Kelas X DKV 1 kebagian jam olahraga di saat matahari merayap naik ke titik puncak. Seharusnya mereka berolahraga di lapangan indoor, tetapi tempat itu masih dalam proses penggantian tiang basket baru. Jadi mereka harus bersahabat dengan cubitan matahari di lapangan area gedung utama. Bersyukur, gumpalan awan cukup tebal sehingga terkadang menutupi sinar mentari yang menyengat. Pohon-pohon rimbun yang tertanam di tepiannya juga menyelamatkan. Bisa menjadi tempat berteduh dadakan. Keiza merasa memilih Teruna Angkasa sebagai sekolah adalah hal yang benar.
Namun rasa syukur itu teralih menjadi penasaran, karena Keiza dan Radhi melihat trio kakak kelas rese’ juga muncul di lapangan utama. Tak nanggung-nanggung, ternyata Anna—kakak kelas yang menjemur kelas DKV 1 saat MPLS, juga ada di kelas yang sama.
For your information, tiga kakak kelas rese’ adalah senior yang menyudutkan Abella saat mendapat tugas wawancara beberapa hari yang lalu. Usut punya usut kelas mereka kebetulan juga sedang ada jam olahraga. Guru kelas mereka tidak masuk sehingga terpaksa dicampur dengan kelas junior.
“Kenapa sih kita harus ketemu mereka?” Radhi menggerutu.
“Karena kita masih satu sekolahan?” jawab Keiza singkat, berusaha mengenyahkan semua kenangan buruk tentang Anna atau tiga senior yang lain. Mereka seharusnya sudah tak ada masalah. Radhi sendiri memanyunkan bibir. Tak puas mendengar jawaban Keiza yang masuk akal. Meski itu fakta tapi terdengar menyebalkan ditelinganya yang gampang panas.
“Udah-udah, tuh liat ada Kak Bayu juga! Lumayan kan cuci mata.” Abella yang ada di antara mereka menghibur. Memang benar sih, Bayu si Ketua ekskul Basket ternyata berada di kelas yang sama dengan Anna dan tiga kakak kelas rese’. Mereka adalah anggota kelas Sebelas Administrasi Perkantoran Satu (disingkat menjadi XI AP 1).
Merujuk pada kehadiran Bayu, kontras dengan wajah Radhi yang mencebik, ekspresi anak-anak perempuan lain dari kelas X DKV 1 terlihat semringah. Merasa menemukan kebahagiaan di jam olahraga yang tidak ramah kulit ini.
Guru olahraga yang sudah cukup berumur muncul dari sisi gedung. Meniup-niup peluit tanda para murid diminta berbaris.
“Hari ini, anak laki-laki dari sepuluh DKV bisa gabung sama kakak kelas dari sebelas AP. Kalian buat 2 tim untuk mini game di lapangan futsal. Bapak akan jadi wasitnya. Sementara anak perempuan, bisa gabung dan buat tim untuk main basket di lapangan ini.” Pak Guru Olahraga menengok ke arah Bayu.
“Bayu, kamu nanti jadi wasit mereka.”
Suara-suara gembira langsung terdengar di barisan perempuan X DKV. Membuat para kakak kelas cewek melirik mereka dengan pandangan; apa sih, norak!
“Tapi sebelum itu,” Pak Guru kembali mengambil perhatian. “Seperti biasa kita lakukan pemanasan. Baik, mulai.” Pak Guru memulai pemanasan yang hampir mirip dengan latihan militer. Diawali stretching lima menit, lalu naik turun undakan-undakan tepian lapangan, sit up, dan lari bolak-balik yang semuanya di lakukan 30 kali! Setelah itu dijamin para murid cewek tidak akan bisa melakukan lay up dengan benar.
Abella melipir ke barisan Keiza dan Radhi. Bersama dengan seorang teman yang Keiza kenal bernama Rere, mereka satu kelas. Setelah bisik-bisik singkat, rupanya Abella sedang mencari perlindungan tambahan.
“Kan lo udah nolak Gibran!” Bisik Radhi saat Bayu sedang sibuk memberi penjelasan tentang permainan basket. Bibir Abella tertekuk, ia duduk diapit oleh Keiza, Radhi dan Rere. Berusaha mencari pegangan dan bertahan saat ketiga kakak kelas memberinya tatapan garang.
