Sebuah suara membuyarkan konsentrasi seorang gadis berjilbab yang sedang duduk di pojok perpustakaan. Itu Keiza yang sedang mengungsi ke perpustakaan lantaran kelasnya berisik seperti pasar rakyat. Padahal ia sudah berusaha untuk duduk di kubikel baca paling pojok dan tersembunyi. Padahal ia sudah menundukkan kepala dalam-dalam karena fokus pada artikel yang sedang ia tulis. Namun semua ‘padahal’ itu sia-sia karena cowok tak tahu diri yang melongokan kepala di atas pemisah kubikel baca.
“Lo ngapain Ja?” tanya cowok itu sembari nyengir jail.
“Nulis,” Jawab Keiza tak acuh, fokus pada layar laptopnya sendiri. Ia enggan menatap cowok yang mengajaknya bicara ini. Padahal tiga bulan lalu Keiza masih mengangguminya sebagai sosok cerdas nan berwibawa, Avissena, sang Ketua Ekskul Pemrograman. Kini kalau bisa ia menghindar jauh-jauh.
Semua bermula sejak Keiza ikut pelatihan Jurnalistik di Kedoya. Pelatihan yang di puncak acaranya adalah kompetisi menulis esai tentang Hari Anak Nasional. Keiza berhasil memenangkannya. Keiza berhasil meletakkan namanya di buku kumpulan esai yang disumbangkan oleh pihak penyelenggara ke perpustakaan sekolah. Juga mencetak namanya di sebuah piala yang dipajang di lemari kaca lobby sekolah. Karena itulah, Keiza secara tersirat didaulat sebagai penerus Yulia. Calon Ketua Ekstrakurikuler Jurnalistik selanjutnya.
Avis… sejak mendengar berita itu, tiba-tiba menjadi sibuk membujuk Keiza untuk melakukan sesuatu.“Iya, tau. Maksud gue nulis apa?”
“Vis, please,” akhirnya Keiza menatap Avis. Ingin menyudahi basa-basi yang super tak nyaman ini. Secara fisik, selama tiga bulan, cowok tinggi berkulit eksotis—sawo matang, mata abu nan bersih, ini tak berubah. Sayang ketampanan itu harus luntur karena sikap menyebalkan yang cowok itu lakukan sekarang.
“Gue nggak gangguin elo kok. Cuma mau liat aja, liat.” Avis sengaja mencondongkan kepala lebih dalam ke kubikel Keiza, berusaha melihat apa yang sedang ditulis cewek itu. Keiza serta merta menutup sedikit layar laptopnya.
“Aku nggak ‘mau’ Vis.” Keiza berbisik. Berusaha untuk tak berisik di perpustakaan.
“Kenapa? Kan bukan kriminal?”
“Vis! ngerjain tugas-tugas kamu, kamu bilang itu bukan kriminal?” Saking heran dan kaget Keiza sampai lupa berbisik. Cewek itu langsung menunduk karena bunyi “sshh…” yang tedengar dari penghuni perpustakaan yang lain. Jelas orang-orang merasa Keiza terlalu berisik. Tambah bikin gondok karena Avis juga meletakan jari telunjuk tangannya di depan bibir. Memberi kode seenak udel pada Keiza untuk tak berisik juga.
“Maksud gue, nengok tulisan lo kan bukan tindakan kriminal. Pencemaran nama baik, itu baru kriminal,” Avissena tersenyum jail.
“Pencemaran nama baik apanya—“ ucapan Keiza terhenti karena jari telunjuk Avis mendekat pada bibir cewek itu. Refleks Keiza langsung mundur, memberi Avis pandangan keki.
“Menurut kamu, aku berisik di perpustakaan ini karena siapa?” Keiza bicara tanpa suara, melotot kepada Avis. Cowok itu mengabaikan protes Keiza dan malah nyengir semakin lebar. Ia melihat sekeliling sebelum akhirnya bicara lagi pada Keiza dengan suara rendah.
“Gue bener-bener butuh bantuan lo,” Avis agak memohon. Membuat Keiza tertegun sesaat. Ini pertama kalinya Avissena memohon.
