Loading...
Logo TinLit
Read Story - Our Perfect Times
MENU
About Us  

Masalah perceraian kedua orang tuanya membuat Keiza lupa sejenak tentang kasus bulletin Radhina. Pun ketika masuk sekolah ia langsung disuguhi tugas dan rapat koordinasi untuk acara pentas seni yang tinggal menghitung hari.

Jam menunjukkan pukul 15.03 sore. Matahari masih semangat menyinari aula sekolah yang kini lebih mirip gudang kreatif — atau ladang ranjau emosi, tergantung dari sudut pandang siapa yang melihat. Sound system sudah dinyalakan, panggung sedang dipasangi backdrop dari karton berkilau (yang sedikit miring karena double tape-nya kehabisan tenaga), dan satu penari latar sedang nangis gara-gara bulu mata palsunya copot sebelah. Keiza berdiri di sisi panggung, mengenakan headset yang lebih sering membuat kepalanya sakit daripada terasa profesional. Ia sedang membantu ekskul drama menyiapkan pentas seninya.

Harusnya ini menjadi tugas panitia pentas seni yang lain, tapi berhubung Keiza butuh lebih banyak kegiatan untuk mengalihkan pikirannya, jadilah cewek itu terjebak pada: kekacauan yang sudah mulai bersemi bahkan sebelum gladi kotor dimulai. Di tangan kiri Keiza ada clipboard penuh coretan jadwal, dan di tangan kanannya... sisa keripik yang ia kunyah cepat karena belum sempat makan siang. Lagi.

Keiza dalam hatinya membaca mantra, “cara paling ampuh buat ngelupain sakit ya, pakai sakit yang lain.”

Gila memang, tapi ia sedang butuh kegilaan itu.

Dari kejauhan, muncul dua makhluk bernama Gibran dan Digo, masing-masing membawa aura santai yang bisa bikin Keiza naik darah tanpa alasan. Gibran membawa speaker bluetooth sebesar galon isi ulang, sementara Digo sibuk mengutak-atik kabel... yang entah kenapa malah nyambung ke charger HP-nya sendiri.

Keiza menyipitkan mata, “Kalian habis ngapain aja, sih? Katanya bakal dateng dalam sepuluh menit, tapi ternyata lamanya kayak nyebrang antar planet.”

Gibran hanya nyengir, setengah ngantuk. Mungkin kalau boleh dibilang, cowok ini adalah Ketua Pelaksana tersantai dalam sejarah pentas seni Teruna Angkasa, “Sorry Ja, gue baru selesai ngedit video pembuka pensi. Render-nya makan waktu 4 jam. Laptop gue sampe panas, kayaknya bisa sampe bikin sunny side up."

“Mana UP, bilang aja lo ketiduran,” sela Digo.

“Kamu juga telat, Go.” Pedang mata Keiza beralih pada Digo.

“Maaf Ja, gue baru nemu kabel HDMI! Sempet nyambung ke setrika dulu, sih... tapi ya sama-sama kabel, kan?”

Keiza baru mau menggebuk Digo dengan papan clipboard saat Avissena ikut bergabung bersama mereka.

“Assalamu’alaikum, maaf telat.” Avissena memberi Keiza senyuman transaksionalnya.

“Wa’alaikumussalam, Kalau ini pentas seni jadinya nunggu kalian terus, judulnya ganti aja jadi Terlambat Itu Seni.” Keiza memberi tiga cowok di depannya tatapan tajam.

“Tau’ lu, Bran!” Digo menggebuk pundak Gibran seolah tak punya salah apa-apa.

“Lah lo juga baru dateng!” Gibran menyalak. “Lo juga, Vis!”

“Persiapan lomba dulu, Bung.” Avissena menepuk pundak Gibran singkat.

Keiza mendengkus, “berhubung kalian udah dateng, aku mau cek data tiket dulu. Nih, lanjutin jadi operator drama sampai Keanu dateng.” Keiza menyebut nama PIC operator drama sembari menyerahkan headset dan papan clipboard pada Gibran. Ia kemudian membetulkan jilbabnya yang sudah lunglai, berjalan ke tepi aula untuk duduk bersila dan membuka laptop. Keiza hendak melihat data penjualan tiket pentas seni. Tugas utamanya dalam acara ini adalah sebagai koordinator Dokumentasi dan Media, tetapi selain itu ia juga ikut membantu bagian lain, salah satunya adalah bagian ticketing.

“Ja, kamu bantuin ticketing juga?” Avissena bertanya tanpa tedeng aling-aling. Rupanya cowok itu mengikuti Keiza dan mengambil posisi duduk di depannya. Keiza hanya menjawab dengan anggukan.

