Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
MENU
About Us  

Kami mulai menghabiskan lebih banyak waktu di luar apartemen Mayadi. Bukan ke tempat-tempat yang ramai, hanya ke taman kota yang sepi, atau tepi danau di pinggir kota. Di sana, di bawah langit yang luas, aku merasa sedikit lebih lega. Mayadi selalu membawa gitarnya, memetik melodi yang menenangkan, dan aku akan menulis. Bukan lagi tentang Adit, atau "dialog" kami, tapi tentang perasaanku sendiri, tentang duka yang masih ada, dan tentang harapan yang perlahan tumbuh.

"Kau tahu, Lil," kata Mayadi suatu sore, saat kami duduk di tepi danau, memandangi pantulan awan di permukaan air. "Ayah Adit pernah menceritakan sesuatu padaku."

Aku menegang. Ayah Adit. Orang tua yang juga ikut dalam "drama" besar itu. "Apa?" bisikku, berusaha menjaga suaraku tetap datar.

"Dia bilang, Adit itu punya kebiasaan menulis surat untuk orang-orang yang penting baginya," Mayadi memulai, suaranya pelan. "Tapi dia jarang sekali mengirimkannya. Dia menyimpan semuanya di kamar, mungkin karena terlalu takut atau terlalu pemalu untuk mengungkapkannya secara langsung."

Aku menatap Mayadi, rasa penasaran menggelitik. "Surat apa?"

"Surat tentang perasaannya. Tentang impiannya. Tentang penyesalannya," jelas Mayadi. "Ayah Adit bilang, dia pernah menemukan beberapa surat itu, dan itu membuat dia sadar betapa Adit sebenarnya tertekan. Salah satunya... surat untukmu. Dan satu lagi untuk Maya."

Hatiku mencelos. Surat untuk Maya. Pasti itu tentang kehamilan itu. Tapi... surat untukku? Apa isinya? Apakah itu berisi permintaan maaf atas semua kebohongan? Atau mungkin, penjelasan tentang mengapa dia melakukan semua itu? Pikiran tentang "rahasia yang lebih menyakitkan daripada kehilangan itu sendiri" kembali terngiang. Aku menatap Mayadi. "Bagaimana dengan surat-surat itu? Apakah Ayah Adit... menyimpannya?"

Mayadi menggeleng. "Tidak. Ayah Adit bilang, setelah kejadian itu, setelah ia tahu Adit kecelakaan, dan kau dalam kondisi yang seperti ini, ia kembali mencari di kamar Adit. Ia ingin tahu, apa yang terjadi pada anaknya. Dan ia menemukan sebuah tulisan yang berbeda dari surat-surat lain. Sebuah narasi panjang, tentang hidupnya, tentang semua yang ia alami, tentang impian musiknya, tentang Juilliard, dan tentang penyesalannya." Mayadi berhenti, menatapku dalam. "Dan tentang bagaimana ia ingin membebaskan dirinya, dan juga kamu."

"Di mana... di mana surat itu sekarang?" tanyaku, suaraku tercekat.

"Ayah Adit bilang, surat itu ada di dalam buku catatan biru tua," Mayadi berbisik, seolah takut mengganggu keheningan yang sakral. "Dia bilang, Adit memintanya untuk memberikannya padamu jika... jika sesuatu terjadi padanya. Dia ingin kamu tahu kebenarannya, Lil. Bukan hanya dari pihak lain."

Tanganku gemetar. Jadi, buku catatan biru tua itu... yang selama ini menjadi kanvas ilusiku... sebenarnya memang menyimpan kebenaran yang nyata? Bukan dialog ajaib yang kuciptakan sendiri, melainkan narasi utuh dari Adit? Rasa campur aduk itu kembali menyerbu. Rasa lega, karena ada "nyata" di balik obsesiku. Rasa sakit, karena kebenaran itu pasti akan menghancurkan.

"Aku... aku ingin melihatnya," kataku, tekad mulai tumbuh di hatiku. Aku harus menghadapi ini. Tidak ada lagi pelarian.

Mayadi mengangguk. "Suatu hari nanti. Saat kamu siap."

Seolah membuktikan kesiapanku, hari-hari berikutnya Mayadi dan aku semakin terikat. Dia adalah kekasih yang sempurna. Dia tidak hanya menjadi pendengar yang baik, tetapi juga pendorong. Dia membantuku menemukan kembali gairah bermusikku, yang sempat padam karena bayangan Adit. Kami menghabiskan berjam-jam di studio musik, Mayadi dengan gitarnya, dan aku dengan lirik-lirik baruku.