“Kamu punya anggota yang bisa kamu andelin, kan?” desis Keiza dengan pangkal hidung mengerut semakin dalam. Berusaha untuk tak tergoda oleh segala tingkah Avis yang diluar dugaan.
Sebagai ketua ekskul pemrograman, Avis harus membuat laporan bulanan yang akan dibacakan saat rapat pleno OSIS di tiap quarter. Nah, saat ini Avis sedang berusaha melobby Keiza untuk membuat–paling tidak, 70% dari laporannya.
Avisenna bilang ia benar-benar sudah terdesak. Cowok itu bukannya tak bisa membuat laporan sendiri. Hanya saja ia lemah bila harus membuat narasi, malas lebih tepatnya. Rekor tercepat Avissena untuk membuat sebuah aplikasi adalah tiga hari. Beda jauh dengan rekor tercepatnya membuat rangkaian rincian kegiatan. Untuk itu paling tidak ia butuh waktu dua minggu. Sementara rapat pleno pertama diselenggarakan minggu depan.
Apalagi Pemrograman adalah ekskul yang baru kena perombakkan. Ada banyak saran dan masukan yang harus direkap. Konsep, draft dan rencana kegiatan juga harus dirapihkan. Data para anggota baru, data perlombaan sampai ke hasil dan lain-lain. Tak mungkin Avissena menyerahkan data-data ekskul pada pada sembarang orang.
Usut punya usut, anggota ekskul jurnalistik punya nilai yang tinggi soal menjaga kerahasiaan orang. Puncaknya saat Avissena membaca esai yang Keiza tulis di perpustakaan dua hari yang lalu. Tercetuslah ide konyol tentang merekrut Keiza menjadi sekretaris sementara.
“Ja, gue harus fokus prepare tiga perlombaan di bulan ini. Seperti yang lo tahu, anggota gue semuanya masih pemula.” Avis meralat, “okelah, mereka bukan pemula, mereka udah punya basic dan udah pada nyaman ngeliat CSS, sekarang ngeliat Ms. Office mereka udah puyeng.” Cowok itu beralasan, berusaha meyakinkan.
Keiza mengangkat sebelah alisnya. Avissena segera sadar alasan-alasannya tak cukup untuk membujuk cewek berjilbab melakukan hal yang ia minta. “Lo mau apa?” Avis bertanya. “Bakso? Soto? Es buah? Es… krim?” cowok itu ikut mengangkat alisnya, masih ditambah bumbu senyuman.
“Kamu pikir, aku gampang disogok?” Keiza mengernyit, agak tersinggung.
“Nggak! Nggak gitu, nggak gitu.” Avissena lantas panik, membuat Keiza mati-matian menahan syaraf di sekitar pipinya, berusaha untuk tak tertawa, tapi toh segaris senyum akhirnya nampak juga.
Melihat itu, Avis merasakan secercah harapan.
“Gue bakalan sangat berterima kasih kalo lo mau bantu. Sekali aja, sumpah, tim gue masih belom keluar dari fokus lomba. Gue janji setelah lomba selesai gue akan—“
Keiza mengangkat tangannya. Tak ingin melihat Avissena mengemis lebih dari ini.
“Setelah lomba, kamu harus tunjuk siapa gitu buat jadi sekretaris ekskul.”
Avis menjentikkan jari, “kita udah punya namanya. Tapi dia masih harus dapet izin orang tua karena—kayak biasa, dia anak pengejar skor. Les-nya nggak bisa ditinggal.”
“Ya jangan dia dong!” Keiza protes, kayak nggak ada kandidat lain aja.
Avissena menjawab protes itu dengan sedikit cengiran dan mengarahkan jari telunjuk ke mulutnya sendiri. Menyuruh cewek itu untuk jangan berisik. Mereka masih di perpustakaan. Membuat cewek itu kembali teringat dan tertawa miris.
“Gimana kalo lo aja?” Avis berkata dengan maksud iseng. Tentu saja ia tahu kalau Yulia sudah men-tag Keiza untuk mengawal ekskul pengolah berita sekolah. Tapi apa salahnya dicoba, ya kan? Siapa tahu Keiza tertarik dengan Bahasa Pemrograman.
Keiza menjentikkan jari, berusaha menyadarkan Avissena yang ia rasa sedang halu. Kalau tidak halu, berarti otaknya korslet karena kebanyakan mengurus lomba.
