Jam digital di pergelangan tangan Digma berdetak tepat pukul 06.30 saat motornya melintasi gerbang besi hitam SMA Pelita Dua. Matahari baru setengah muncul, namun siswa-siswi sudah ramai di pelataran sekolah. Suara mereka bercampur dengan deru motor dan klakson mobil.
Digma menarik gas pelan, memandangi halaman luas sekolah yang terasa asing sekaligus familiar. Ia mengarahkan motornya ke tempat parkir tengah yang kosong, lalu mematikan mesin. Namun belum sempat ia turun,
BEEEEEP!
Klakson mobil mewah memekakkan telinga.
Suara decitan ban menghentikan langkah beberapa siswa. Digma menoleh. Seorang pria berbadan tegap dalam jas hitam elegan keluar dari kursi sopir, ekspresinya datar dan formal.
"Mas, ini bukan parkiran umum. Cepat pindahkan motornya," ujar pria itu sambil menunjuk plang bertuliskan PARKIR KHUSUS KETUA YAYASAN/KEPALA SEKOLAH.
Alih-alih panik, Digma justru menahan senyum. Ia memang sudah membaca plang itu. Sengaja.
Dengan santai, ia melirik ke kursi belakang mobil yang masih tertutup kaca film gelap.
Tak lama, seorang guru paruh baya, Nawan, berlari mendekat. "Pak Heri, maaf sekali! Ada sedikit salah paham," katanya seraya membungkuk dalam.
Pintu mobil terbuka perlahan. Dari dalam, keluar seorang pria berusia sekitar lima puluhan. Jas Armani hitam rapi, jam Rolex di tangan kanan, sepatu kulit mengilap seolah baru dibuka dari etalase butik. Tatapannya tajam namun tenang. Aura kekuasaan menyelimuti langkahnya.
Digma nyaris lupa bernapas. Jadi ini... backing-an Gery?
Heri berdiri tak jauh dari Digma, matanya langsung menatap tajam, namun tak marah. Justru, ada rasa ingin tahu dalam sorotnya.
Nawan berbisik panik di telinga Digma, "Minta maaf, cepet. Jangan macem-macem!"
Digma melangkah maju. "Maaf, Pak Heri. Saya murid baru. Belum tahu aturan parkir di sini." ucapnya dengan nadanya tenang. Namun dalam diam, ia sedang mengukur pria di hadapannya.
Heri mengangguk, lalu menepuk pelan punggung Digma. "Santai saja. Karena hari pertama pasti kamu gugup. Saya Heri Santoro, ketua yayasan di sini." Ia mengulurkan tangan, hangat namun penuh wibawa. "Selamat datang, Digma," kata Heri setelah membaca name tag yang tertera di bajunya.
Digma menyambutnya seraya tersenyum tipis. "Terima kasih, Pak. Tapi saya dengar sekolah ini bebas dari perundungan. Apa itu benar?"
Seketika, senyum Heri meredup. Seperti ada tombol tak terlihat yang ditekan. Matanya kehilangan kilaunya. Ia belum sempat menjawab ketika Nawan buru-buru menyela.
"Digma, ayo pindahin motor kamu. Cepetan!" paniknya dengan suara tajam.
Sambil mundur, Digma masih sempat mencuri pandang wajah Heri sekali lagi. Kali ini tanpa senyum. Hanya tatapan penuh teka-teki.
Oke, Pak. Gamenya baru dimulai...
***
Di koridor sekolah yang mulai ramai, Digma berjalan santai, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti ketika suara tawa mencibir terdengar dari lapangan.
"Gimana rasa sepatu baru gue?" suara itu keras dan sombong.
Dari jauh, ia melihat seorang anak lelaki merintih. Tangannya diinjak sepatu sport putih bersih yang jelas bukan murid biasa. Di sekelilingnya, empat cowok berdiri sambil tertawa puas.
Mata Digma membelalak. Rahangnya mengeras.
Gery.