"Lirik ini... ini kuat sekali, Lily," katanya suatu malam, membaca hasil tulisanku. "Ini tentang kebangkitan, tentang menemukan cahaya setelah kegelapan."

Aku tersenyum tipis. "Itu karena kamu," kataku, menatapnya. "Kamu adalah cahayaku."

Wajah Mayadi merona. Ia mendekat, tangannya meraih pipiku. Matanya menatapku dalam, penuh kasih sayang. Ia adalah sosok yang begitu sempurna, begitu mendukung, begitu mencintai.

"Aku mencintaimu, Lily," bisiknya, matanya menatapku dalam, penuh cinta. Tatapan itu terasa manis, penuh kehangatan, seolah semua kegelapan yang telah kulewati mulai memudar digantikan oleh cinta Mayadi.

Pagi-pagi di suatu hari yang cerah, Mayadi membangunkanku dengan semangat yang membara.

"Lily! Kamu harus lihat ini!" serunya, tangannya memegang dua amplop tebal.

Jantungku berdebar. Amplop-amplop itu. Aku tahu apa artinya.

"Ini... ini dari Harvard!" kata Mayadi, matanya berbinar. Ia menyerahkan amplop dengan lambang universitas yang kukenal. Tanganku gemetar saat membukanya.

Terpampang di sana, kata-kata yang selalu kuimpikan: "Kami sangat senang untuk memberi tahu Anda bahwa Anda telah diterima di Harvard College..."

Aku tidak bisa menahan pekikan kegembiraan. Aku berhasil! Aku berhasil masuk Harvard! Impian yang sempat kurasa hancur, impian yang Adit bantu bangun bersamaku, kini menjadi kenyataan. Aku melompat memeluk Mayadi, air mata kebahagiaan membanjiri wajahku.

"Kita berhasil, Mayadi! Kita berhasil!" seruku. Aku tahu dia yang banyak membantuku dengan personal statement itu.

Mayadi membalas pelukanku erat. "Kita berhasil, Lil. Kamu berhasil."

Lalu, giliran amplopnya. Mayadi membuka amplop kedua, dan matanya membulat. "Ini... ini dari Berklee!"

Ia menarik napas, lalu membaca keras-keras. "Kami sangat senang mengumumkan bahwa Anda telah diterima di Berklee College of Music dengan beasiswa penuh!"

Giliran Mayadi yang memekik kegembiraan. Beasiswa penuh! Itu adalah impian terbesarnya, untuk bisa belajar musik di institusi terbaik tanpa membebani keluarganya. Kami berdua melompat-lompat di apartemen, merayakan kemenangan ganda ini. Ini adalah puncak kebahagiaan.

Namun, di tengah euforia itu, ada sedikit keraguan yang menyelinap di benak Mayadi. Aku melihatnya. Ketika kami duduk, Mayadi tiba-tiba terdiam, menatap dua surat penerimaan itu.

"Ada apa?" tanyaku, menyadari perubahan ekspresinya.

Mayadi menghela napas. "Lily... ini memang impianmu, ini yang kamu perjuangkan." Ia memandangku, tatapannya dipenuhi beban yang berat. "Aku tahu kamu sudah sangat terikat dengan Harvard, Lil. Terutama karena Adit."

Aku mengangguk. "Tapi itu juga impianku, Mayadi. Aku sudah jatuh cinta pada Harvard bahkan sebelum Adit."

"Aku tahu," katanya lembut. "Tapi... aku juga tahu beban yang Harvard bawa bersamamu. Beban kenangan Adit. Beban janji yang kamu pikir harus kamu tepati. Terutama... beban rahasia itu."

Ia meraih tanganku, menggenggamnya erat. "Aku tidak ingin kamu masuk ke sana dan setiap hari teringat pada semua hal pahit itu, Lil. Aku tidak ingin kamu terus terperangkap dalam bayangan masa lalu yang menyakitkan. Kamu butuh awal yang benar-benar baru. Yang bersih."

Hatiku mencelos. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini.

"Dan aku juga... aku tidak ingin kamu merasa bersalah jika suatu hari kamu harus memilih antara aku dan Harvard," bisik Mayadi, tatapannya tulus. "Aku ingin kamu bebas dari beban itu. Aku akan membiarkan deadline pendaftaran Harvard-mu terlewat."

