For one so small
You seem so strong
My arms will hold you
Keep you safe and warm
This bond between us
Can't be broken
I will be here
Don't you cry
-NIKI, You'll Be in My Heart
oOo
Radhina ingat ketika pertama kali ia berkenalan dengan Keiza. Yaitu ketika ia datang di hari pertama MPLS. Melihat pin milik Keiza tercopot dari tas. Ia memungut pin itu, tetapi Keiza terlalu cepat melesat ke koridor kelas. Avissena, sebagai teman laki-laki yang baik, tentu membantu Radhi untuk mengejarnya.
Kilasan ingatan itu muncul begitu saja siang ini. Ketika bel pulang berbunyi. Cahaya sore menyinari kelas XI DKV 1. Radhina melihat punggung Keiza yang sedang membereskan buku-bukunya. Mereka sudah terlalu lama diam. Sesuatu dalam diri Radhina berontak. Rasa bersalah karena sadar hal-hal yang sudah ia abaikan.
Berapa kali Keiza kena masalah karenanya? Berapa kali Keiza bertanya padanya ‘kenapa’? Sampai akhirnya mereka kalah oleh kesibukan masing-masing. Dan benang kusut melilit sehingga semuanya terlihat berantakan. Debat di antara keduanya yang berakhir dengan air mata di tempat yang berbeda.
Kini benang itu sudah terurai. Radhina bisa melihat segalanya lebih jelas.
Padahal dulu mereka suka berbagi cerita. Sekedar bertukar film kartun Jepang dan lagu-lagunya. Memanjat atap, mengacaukan liputan, mengambil minuman gratisan di mall, saling berhutang tak hanya uang, tapi juga pembelaan.
Pertemanan mereka harusnya bisa tetap berjalan.
Radhina menarik nafas. Ia tak ingin satu setengah tahun pertemanan antara ia dan Keiza menjadi sia-sia. Apalagi begitu mengetahui kalau orang yang tega membuat berita itu bukan Keiza, melainkan Abella. Radhina bahkan sudah tak punya amarah untuk melabrak cewek itu. Berita Keiza menyiram Abella di ruang ekskul sudah cukup membuat Radhina puas. Avissena menceritakan semuanya. Bagaimana Keiza marah, melabrak dan memutuskan untuk mundur dari jabatannya. Saat mendengar semua itu, Radhina merasa sangat bangga bisa berteman dengan Keiza.
Jadi hari ini Radhina memutuskan bangkit dan melangkahkan kaki menuju Keiza. Ia harus meluruskan semuanya. Tentang alasan mereka tak lagi bercerita, tentang tulisan di mading, dan tentang rokok itu.
“Ja, gue mau ngomong,” kata Radhina begitu duduk di samping Keiza, wajahnya kentara tegang, kontras dengan Keiza yang seperti beberapa hari terakhir, terlihat tenang, tanpa emosi.
Keiza mengangguk. Ia memang sudah merencanakannya, setidaknya… untuk yang terakhir kali, ia harus bicara dengan Radhi.
oOo
“…jadi gitu. Rokok itu punya Rakesha. Gue bolos supaya bisa deket sama dia. Gue iri sama hubungan lo dan Kiara. Hubungan keluarga kalian. Nyokap, bokap, adek, semuanya lengkap ada di rumah. Gue nggak punya itu semua. Paling nggak… gue mau sosok seorang saudara.” Radhina mengakhiri cerita dengan wajah tertunduk.
Tanpa Radhina sadari, Keiza sedari tadi menahan tangisnya. Namun pada akhirnya air mata itu tumpah juga. Keiza terisak, menyeka matanya dengan lengan baju. Sementara kepala Radhina kembali menegak, agak kaget. Kenapa Keiza harus menangis? Kesalahan ada pada Radhina. Kenapa cewek itu mesti terisak? Radhina memperhatikan Keiza yang sedang duduk di bench taman samping. Cewek itu menarik kakinya, menyembunyikan wajahnya yang sedang menangis sesunggukan ke balik kedua lutut.
“…kamu…. kamu nggak perlu iri, Dhi. Aku juga nggak punya semua itu.” Lirih Keiza dengan kedua tangan meremas kain rok di bagian lutut. “Aku nggak punya semua itu...”
“Maksudnya?” Radhina bertanya panik, menerka-nerka kemana arah pembicaraan mereka. Keiza tak menjawab, terus saja terisak-isak dibalik kedua kakinya yang terlipat. Melihat Keiza yang seperti itu, mau tidak mau Radhina juga ingin menangis.
“M-maksudnya gimana, Ja?” Radhina mencengkeram pelan bahu Keiza. Menuntut jawaban. Keiza mengangkat wajah, memperlihatkan matanya yang sudah memerah. Ia mengambil tisu dari dalam tas dengan nafas masih tersenggal, sesunggukkan. Keiza membersit hidung sebelum menjawab.
