suasana kelas menegang. Semua anak tahu, ini bukan kunjungan biasa.
Pandangan Gery langsung mengarah ke Digma yang duduk tenang di kursi paling belakang. Di matanya, cowok itu bukan siapa-siapa. Hanya anak baru sok berani yang perlu "dididik."
"Hei, anak baru," sapa Gery, suaranya terdengar ramah—tapi justru makin menakutkan. "Masih inget gue?"
Digma menatap datar, menahan napasnya. Hatinya mulai mendidih.
"Lo gak bisa diem tadi di lapangan, ya?" lanjut Gery, mulai jalan pelan ke arah Digma. "Pamer gaya. Sok tangguh. Tapi sekarang?"
Dima masih menatapnya dengan tenang. Tapi dalam kepalanya, suara-suara mulai menggema. Wajah Abian terlintas. Tawa mereka saat latihan bareng. Obrolan di ruang ganti dojang. Semua itu ... seperti bensin yang langsung membakar dada Digma.
Tapi ia harus tahan.
Gery mengambil botol minum di atas meja seseorang dan menyiram kepala Digma tanpa aba-aba.
"Buat nyegerin lo," ejeknya.
Digma mengepalkan tangan di bawah meja. Seluruh ototnya bergetar. Refleks bela diri yang selama ini ditanamkan di tubuhnya menjerit untuk keluar. Tapi ia menahannya—dengan sisa kesadaran yang hampir meledak.
Dia bukan Digma sang petarung sekarang. Dia adalah mata-mata. Seorang sahabat yang mencari kebenaran.
Gery tertawa puas melihat Digma tetap diam. Namun mungkin belum cukup. Ia mengangkat tangan, menampar pipi Digma pelan dan menyakitkan.
"Gue ulang ya, biar lo paham. Di sekolah ini, gue yang ngatur. Lo ... cuma numpang. Lo ngerti?"
Digma menarik napas panjang. "... Ngerti."
Tapi nada suaranya dingin. Tajam. Ada kemarahan yang gak bisa disembunyikan.
"Bagus." Gery lempar botol kosong ke lantai. "Lex, ambilin buku PR."
Alex keluar, lalu kembali dengan empat buku tulis.
Gery menumpuk buku-buku itu ke meja Digma. "Kerjain semua PR gue dan anak-anak. Besok pagi selesai. Kalau enggak..."
Ia lagi-lagi memberikan gestur sayatan ke leher. "Seperti kata lo, babak belur sampe koma bakal gue kasih ke lo."
Deg.
Kata-kata itu—yang keluar dari mulut Gery tanpa sadar—seperti tamparan terkeras bagi Digma. Mudah sekali bagi cowok itu berkata seperti itu di atas korban yang sebenarnya masih ada di rumah sakit. Ia mengepalkan tinju di bawah meja begitu kencang hingga uratnya menonjol. Tapi tak ada satu gerakan pun dari tubuhnya. Hanya matanya yang mulai merah menahan amarah.
***
Atha yang baru saja tiba di kos-nya sepulang dari dojang, langsung berhenti. Ia sedikit terkejut melihat Digma yang sudah rebahan di kasur. Satu tangannya memegang es batu yang sedang ditempelkan di pipinya yang lebam dan tangan satunya lagi sibuk mengatur formasi hero di Mobile Legend.
"Abis dihajar siapa lo?" tanya Atha sambil melempar tas asal dan langsung mendekat.
Digma hanya berdecak pelan. "Tenang, masih menang rank kok."
"Gue serius. Ada yang berani ngehajar lo?" Atha jongkok di samping kasur.
Digma terkekeh santai. Mengingat reputasinya yang jarang kalah di tiap pertandingan taekwondo, wajar jika Atha terkejut melihat pipinya. "Gue cuma dapet sambutan hangat dari temen-temen baru."
Digma lalu mengambil empat buku tulis dari tas, melempar asal ke arah Atha.
"Bantuin ngerjain PR mereka, ya. Lo kan lebih pinter dari gue," katanya santai, matanya masih sibuk mengamati layar HP. "Tapi jangan dibikin bener semua. Salahin dikit. Biar nggak terlalu keliatan."
Atha membaca pelan buku itu satu persatu, "Gery, Alex, Deta, Reksa ..." Alisnya naik satu. "Siapa ini?"
Digma yang masih fokus mabar dengan teman onlinenya, hanya tersenyum tak bersalah. "Temen-temen kesayangan gue di sekolah baru."
Atha menyipit, nggak yakin. "Gue ngerasa ada sesuatu yang lo sembunyiin. Lo yakin nggak mau cerita ke gue?"
Digma diam sebentar. Matanya berhenti di layar, napasnya berat. "Belum saatnya lo tau, Tha."