Ia memandang surat penerimaan Harvardku, lalu surat beasiswa penuh Berklee-nya. "Ini adalah impianku yang murni, Lily. Aku akan pergi ke Berklee. Dan kamu... kamu bebas memilih jalanmu sendiri, tanpa beban dari siapapun."

Hatiku hancur sekaligus terharu. Mayadi rela melepaskan kesempatan untuk melanjutkan impian Harvard-ku, demi kebahagiaanku. Dia sengaja akan membiarkan deadline pendaftaran Harvard-ku terlewat, agar aku tidak terikat pada "mimpi" yang dibangun di atas kebohongan Adit. Ini adalah bentuk cinta yang paling murni, sebuah pengorbanan yang begitu besar.

"Aku mencintaimu, Mayadi," bisikku, air mataku mengalir deras. Ini adalah cinta yang berbeda. Cinta yang membebaskan, bukan mengikat. Cinta yang memahami dan merelakan, bukan menuntut.

Mayadi tersenyum, menyeka air mataku dengan ibu jarinya. "Aku lebih mencintaimu, Lil. Dan aku akan selalu di sini untukmu, tidak peduli jalan mana yang kamu pilih. Ini adalah hadiah dariku. Hadiah untuk kebebasanmu."

Dia memelukku erat, dan aku menangis di bahunya. Mayadi telah menjadi pahlawan tak terduga, kekasih yang tulus, dan orang yang paling rela berkorban demi kebahagiaanku. Dia adalah kompas yang tidak pernah patah.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • itsbooo

    😭😭😭😭

    Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"
  • lizuyy

    Brooo ide nya fresh bangettt, sumpil sumpill bedaaa..
    pliss ngeship lily dan siapa yak?

Similar Tags
Nonsens
528      396     3     
Short Story
\"bukan satu dua, tiga kali aku mencoba, tapi hasilnya nonsens. lagi dan lagi gadis itu kudekati, tetap saja ia tak menggubrisku, heh, hasilnya nonsens\".
Shane's Story
2586      1007     1     
Romance
Shane memulai kehidupan barunya dengan mengubur masalalunya dalam-dalam dan berusaha menyembunyikannya dari semua orang, termasuk Sea. Dan ketika masalalunya mulai datang menghadangnya ditengah jalan, apa yang akan dilakukannya? apakah dia akan lari lagi?
My Naughty Wolf
10285      1446     3     
Fantasy
Rencana liburan musim dingin yang akan dihabiskan Elizabeth Brown di salah satu resor di pulau tropis bersama sahabat-sahabat terbaiknya hanya menjadi rencana ketika Ayahnya, pemilik kerajaan bisnis Brown Corp. , menantang Eli untuk menaikan keuntungan salah satu bisnisnya yang mulai merugi selama musim dingin. Brown Chemical Factory adalah perusahaan yang bergerak di bidang bahan kimia dan ter...
Hideaway Space
118      95     0     
Fantasy
Seumur hidup, Evelyn selalu mengikuti kemauan ayah ibunya. Entah soal sekolah, atau kemampuan khusus yang dimilikinya. Dalam hal ini, kedua orang tuanya sangat bertentangan hingga bercerai. evelyn yang ingin kabur, sengaja memesan penginapan lebih lama dari yang dia laporkan. Tanpa mengetahui jika penginapan bernama Hideaway Space benar-benar diluar harapannya. Tempat dimana dia tidak bisa bersan...
Sendiri diantara kita
1300      748     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
Metanoia
54      46     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiriβ€”dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
L for Libra [ON GOING]
7813      1745     8     
Fantasy
Jika kamu diberi pilihan untuk mengetahui sebuah kenyataan atau tidak. Mana yang kamu pilih? Sayangnya hal ini tidak berlaku pada Claire. Dirinya menghadapi sebuah kenyataan yang mengubah hidupnya. Dan setelahnya, dia menyesal telah mendengar hal itu.
#SedikitCemasBanyakRindunya
3328      1221     0     
Romance
Sebuah novel fiksi yang terinspirasi dari 4 lagu band "Payung Teduh"; Menuju Senja, Perempuan Yang Sedang dalam Pelukan, Resah dan Berdua Saja.
Dosa Pelangi
646      384     1     
Short Story
"Kita bisa menjadi pelangi di jalan-jalan sempit dan terpencil. Tetapi rumah, sekolah, kantor, dan tempat ibadah hanya mengerti dua warna dan kita telah ditakdirkan untuk menjadi salah satunya."
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
277      226     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...