“Iya tapi kayaknya Kak Gibran belom nyerah!” Suara Abella mencicit kecil.
“Ih, nggak usah dipikirin kali, Bel! Mereka tuh nggak ada hubungannya sama lo.” Rere, si gadis bermata sipit dengan rambut lurus sepinggang menimpali. Rere adalah teman sebangku Abella. Orang yang sejak awal menjadi teman akrab gadis itu saat awal masuk sekolah. Sebagaimana Keiza dan Radhi. Hanya saja ketika pembully-an terjadi, Rere harus pulang lebih dulu karena ada keperluan di rumah. Jadilah ia absen membela teman sebangkunya itu.
“Ngomongin itu-nya nanti dulu, deh. Masa’ mereka mau macem-macem, lagi ada kelas begini.” Keiza berusaha membuat Radhi, Abella dan Rere kembali fokus pada penjelasan Bayu. Tapi toh mata Keiza justru menangkap sosok selain Bayu. Ia memperhatikan cowok berkulit coklat yang nampak serius membaca sebuah makalah di selasar lantai dua gedung utama.
“Ja! Lo temenin gue main ya!” Abella menepuk pundak Keiza, menyeretnya keluar dari sebuah lamunan singkat. Ternyata Abella terpilih masuk ke dalam tim permainan basket.
“Oh iya-iya. Oke.” Cewek berjilbab itu tak sempat mencerna, hanya bisa manggut-manggut. Kembali melirik sosok yang masih membaca makalah itu, sepersekian detik ia memutuskan kembali fokus pada Pelajaran Olahraga.
“Gue nggak bisa main basket,” Rere mendeklarasikan diri.
“Gue nggak mau main basket.” Radhina menambahi. Ia menolak dengan alasan malas karena panas. Harusnya mereka bisa olahraga di lapangan indoor, bukan di tengah lapangan outdoor pas mau tengah hari bolong begini.
“Dhi, lapangan indoor belom kepasang tiang basketnya,” Keiza menjelaskan dengan sabar.
“Ya, kan, kita bisa main apa kek, badminton kek. Kan bentar lagi olimpiade tuh, sukur-sukur sekalian ikut euphoria kalau kita menang kategori badminton. As always.” Radhina teringat tayangan pertandingan badminton yang membuatnya terpukau beberapa minggu yang lalu. Rere manggut-manggut setuju.
Keiza membuat gerakan mempersilahkan, agar Radhina dan Rere bicara pada Kak Bayu. Keduanya nyengir takut-takut.
“No no, kita tunggu di sini aja.”
Mendadak Keiza terpikir akan sesuatu. “Dhi, emang kenapa sih, kok kamu nggak mau main basket? Bukannya dulu jago?”
“Eh? Masa? Lo jago basket Dhi?” Abella ikut antusias.
“Kata siapa? Avis?” Radhi memberi senyum meremehkan, “jangan percaya!”
Belum sempat Keiza menimpali, Bayu sudah memberi aba-aba agar permainan segera dimulai.
“Oke, jadi sesuai penjelasan saya tadi, tim akan dibagi dua ya. Sebelas AP lima orang, sepuluh DKV lima orang. Sekarang tim, bisa ambil posisi di sebelah kanan dan kiri saya.” Bayu tampaknya sudah luwes memberi instruksi. Wajar, kapten tim basket sekolah gitu, lho.
“Dhi, lo bener nggak mau main?” Keiza menawarkan sekali lagi.
“Nggak.” Jawab Radhi cuek. Ia benar-benar tak berniat untuk ikut main basket.
Beberapa menit kemudian, kedua tim sudah terbentuk, X DKV 1 versus XI AP 1. Tim X DKV adalah Intan, Nesya, Abella, Killa (mau karena dipaksa), dan Keiza. Meski sedikit, Keiza tahu peraturan bermain basket, Abella juga. Permainan keduanya bisa dibilang bagus. Namun tentu tak sebagus kakak kelas yang—berdasarkan gosip singkat, sudah masuk ke tim basket sekolah.