“Vis, aku bukan anak pemrograman.”
“Tapi kita temanan! Jadi teman, gue bakal sangat berhutang budi kalo lo bersedia—“
“Ya, ya! Oke-oke! Tapi cuma sampe lo kelar lomba!” Akhirnya Keiza mengiyakan.
“Deal!” ganti Avis menjentikkan jari, excited.
“Tapi kamu harus serius cari sekretaris buat ekskul kamu,” Keiza menegaskan. Avis mengangguk-angguk setuju,
“count on you,” katanya ceria sebelum pamit keluar dari perpustakaan.
oOo
“Lo tolak aja aturan. Kalo lo biarin dia minta tolong terus, gimana?” Omel Radhina saat keduanya berjalan cepat menuju ruang guru. Kedua tangan mereka penuh setumpukan buku. Poni Radhina yang pendek dijepit ke belakang agar tidak menghalangi pandangan. Keiza sendiri berjalan sejajar di samping Radhi, mulutnya sedang manyun karena pertanyaan Radhina juga benar.
“Katanya dia bakal cari sekretaris baru setelah lomba.”
“Tapi emang sih, gue nggak pernah liat dia kewalahan kayak gini.” Radhi berdecak. “Andaru sialan, bisa-bisanya dia ngorbanin Avis buat benahin ekskul yang udah kacau gitu.”
Keiza mencebik, ingat sosok Ketua OSIS. Sikapnya ramah tetapi memiliki aura mengintimidasi. Keiza yang sering diajak ayahnya mencari narasumber saja tak mampu menatap matanya lurus-lurus lebih dari lima detik. Hati kecil Keiza beralasan, mungkin karena mereka tak kenal baik. Kadang Keiza penasaran, sosok seperti apa Andaru itu. Radhina sering menyebut namanya, menjelek-jelekkannya dan memilih untuk menghindar kalau berpasan dengannya. Berlawanan dengan penduduk sekolah yang sangat pro pada segala tindak-tanduk Andaru. Termasuk Avissena sendiri.
“Lagian, Avis bisa aja jago bikin sistem aplikasi, tapi masa’ dia kacau di sistem kepengurusan ekskul sendiri.” Radhina terus berkomentar.
“Karena itu aku bantuin dia sekarang. Dia janji buat nyari sekretaris setelah semua lomba kelar. Kira-kira satu setengah bulan.” Keiza menjelaskan. Radhina langsung memberi anggukan, mulai memaklumi keadaan Avissena sekarang. Kemudian ia menyenggol bahu Keiza dengan bahunya,
“Terus lo mau nolong dia tanpa ada syarat apa-apa, gitu?” Radhi bertanya iseng.
Dahi Keiza mengerut bingung, “syarat apa?”
“Apa kek, misalnya minta beli es krim, empat biji.”
Tawa kecil Keiza menyembur. “Dia sempet nawarin bakso sih.”
“Terus?”
“Terus?” Keiza menunjukkan muka clueless.
Radhi berdecak, “lo tolak?”
Keiza mengangguk, mendadak merasa tak yakin kalau apa yang dilakukannya sudah benar.
“Lo terima aja aturan!” Radhina menyayangkan, kemudian ia agak mendekat ke telinga Keiza seraya berbisik. “Duitnya dia banyak!”
“Yakali, aku murah banget! Lagian, nanti aku dicap gampang disuruh-suruh lagi.”
“Nggak lah, kalo dia nyuruh lagi ya tolak lah. Seriously, orang yang memanfaatkan itu tuh juga harus dimanfaatkan! Saling memanfaatkan deh kalian! Apa itu deh sebutannya,” Radhi berpikir sebentar.
“simbiosis mutualisme?” Keiza mulai cengengesan mendengar penjelasan Radhina yang terdengar sedang ngeguyon.
“Nah, iya itu!”
“Ya ya, nanti kalo dia mau kasih sesuatu lagi, nggak bakal aku tolak.” Keiza meladeni guyonan itu sembari mencari-cari waktu yang tepat untuk bertanya lebih jauh soal Andaru. Agak kepo sih, dan… mungkin saja kan ia akan ditugaskan mewawancarai cowok itu.
oOo