“Pantes capek, kalo sekolah ini punya sistem bantuan darurat, kamu pasti tombol ‘Emergency Help’-nya,” ledek Avissena kemudian. Keiza hanya memberi Avissena pandangan kesal, singkat, dan tak memberinya respon apapun. Sejak bertengkar dengan Radhina, Keiza bisa melihat dimana posisi Avissena berdiri. Karena itu Keiza merasa ia perlu mengambil jarak. Rasa iri itu sudah menyakiti dan ia tak ingin menambah luka dengan melihat keberpihakkan Avissena.

Hanya saja Keiza tidak tahu, kepada siapa sebenarnya Avissena benar-benar berpihak. Jeda hening yang panjang membuat Avissena berkata lebih serius,  “Ja, kamu kenapa?” Memang seperti itulah Avissena yang Keiza kenal, selalu bertanya dengan gamblang. Namun Keiza tak ingin berhadapan dengan sikap itu sekarang.

“Hmm,” hanya itulah yang bisa Keiza katakana sembari menggeleng, ia terus saja melihat ke layar laptop. Avissena segera bertanya lagi.

“Apanya yang ‘hmm’?”

Keiza akhirnya mendongak untuk melihat Avissena, “maksudnya, ya, nggak apa-apa.” Sepertinya cowok itu tak akan berhenti sebelum Keiza memperjelas kalau ia sedang tak ingin diganggu. Avissena baru akan mengatakan sesuatu ketika Danes muncul dan mencengkeram pundak Avissena. Buru-buru, ngos-ngosan, dan jelas-jelas tidak datang hanya untuk membantu panitia pentas seni.

“Gue… gue harus ngomong. Sekarang. Sama kalian berdua.”

Avissena mengangkat alis, waspada, “Tarik napas dulu, Bro. Lo kayak habis dapet nilai try out jelek aja. Sini duduk.”

Danes duduk sembari menggebuk pundak Avissena tak serius. “Ini soal Radhina. Gue… gue baru aja periksa isi tab kelas buat maintenance.” Mata Danes kini tertuju pada Keiza, “kemarin lusa, itu dipakai kelas lo, Za.”

“Nggak sengaja, gue lihat akun sosial media yang belum ke log out. Ada notifikasi chat di situ. Isinya... parah."

Suasana yang tadi ramai, mendadak mengecil. Keiza menegakkan duduknya. Avissena juga menatap Danes serius. Danes membuka ponselnya, memperlihatkan deretan chat dengan nama-nama yang mereka kenal. Grup itu bukan sekadar obrolan iseng. Ada potongan kalimat menyakitkan:

“Gila, kemarin gue disamperin sama Andaru dan Avis! Mereka beneran tahu gue yang nempel tulisan itu lewat CCTV!”

“Ya, terus?! Mereka nggak bakal ngeluarin kita dari sekolah cuma karena tulisan itu, kan?”

“Nggak, lah! Keiza juga diem aja. Lagian, dia juga udah cabut semua tulisan itu. Aman lah, kita.”

“Bagus, lah. Gue sebenernya pengen banget share itu di sosmed. Tapi buat sekarang, kita cari aman dulu.”

“Lagian, si Radhina sok banget sih. Mentang-mentang deket sama Andaru!”

“Btw dia suka sama Avissena gak sih? Jijik.”

Avissena menahan napas. Keiza sendiri merasa detak jantungnya pindah ke tenggorokan. Aula yang tadi penuh semangat kini terasa sesak. Seketika Keiza bangkit, amarah meletup dalam dirinya. Isi percakapan dalam grup rahasia ini bukan hanya menjelek-jelekkan Radhi, tetapi juga melukai harga dirinya. Apalagi begitu Keiza membaca nama admin grup yang juga merupakan sosok paling frontal memberi pesan di dalam grup provokatif itu. Orang yang sangat Keiza kenal baik.

Sekali lagi, Keiza jadi mengerti bagaimana cara Radhina berpikir. Kesal dan amarah yang memuncak berhari-hari, ingin sekali ia lampiaskan saat ini juga.

oOo

Keiza tak mengindahkan panggilan Avissena. Ia terus saja berjalan ke kantin, membeli sebotol air mineral dan melangkahkan kaki menuju ruang ekskul jurnalistik. Ini hari rabu, selain jadwal persiapan pentas seni, anak-anak jurnalistik biasanya berkumpul untuk menyetorkan karya. Lokasinya di ruang ekskul, begitu sampai mata Keiza segera menjelajah, mencari sosok yang—tak pernah ia sangka, menjadi minyak dalam kobaran obrolan di grup chat itu. Keiza menemukannya! Ia menarik nafas panjang sebelum melangkah cepat, mendekat. Tanpa basa-basi, kali ini sambil membuka tutup botol air mineral yang baru saja ia beli. Sekonyong-konyong ia tumpahkan air mineral itu ke atas kepala Abella.

