Beberapa hari kemudian, setelah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, hal pertama yang kulakukan adalah meminta Mayadi untuk mengantarku ke rumah Adit. Langkahku terasa berat, seperti membawa beban seribu ton di pundak. Udara bulan Desember terasa dingin, menusuk kulit, namun tidak sedingin rasa bersalah yang menggerogoti jiwaku.
Mayadi mengangguk pelan, tatapannya penuh pengertian. Dia tidak banyak bicara, hanya sesekali menggenggam tanganku, memberiku kekuatan. Aku tahu dia ada di sana, dan itu sudah cukup. Setelah mimpi panjang itu, aku merasa aneh berada di dekatnya tanpa gejolak romantis yang dulu kurasakan. Dia adalah teman yang tulus, dan aku bersyukur untuk itu.
Setibanya di rumah Adit, Ayah dan Ibu Adit menyambut kami dengan wajah sendu namun penuh kelegaan. Mereka memelukku erat, air mata mengalir di pipi Ibu Adit. "Syukurlah kamu sudah bangun, Nak Lily," bisiknya, suaranya parau.
"Tante... Om..." Suaraku tercekat. Aku melihat James, adik Adit, berdiri di belakang mereka, matanya masih menyimpan kesedihan yang mendalam. "Aku... aku minta maaf."
Ayah Adit menggeleng. "Ini bukan salahmu, Lily. Ini kecelakaan. Kami semua tahu itu."
Namun, rasa bersalah itu tetap menghimpit. Aku adalah penyebab kematian Adit. Aku adalah orang yang menghancurkan impiannya, masa depannya. Selama ini, aku hanya fokus pada dukaku sendiri, pada fantasiku yang menyakitkan, tanpa pernah menghadapi kenyataan bahwa aku adalah pemicu tragedi ini.
Setelah suasana sedikit mereda, Ibu Adit membawaku ke kamar Adit. Kamar itu masih sama, rapi dan sunyi, seolah Adit baru saja meninggalkannya. Di meja belajarnya, tergeletak sebuah buku catatan bersampul biru tua.
"Ini," kata Ibu Adit, suaranya pelan. "Kami menemukannya saat membereskan barang-barang Adit. Dia minta ini diberikan padamu, jika sesuatu terjadi padanya."
Tanganku gemetar saat meraih buku itu. Ini adalah buku yang sama dengan yang kualami dalam mimpiku. Tapi kali ini, tidak ada tulisan tangan ghaib yang memenuhi halaman. Yang ada hanyalah tulisan tangan Adit yang rapi, sebuah narasi panjang, berkesinambungan. Bukan dialog.
Aku mulai membaca. Itu adalah catatan harian Adit. Tentang tekanannya di sekolah elit Jakarta, tentang mimpinya untuk Juilliard yang terus-menerus ditentang ayahnya. Tentang perkelahian dan kenakalan remajanya sebagai bentuk pelarian dari tekanan. Ia menuliskan ketakutannya akan masa depan, rasa frustrasinya, dan bagaimana ia merasa terperangkap dalam ekspektasi keluarga. Tak ada satu pun di sana yang menyebut ia pernah memaksaku ke Harvard, atau tentang obat-obatan yang ia konsumsi. Itu semua adalah rekaan pikiranku sendiri, bagian dari ilusi yang lebih mudah kupercaya daripada kebenaran.
Ada satu bagian yang membuatku terkesiap. Adit menulis tentang Maya. Bukan perselingkuhan, bukan kehamilan, bukan pengguguran. Itu semua adalah rekaan alam bawah sadarku, ilusi yang kubuat untuk menjelaskan rasa bersalahku. Adit hanya menulis tentang Maya sebagai teman lama yang ia sayangi, yang juga menjadi sandaran baginya saat ia tertekan. Ada pengakuan penyesalan karena ia tidak bisa membalas perasaan Maya yang lebih dalam saat itu, tapi tidak ada detail mengerikan seperti yang ada dalam mimpiku. Itu adalah penyesalan seorang teman yang tidak bisa memenuhi harapan temannya.
Lalu, ada bagian tentangku. Tentang bagaimana ia melihatku sebagai sosok yang kuat dan berani, bagaimana ia percaya pada impianku untuk Harvard. Dia menuliskan rasa bangganya padaku, dan keinginannya untuk melihatku berhasil, menemukan "galaksi"-ku sendiri. Semuanya tulus, murni, dan penuh harapan.
Air mataku kembali mengalir. Adit yang ini... jauh lebih nyata, dan jauh lebih murni dari Adit yang kubayangkan dalam mimpiku. Ia adalah seorang pria muda yang berjuang dengan tekanan, impian, dan ketakutannya sendiri, sama sepertiku. Bukan pecundang, bukan pengkhianat. Hanya manusia biasa yang melakukan kesalahan dan memiliki penyesalan.
Di halaman terakhir, ada sebuah kalimat yang ditulis tebal: "Peta hanyalah panduan, Lil. Jiwa yang tersesat tidak membutuhkan peta yang sempurna. Mereka hanya membutuhkan langkah yang berani."
Kata-kata itu. Sama persis seperti yang ada di akhir "dialog" dalam mimpiku. Ini adalah pesan terakhirnya untukku, sebuah pesan yang nyata, yang benar-benar ia tulis.
