Life must go on.
Setelah seharian mengurung diri di kamar, Keiza menyadari kalau ponselnya mati total. Ia mengambil pengisi daya, mencoloknya dan menunggu beberapa saat untuk menyalakan ponsel itu. Sudah ada banyak sekali chat dan telepon yang masuk. Kebanyakan dari keluarga besar. Lalu Ayah dan Bunda. Juga Kiara….
Seketika Keiza sadar kalau ia bukan satu-satunya yang merasa sakit.
Saat keluar dari kamar, Keiza menemukan langit sore itu berwarna jingga pucat. Matahari hampir tenggelam, tapi sinarnya masih menyelinap melalui jendela ruang tamu. Keiza melihat ke sekeliling, sejak pagi, rumah mereka terasa hampa—sepi, seperti ada sesuatu yang hilang dan tak bisa kembali. Saat ini, ruang demi ruang dalam rumah kontrakan ini terasa semakin sepi. Ayah pasti masih di kantor koran, sementara Ibundanya juga—seperti biasa, baru akan sampai rumah di malam hari. Setelah memberi anak-anaknya berita mencengangkan keduanya memilih untuk kabur? Keiza tersenyum pahit.
Keiza berjalan mencari Kiara. Rupanya adiknya itu sedang ada di kamar Bunda. Di sudut tempat tidur, gadis itu duduk memeluk lututnya, menatap kosong ke arah lantai. Keiza rasa hujan yang baru saja berhenti tak sanggup menenangkan hati mereka. Pintu kamar terbuka perlahan. Keiza masuk tanpa bicara, hanya berjalan menghampiri.
“Kak… kenapa sih mereka harus pisah? Kita salah apa, Kak?” ucap Kiara dengan suara gemetar.
Keiza duduk di samping Kiara, mengusap punggung adiknya, “kita nggak salah apa-apa, Ra… Ini bukan karena kita.”
“Tapi semuanya bakalan berubah kan, Kak? Ayah nggak pulang lagi. Ibu malah terus sibuk sendiri. Aku benci ini semua...” matanya mulai berkaca-kaca lagi.
“Aku juga bingung... Aku juga marah, Ra. Tapi mereka pasti punya alasan. Mungkin mereka udah coba bertahan, tapi nggak bisa lagi.” Kalimat itu terasa mengambang di mulut Keiza. Seperti… ia tidak mengatakannya untuk sekedar menghibur Kiara, tetapi juga bicara pada dirinya sendiri.
“Tapi kenapa harus cerai? Nggak bisa baikan aja gitu? Bukannya keluarga harus saling maafin?”
“Kadang… maaf aja nggak cukup untuk bikin semuanya baik lagi. Mungkin... daripada terus bertengkar dan bikin kita tambah sedih, mereka pilih jalan ini.”
Kiara terisak, “Tapi aku takut, Kak... Nanti kita tinggal sama siapa? Ayah atau Ibu? Aku pengen dua-duanya...”
Pertanyaan itu menyayat sebagian diri Keiza. Apakah ini yang Radhina rasakan begitu mengetahui kedua orang tuanya bercerai? Apakah Rakesha juga melakukan hal yang sama seperti Keiza saat ini? Bicara dengan adiknya dengan tenang. Tidak. Kedewasaan macam apa yang bisa diharapkan dari bocah berusia delapan dan sembilan tahun?
Keiza menangis, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Radhina di masa lalu. Ia memeluk Kiara demi menenangkan dirinya sendiri. “Kita masih punya satu sama lain, Ki. Selama aku ada, kamu nggak sendiri. Kita hadapin ini bareng-bareng, ya?”
Kiara mengangguk kecil, mencengkeram baju Keiza, “jangan tinggalin aku juga, ya, Kak."
“Nggak akan. Kakak janji.”
Keiza membiarkan air matanya mengalir, bersama dengan Kiara. Mereka berdua tahu bahwa hidup tak akan sama lagi, tapi setidaknya mereka punya satu sama lain. Dan kadang, itu cukup untuk membuat hati yang patah perlahan sembuh.
Life must go on.
Keiza menelan ludah, matanya yang sembab menatap kedua tangannya yang memeluk Kiara. Satu hal besar muncul dalam benaknya. Meski berita perceraian itu tak bisa diganggu gugat dan terdengar masih menyakitkan—entah sampai kapan, Keiza bisa merasakan kedua tangannya bergerak. Ia masih merasakan nafasnya yang mulai teratur, telah reda dari isak tangis yang panjang. Sore ini, ia masih hidup. Walau menyakitkan—dan bila mengingat pembicaraan semalam masih membuatnya ingin menghilang, tapi berita itu tak bisa membuat hidupnya dan Kiara berhenti.