Dunia seakan berhenti berputar. Semua suara mendadak tenggelam. Ia hanya melihat satu sosok — bayangan dari malam yang membuat Abian menangis sesenggukan.
Digma menoleh ke sekeliling. Tidak ada yang membantu. Guru-guru hanya menyuruh siswa masuk kelas, seolah ini hal biasa.
Dengan langkah tenang tapi pasti, Digma mendekat. Saat tinggal satu meter, ia menghentakkan bahunya keras ke bahu Gery.
"WOI!" Gery meringis, menoleh kaget.
Digma menoleh santai, menatap sebentar, lalu melanjutkan langkah. Satu... dua...
"WOI! LO MAU KEMANA, ANJING!" teriak Gery marah.
Digma berhenti. Perlahan ia balik badan. "Gue?" katanya polos, menunjuk dirinya sendiri.
Ia melirik cepat ke anak yang dirundung, memberi isyarat dengan mata agar segera pergi. Anak itu langsung bangkit dan kabur.
Gery melangkah mendekat, disusul ketiga temannya.
"Lo punya mata, nggak?!" Gery mendorong dada Digma, membuatnya mundur.
"Maaf. Gue yang salah. Gue anak baru, belum hafal siapa yang harus gue hormatin," jawab Digma. Tenang. Bahkan nyaris santai.
"Oh lo anak baru?" ujar Alex yang langsung merangkul bahu Digma. Tangan satunya menendang punggung Digma hingga terjatuh.
Tawa meledak. Beberapa siswa mulai memperhatikan. Tapi tak ada yang bergerak.
Digma terjatuh, lutut dan tangannya membentur tanah basah. Rumput menempel di bajunya. Ia mencium aroma lembap yang sama seperti malam itu — malam Abian dipukuli.
Tangan Digma mencengkeram tanah. Diam. Tapi matanya membara.
Gery berjongkok. "Makanya jangan macem-macem sama gue kalau lo nggak mau—"
"Babak belur sampai koma?" potong Digma. Suaranya datar. Dingin.
Gery terdiam. Ditatap seperti itu — tajam, tanpa takut, membuat nyalinya sedikit goyah.
Sebelum suasana meledak lebih jauh...
"Eh!" sebuah suara perempuan terdengar.
Semua menoleh.
Fara.
Ia berdiri di tepi lapangan. Mata tajam, alis mengernyit. "Gue nggak tahu ini lapangan sekolah atau tempat gladiator. Gue nggak tau kenapa lo dikerubungi, tapi yang jelas lo di suruh Bu Ega buat ikut gue," ucapnya setelah mendekat dan mencoba berbicara pada Digma.
Semua yang mengira Fara hendak menegur Gery akhirnya menghela napas lega. Ternyata gadis itu hanya ingin berbicara pada Digma.
Gery memutar mata malas, lalu berdiri. "Lo nggak usah ikut-ikutan."
Fara masih tak berani menatap Gery langsung. "Kata Bu ega ini perintah langsung dari Pak Heri."
Mendengar nama bapaknya, membuat Gery menahan kesal. Ia pun segera berlalu dari sana diikuti Alex, Deta, dan Reksa.
Digma bangkit. Membersihkan rumput di bajunya pelan. Tanpa menoleh ke Gery, ia berkata, "Gue nggak akan berterima kasih sama lo. Lo bohong kan? Lo nolong gue?"
"Sok jago!" Fara menatap tajam cowok dihadapannya. Tinggi Digma yang jauh berbeda darinya membuatnya harus mendongak. "Lo belum tau kan mereka siapa? Mulai besok, hidup lo nggak bakal tenang! Lo bakal jadi target mereka selanjutnya."
"Emangnya lo sendiri jago?" tanya Digma mengingat saat Fara datang, ia malah berbicara dengannya dan tak berani menatap Gery.
Fara tak menjawab. Dengan raut kesal, ia hanya berbaik dan melangkah cepat. "Udah ikut gue!"
"Loh beneran? Bukannya alesan lo doang?" bingung Digma sambil mempercepat langkahnya menyusul Fara.