Aku memejamkan mata, membiarkan kebenaran itu meresap. Semua ilusi itu, semua drama yang kubuat dalam koma panjangku, itu semua adalah mekanisme pertahanan. Aku menciptakan Adit sebagai pecundang yang selingkuh, menghamili Maya, dan dipaksa ke Harvard karena itu adalah cara lebih mudah untuk memproses rasa bersalahku. Lebih mudah menyalahkan dia, daripada mengakui bahwa aku, Lily, yang mengakhiri hidupnya.
Setelah membaca seluruh buku catatan Adit, aku merasa seperti baru dilahirkan kembali. Beban rasa bersalah atas kecelakaan itu masih ada, namun kini dibalut dengan pemahaman yang lebih jelas. Aku bukan pembunuh. Itu adalah kecelakaan. Dan Adit... dia tidak membenciku. Dia hanya ingin aku maju.
Aku menghabiskan hari-hari berikutnya untuk memproses semua ini. Berbicara panjang lebar dengan Mama dan Papa tentang kondisiku, tentang obat-obatan yang kuminum, dan tentang mimpi panjang itu. Mayadi selalu ada di sisiku, menjadi pendengar setia, memberiku dukungan tanpa syarat. Dia tidak menunjukkan rasa kecewa bahwa romansa kami hanyalah ilusi. Dia tetap Mayadi yang tulus, teman yang setia.
"Jadi... semua itu... tidak nyata?" Mayadi bertanya suatu sore, saat aku menceritakan padanya seluruh alur mimpi yang kualami, termasuk bagaimana kami "berpacaran" dan "pengorbanannya" di Harvard.
Aku mengangguk, sedikit malu. "Tidak nyata. Kamu... kamu hanya temanku yang sangat baik."
Mayadi tersenyum tipis. "Aku senang bisa jadi teman yang baik. Dan aku memang sengaja membiarkanmu berpegang pada apa yang kamu yakini nyata saat itu, Lil. Aku tahu kamu berjuang. Aku hanya ingin kamu merasa aman dan didukung."
"Dan Maya?" tanyaku. "Dia tidak terlibat dalam hal yang serumit itu di dunia nyata, kan?"
Mayadi menggeleng. "Tidak. Maya dan Adit memang berteman dekat, tapi tidak pernah ada hubungan asmara yang serius. Dia juga prihatin denganmu. Dia datang menjengukmu di rumah sakit berkali-kali."
Duniaku terasa lebih ringan. Semua kebohongan yang kubangun dalam mimpi, semua pengkhianatan yang kurasakan, ternyata tidak nyata. Itu semua adalah cerminan dari ketakutan dan rasa bersalahku sendiri.
Waktu terus berjalan. Desember berakhir, dan Januari tiba. Aku mulai pulih secara fisik dan mental. Aku memutuskan untuk mengambil waktu sejenak dari sekolah untuk fokus pada penyembuhan. Bu Arini sangat mendukung, dan Michael serta Yessi... mereka juga datang menjengukku. Michael terlihat benar-benar menyesal atas kata-kata kasarnya sebelum aku koma.
"Aku... aku minta maaf, Lily," kata Michael, raut wajahnya tulus. "Aku tahu aku keterlaluan."
Aku tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Michael. Aku mengerti."
Hubungan dengan Michael dan Yessi tidak akan pernah sama seperti dulu, tapi setidaknya, tidak ada lagi kebencian. Mereka adalah bagian dari masa lalu yang harus kuterima.
Meskipun aku melewatkan deadline Early Action Harvard karena koma, impianku untuk masuk ke sana tidak pernah padam. Kini, itu bukan lagi tentang Adit atau bayangannya. Ini tentangku. Tentang Lily. Aku mulai menulis personal statement-ku lagi, kali ini dari hati yang benar-benar jujur, menceritakan tentang perjalananku, tentang duka, ilusi, dan akhirnya, penemuan diri di tengah badai.
Mayadi tetap menjadi sahabat setiaku. Ia menceritakan bagaimana ia mendaftar Berklee dan berhasil diterima dengan beasiswa penuh. Sebuah impian yang murni miliknya. Aku turut bahagia untuknya.
Dan aku juga menemukan tujuan baruku. Aku akan menulis. Bukan hanya lirik lagu, tapi sebuah novel. Sebuah novel tentang kisahku, tentang Adit, tentang mimpi panjangku, dan tentang bagaimana seseorang bisa bangkit dari kehancuran yang terdalam. Dan untuk judulnya, aku ingin sesuatu yang... jujur, tapi juga punya sedikit ironi yang membebaskan. Sesuatu yang menunjukkan bahwa meskipun kebenaran itu pahit, hidup tetap berjalan, kadang dengan cara yang tak terduga, bahkan lucu. Sebuah judul yang akan mengingatkanku bahwa di balik duka, selalu ada cerita yang lebih besar dari sekadar kesedihan. Sebuah novel yang mungkin akan kuberi judul "Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu."
Aku akan mengirimkannya ke kompetisi, tanpa harapan muluk. Aku hanya ingin membagikan kisahku. Dan pada akhirnya, itu adalah jejak yang ingin kutulis di dunia ini. Jejak yang bukan milik Adit, bukan milik siapapun. Melainkan jejakku sendiri.
Lily, si siswa kelas 12 yang ambisius. Calon penulis. Yang akan menulis tentang perjalanan menemukan diri. Dan kali ini, tanpa ilusi, aku tahu aku tidak akan pernah tersesat lagi. Karena aku telah menemukan kompas yang sesungguhnya, yaitu diriku sendiri.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"