Saat ini yang Keiza perlukan hanya terus bergerak. Terus melanjutkan hidup.
oOo
Awalnya memang tak kentara, tapi lama-lama terasa juga. Radhina tak lagi sering menemukan Keiza. Pasca pertengkaran itu mereka memutuskan untuk pisah tempat duduk. Keiza tetap di tempatnya, sementara Radhina mengambil tempat di deret belakang. Posisi enak para cowok untuk main game online. Namun Radhina menyadari ada yang aneh dari Keiza. Cewek itu sering pulang cepat, lalu izin tidak masuk satu hari berikutnya. Radhina pikir itu karena mereka sedang bertengkar. Wajar kalau Keiza mengambil jarak, tapi perlahan… Radhina merasa kalau penyebab bungkamnya Keiza bukan hanya tentang itu.
Radhina tentu mengikuti saran Avissena untuk berpikir ulang tentang Keiza. Apakah Keiza benar-benar akan menyakitinya? Bagaimana mau menyakiti Radhi kalau orang yang bersangkutan saja sudah kelihatan seperti mayat hidup. Lihat lingkar matanya yang menggelap, jauh lebih parah ketimbang Radhina yang membolos karena Rakesha dahulu.
“Mau sampai kapan kalian berantem?” tanya Avissena pada saat istirahat siang.
Kantin siang itu riuh seperti biasa. Suara gesekan sendok dengan piring plastik, tawa anak-anak Teruna Angkasa dan deru kipas angin di pojok atas kantin bercampur jadi satu. Di meja dekat taman, Radhina, Avissena dan Andaru duduk mengelilingi dua porsi nasi goreng dan satu mie goreng yang belum tersentuh. Ya, sejak kejadian bulletin itu, Andaru lebih sering menemani Radhina dan Avissena. Sejak awal dia memang tipe yang protektif dan akan selalu begitu.
Radhina menopang dagu dengan tangan kirinya, menatap sembarangan ke arah kios somay. Di depannya, Andaru dan Avissena saling pandang sejenak sebelum akhirnya Avissena berkata lagi, “Dhi... gua tahu lo lagi nggak mau bahas ini, tapi kita harus ngomong soal Keiza.”
Radhina masih menatap kios somay, membalas dengan nada suara yang datar, “Nggak ada yang perlu dibahas.”
Andaru menghela nafas, ia lalu mencondongkan badan sedikit, kemudian berkata serius tapi lembut, “Kami udah cek CCTV, Dhi. Bukan Keiza yang nempel berita tentang lo."
Radhina menoleh perlahan, mengangkat alisnya. Ia tertarik pada fakta itu tetapi gengsinya masih sangat tinggi, “Kalian belain dia sekarang?”
Andaru mengangkat alisnya juga, “kami cuma pengen lo baikkan sama temen cewek pertama lo.”
Radhina terdiam sebentar, Andaru benar. Radhina Geastari tak pernah benar-benar punya teman perempuan. Keiza adalah teman perempuan pertama yang berhasil mendapatkan kepercayaannya. Dalam hati kecil Radhi, ia tahu kalau Keiza tak mungkin tega menulis berita murahan macam itu.
“Dia yang berubah duluan. Sejak gabung sama geng anak ekskul, dia mulai ninggalin gue pelan-pelan,” meski mengeluh tetapi tatapan mata Radhi mulai melembut.
Avissena berkata pelan, “Lo juga ngejauh, kan, Dhi? Keluar dari ekskul, sering bolos buat bela-belain ketemu Rakes—.”
“Iya-iya! Gue tahu, itu juga salah gue! Gue takut dia ninggalin gue beneran. Jadi gue narik diri duluan. Kayak, biar nggak terlalu sakit kalau dia beneran lupa sama gue!” Akhirnya Radhina mengakui.
Avissena membalas dengan suara pelan tapi penuh keyakinan, “nyakitin diri sendiri tuh bukan solusi, Dhi. Waktu itu Keiza setiap hari nanya ke gue dan Andaru soal lo. Dia nyari lo, tapi lo nutup pintunya duluan.”
Radhina hanya menunduk, air mata mulai menggenang. Mengingat saat-saat Keiza selalu menghampirinya dan bertanya soal bagaimana keadaannya dulu, “iya, gue tahu.”
Andaru tersenyum kecil, “nggak semua jarak harus dibiarin jauh. Kalau lo masih peduli, kejar lagi, Dhi. Gue cukup salut ngelihat perjuangan lo buat deket lagi sama Rakesha, dan gue harap lo juga akan melakukannya ke Keiza.”
Radhina mengangguk pelan. Suara di kantin tetap ramai, tapi di dalam dirinya, ada yang mulai tenang. Rasa gengsi mulai melebur dengan rasa sayang yang lebih besar. Es teh di gelasnya mencair, tapi tekad di hatinya mulai menguat. Mungkin hari ini dia belum siap. Tapi besok, ia akan menyapa Keiza duluan. Namun sebelum itu, ada hal menarik yang ingin Radhina dengar.
“Jadi… siapa yang nempel berita sampah tentang gue?”
oOo