“Mereka pisah.” Keiza melihat Radhina dengan tatapan nelangsa, “mereka pisah.” Keiza mengulang, kembali menatap tisu dengan pandangan kosong. “Terus… semester depan aku akan ikut Bunda pindah ke Jogja.”
oOo
Malam itu, Radhina duduk terpaku di sudut kamar. Hatinya kacau, pikiran berputar tanpa henti. Keiza, sahabatnya yang baru berbaikkan dengannya, akan pindah ke Jogjakarta. Dengan gerakan berat, Radhina menghubungi Andaru dan Avissena, dua sahabat yang selalu bisa diandalkan dalam situasi apapun. Radhi melakukan whatsapp call.
“Ada apa, Dhi?” Andaru adalah orang yang pertama kali tersambung.
“Ru…” Radhi hanya memanggil dengan suara bergetar.
“Hallo, kenapa Dhi?” Avissena tersambung kemudian.
“Keiza mau pindah ke Jogja.”
“Apa?”
“Hah?”
Radhina bisa mendengar kekagetan dari respon dua cowok di seberang sana. Radhina menghela napas panjang, suaranya bergetar, “Gue nggak ngerti, Vis, Ru. Kenapa Keiza harus pergi jauh-jauh ke Jogja? Gue baru aja baikkan sama dia. Dia temen cewek pertama gue. Gue takut kehilangan dia. Gue takut nanti kita nggak bakal sama lagi...”
Avissena terdengar menghembuskan nafas dalam-dalam, berita ini juga terasa berat baginya. Andaru sendiri berkata dengan tenang, “lo yang paling tahu kan, Dhi. Hidup memang kadang maksa kita buat berpisah dulu supaya bisa tumbuh lebih baik. Keiza pasti punya alasan yang kuat buat pindah.”
“Alasannya dia pindah, apa?” Avissena menyambung dengan kalimat tanya.
Radhina mulai menangis, “orang tuanya… cerai.”
Hening sesaat.
“Dia akhirnya cerita tadi, minta maaf sama gue. Akhirnya dia ngerasain apa yang dia rasain juga. Gimana dong,” Radhina mulai terisak seperti anak-anak. “Gue nggak mau dia ikut ngerasain apa yang gue rasain.” Rengeknya, ikut merasakan perih yang ditumpahkan Keiza sore tadi.
“Radhina…” Andaru kini terdengar sedikit frustasi. “It is, what it is.”
“Gue tahu, Ru. Tapi…”
“Tapi kita nggak bisa ngelakuin apa-apa. Orang tua gue nggak kenal orang tua Keiza, Dhi. Situasi kita beda,” Andaru menjelaskan dengan logikanya. “Lagipula kalo Keiza sendiri yang cerita tentang itu, berarti dia juga setuju untuk pindah ke Jogja, kan?”
“Iya, dia bilang… dia mau temani nenek dari pihak nyokapnya. Kiara juga ikut, mereka bakal tinggal sama nenek mereka. Ayahnya Keiza juga masih punya orang tua di Jogja, jadi mereka masih bisa saling ketemu.”
Andaru terdengar menghembuskan nafas, “itu udah keputusan terbaik yang bisa Keiza buat, Dhi.”
“Tapi gimana kalau dia berubah? Kita jadi jauh,” Radhina merengek lagi.
“Radhina, perubahan memang nggak gampang. Tapi lo lihat sendiri, selama ini Keiza selalu berjuang buat dirinya. Pindah ke Jogja mungkin bukan untuk lari, tapi bisa jadi untuk cari kesempatan yang lebih baik. Seperti lo yang mencoba komunikasi sama nyokap lo. Lo harus percaya, ini adalah kondisi terbaik buat dia.”
Hening sejenak, Radhina perlahan mulai mengerti keadaan lewat cara berpikir Andaru. Jeda itu membuat Andaru menyadari kalau saat ini ia tak sedang teleponan berdua dengan Radhi, Avissena juga ada.
“Vis, lo diem aja.”
Sekali lagi terdengar suara tarikan napas Avissena.
“Ya kan, Vis. Lo juga nggak pengen Keiza pindah, kan?” Radhina merengek lagi.
“Daru bener, kalau ini udah keputusan Keiza, let it be.”
“Argh!” Radhi tak terima.
Avissena menambahkan, “dan jangan lupa, teknologi sekarang udah bisa memperpendek jarak.” Kali ini suaranya terdengar yakin. “Lagi pula Jogja itu nggak jauh. Kalau emang lo ngerasa Keiza adalah teman cewek pertama lo yang berharga, usaha-in ikatan pertemanan itu tetep nyambung sampai kapanpun, Dhi. Nggak peduli jarak dan waktu.”
“Nah, betul itu,” Andaru menimpali.
“Tapi kalo seandainya lo tetap khawatir, gue coba untuk menjamin pertemanan ini bakal bertahan selamanya. Seenggaknya, gue akan ikut usaha.”
“Usaha gimana, Vis?” tanya Radhina setelah membersit hidung.
“Usaha jangka panjang, mungkin nggak kelihatan sekarang. Tapi tenang aja, gue udah siapin beberapa rencana.”
oOo