“Hah!” Abella langsung lompat menjauh. Matanya melihat ke sekujur tubuh, lega ketika tahu ia hanya disiram air bersih. Tapi wajahnya ternganga ketika Keiza berdiri tenang di hadapannya sambil menggenggam botol air mineral yang sudah kosong.

“Za! Kamu kenapa?!” Nita sangat terkejut, menghadang ditengah-tengah antara Keiza dan Abella.

“Kenapa kamu lakuin itu, Bel?” desis Keiza, tak peduli pada Nita yang kebingungan dan seluruh anggota lain yang menatap kejadian itu, ngeri. Untuk pertama kalinya mereka melihat Keiza marah.

Avissena yang mengejar berhenti di ambang pintu ruang ekskul. Cowok itu menahan diri, berusaha untuk tak ikut campur. Lewat CCTV, Andaru menemukan orang yang menempel berita sampah tentang Radhina adalah Bais, bersama dengan seorang cewek yang terlihat memakai topi. Tentu saja Andaru dan Avissena langsung mendisiplinkan Bais. Hanya mereka belum mencari tahu siapa sosok cewek yang satunya. Tapi siapa sangka Danes datang hari ini dan memberitahu mereka siapa otak sebenarnya dari berita sampah itu.

“Aku nggak ngerti maksud kamu?!” Abella memasang wajah ingin menangis. Tapi Keiza bukan lagi idiot yang bisa ditipu oleh wajah menyedihkan cewek di depannya ini.

Keiza menggebrak meja sekalian meletakan selembar foto yang lusuh karena dicengkeram keras sepanjang berjalan tadi. Nita segera meraih foto itu. Foto dari CCTV yang sudah dizoom dan dipertajam. Sekilas memang tak kentara itu adalah Bais, terutama karena mereka memakai masker. Namun Avissena menemukan ada satu detil yang luput dari mata semua orang. Sepatu yang dipakai Bais dan postur tubuhnya.

Lalu untuk sosok satu lagi di dalam foto yang tampak memakai topi. Meski memunggungi kamera CCTV tapi Keiza menyadari suatu hal. Ia menunjuk botol air minum yang bertengger di meja dekat tas Abella. Botol minum orisinil karakter luar negeri yang bentuknya seperti pemukul bisbol. Tak banyak orang yang punya botol minum seperti itu. Botol itu terlihat dalam dekapan siswi bertopi, sepertinya ia berusaha melindunginya dari sorotan kamera. Tapi dalam potongan gambar itu, tampias cahaya dan angle yang pas membuat botol itu terlihat jelas di dalam foto.

Nita ternganga, Abella pucat pasi.

“Kamu dan Bais, kan, yang masang foto itu?” suara Keiza terdengar dingin, tapi matanya menyala.

Abella tampak ketakutan. “Za, dengerin dulu—”

“Enggak! kamu nggak punya hak nulis hidup siapapun kayak gitu. Apalagi masang foto itu tanpa izin redaksi. Itu privasi, Bel. Aku dan Radhi selama ini percaya sama kamu!”

Wajah Abella semakin pucat, ia mulai menangis. “Bukan… bukan aku, Za.”

“Aku tahu soal grup itu, Bel. Kalo kamu masih nggak ngaku, aku bakal cetak semua isi percakapan busuk kamu di sana! Kamu tahu aku mampu ngelakuin itu.” Suara Keiza terdengar menyayat di akhir kalimat.

Habis sudah, Abella tak bisa mengelak lagi, “aku cuma... mau nunjukkin realita.”

“Realita?” Keiza mendengkus, menahan amarah yang hampir meledak. “Yang kamu tunjukkin itu pengkhianatan, bukan realita!”

Abella sudah tak bisa berkata apa-apa, hanya bisa mengepalkan tangan dan berlari keluar dari ruang ekstrakurikuler. Ia semakin merasa malu saat melihat Avissena ada di dekat pintu. Namun kemudian, Abella berlari menjauh dan menghilang di tikungan lorong.

Menyadari sudah menjadi pusat perhatian, Keiza juga hendak keluar dari ruangan. Ini tidak cukup. Meskipun sudah menyiram atau melabrak, amarahnya tak juga mereda. Justru Keiza semakin merasa sakit. Apa yang salah dari dirinya? Sekarang Keiza hanya ingin menangis sejadi-jadinya.

Ia memutuskan untuk keluar dari ruangan itu, tapi sebelum benar-benar keluar, kakinya berhenti. Setitik kesadaran terbit dalam dirinya. Amarah itu yang meluap-luap itu kini berubah menjadi penyesalan.

Keiza sudah lupa diri.

Keiza perlahan menghadap ke para anggota ekskul jurnalistik yang masih tercengang, mencerna kejadian ini di tempat mereka masing-masing. Keiza menatap teman-temannya dengan rasa bersalah yang teramat sangat. Tak seharusnya ia membuat atmosfir ruang temu ekstrakurikuler menjadi begitu mencekam.

“Aku minta maaf,” suara Keiza bergetar. Ia menundukkan kepal dan tetap berada di posisi itu selama beberapa detik sebelum mengangkat lagi kepalanya dan berkata, “aku minta maaf kepada kalian semua. Aku, Keiza, akan mengundurkan diri dari posisi Ketua Ekskul Jurnalistik.

Aku pikir, aku berdiri atas nama kebenaran dan etika jurnalistik yang selama ini kita sama-sama pelajari. Tapi aku sadar cara aku menyikapi pelanggaran dari salah satu anggota—” Keiza melirik tempat semula Abella duduk, “bukan sikap yang bijak, walau…” Keiza menghapus bulir air mata yang mengalir di pipi kanannya, “walau niat-ku adalah buat ngejaga integritas ekskul jurnalistik, tapi aku nggak seharusnya…”

“Ja…” Nita hendak mendekat pada Keiza, wajahnya juga terlihat ingin menangis.

Keiza menelan ludah, berusaha untuk tak menjatuhkan air mata lebih banyak. Ia melanjutkan, “jurnalisme itu soal tanggung jawab, dan sebagai ketua, seharusnya aku bisa kasih contoh yang lebih baik. Jadi, ini akhir dari jabatanku. Tapi bukan akhir dari temen-temen semua untuk berjuang dan berkarya.”

Air mata tetap mengalir dan lagi-lagi Keiza berusaha menghapusnya, “terima kasih buat temen-temen yang udah support sejauh ini, mulai besok, aku akan secara resmi ngundurin diri dari posisi Ketua Ekskul Jurnalistik.

oOo

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Perahu Jumpa
244      203     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
ZAHIRSYAH
6448      1907     5     
Romance
Pesawat yang membawa Zahirsyah dan Sandrina terbang ke Australia jatuh di tengah laut. Walau kemudia mereka berdua selamat dan berhasil naik kedaratan, namun rintangan demi rintangan yang mereka harus hadapi untuk bisa pulang ke Jakarta tidaklah mudah.
Moment
318      273     0     
Romance
Rachel Maureen Jovita cewek bar bar nan ramah,cantik dan apa adanya.Bersahabat dengan cowok famous di sekolahnya adalah keberuntungan tersendiri bagi gadis bar bar sepertinya Dean Edward Devine cowok famous dan pintar.Siapa yang tidak mengenal cowok ramah ini,Bersahabat dengan cewek seperti Rachel merupakan ketidak sengajaan yang membuatnya merasa beruntung dan juga menyesal [Maaf jika ...
Manuskrip Tanda Tanya
5446      1685     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...
MASIHKAH AKU DI HATIMU?
674      451     2     
Short Story
Masih dengan Rasa yang Sama
Slap Me!
1564      713     2     
Fantasy
Kejadian dua belas tahun yang lalu benar-benar merenggut semuanya dari Clara. Ia kehilangan keluarga, kasih sayang, bahkan ia kehilangan ke-normalan hidupnya. Ya, semenjak kejadian itu ia jadi bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Ia bisa melihat hantu. Orang-orang mengganggapnya cewek gila. Padahal Clara hanya berbeda! Satu-satunya cara agar hantu-hantu itu menghila...
BOOK OF POEM
2224      737     2     
Romance
Puisi- puisi ini dibuat langsung oleh penulis, ada beragam rasa didalamnya. Semoga apa yang tertuliskan nanti bisa tersampaikan. semoga yang membaca nanti bisa merasakan emosinya, semoga kata- kata yang ada berubah menjadi ilustrasi suara. yang berkenan untuk membantu menjadi voice over / dubber bisa DM on instagram @distorsi.kata dilarang untuk melakukan segala jenis plagiarism.
The Red Haired Beauty
470      324     1     
Short Story
Nate Nilton a normal senior highschool boy but when he saw a certain red haired teenager his life changed
The Secret
411      282     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
CORAT-CORET MASA SMA
482      349     3     
Short Story
Masa SMA, masa paling bahagia! Tapi sayangnya tidak untuk selamanya. Masa depan sudah di depan mata, dan Adinda pun harus berpikir ulang mengenai cita-citanya.