Untuk tim XI AP 1 ada Anna, Sela, Mia, Ayu dan Farah. Dua di antara mereka adalah orang-orang yang membully Abella. Entah pertandingan akan jadi seperti apa. Tetapi Keiza yakin kalau X DKV 1 akan sulit memenangkan pertandingan. Satu-satunya harapan, semoga Bayu sebagai wasit cukup adil mengawal permainan basket amatir ini.
Permainan dimulai.
“Mereka itu pada ngapain sih? Main basket, apa arisan?” gerutu Radhi memperhatikan jalannya pertandingan. Rere duduk disampingnya dengan wajah ogah-ogahan, pengetahuannya soal peraturan basket bisa dibilang minus 100. Jadi dia cuma bisa ikut mengerutkan alis ketika Radhi misuh-misuh.
“Bener sih, soal teknik sebelas AP emang bagus. Si Anna ternyata bisa main, canggih juga. Nggak kayak kita… ya ampun, Killa kena fool mulu, tuh!” Radhi berkomentar gemas.
“Sumpah gue nggak ngerti Dhi,” balas Rere dengan muka bingung. Radhi melirik Rere sekilas dengan sebelah alis terangkat,
“Foul Re, pelanggaran!” Radhi memberi tahu, Rere hanya mengangkat bahu. Radhi mendengkus, “Fool,” desisnya singkat. Lalu Radhi terus saja mengomentari permainan, tidak peduli Rere mengerti atau tidak. “Mana sih, katanya kelas dua udah ada yang masuk ke tim basket cewek sekolah? Kok mainnya gitu? Ck, mungkin ini yang bikin mereka nggak pernah menangin piala. Pantes aja Andaru sampe minta gue buat gabung.”
“Lo kenal Kak Andaru, Dhi?” Rere mendadak antusias mendengar nama sang Ketua OSIS disebut. Radhi menggigit bibir, sadar dia sudah keceplosan. Ia langsung memaksa Rere untuk kembali fokus menyaksikan permainan.
“Tan, Oper-oper!” Keiza berteriak di posisi kosong. Dilihatnya Killa dan Nesya dijaga ketat oleh Sela dan Mia. Intan tidak mungkin mengoper kepada mereka. Dengan linglung Intan mendribel bola lalu melempar bola pada Keiza. Saat itu lah…
Bugh. Rusuk Keiza terasa nyeri. Dengan licin sekali, seseorang yang diketahui bernama Mia bisa merebut bola sekaligus melukai Keiza. Radhi yang melihat itu sontak berdiri, menghampiri Keiza yang membungkuk memegangi bagian rusuk kanannya.
“HEH! Curang lo ya!?” bentak Radhi menatap Mia garang. Ia menyadari kalau Mia adalah satu dari tiga kakak kelas yang membully Abella, sekarang dia ikut main di posisi small forward. Orang yang naksir Gibran! Bucin gelap mata yang tak sadar sudah melukai orang! Permainan langsung terhenti. Abella langsung menghampiri Keiza yang berjongkok menahan sakit.
“Curang apanya! Gue cuma ngerebut bola. Lebay amat!” Mia mengelak, memasang wajah tak merasa bersalah.
“Jelas-jelas lo bikin fou—.” Omelan Radhi dihentikan oleh bunyi peluit Guru Olahraga. Pak Hardi menghampiri ketiga orang yang kini bersitegang. Bayu juga tentu ikut mendekat ke kerumunan itu.
“Ada apa ini?” Pak Hardi memang tidak tahu karena beliau sedang memperhatikan permainan sepak bola para siswa.
“Keiza cidera pak. Ditubruk sama dia,” ucap Radhi langsung, menunjuk Mia.
“Bohong pak! Saya nggak nubruk,” sela Mia. “Ya kan, Bay?” ia beralih pada si Kapten Basket sekolah. Bayu tampak bingung, ia terlalu fokus melihat intan melakukan chest pass sehingga tak benar-benar melihat apakah Mia melakukan benturan saat memotong atau tidak. Lagi pula Mia ini sudah masuk ke tim basket sekolah, rasanya aneh kalau orang sekelas Mia melakukan pelanggaran walau ini permainan amatir. Sayangnya, Bayu tak tahu kalau ada unsur dendam dalam permainan hari ini.
“Ya sudah, kalau begitu ganti pemain saja. Keiza, kamu istirahat,” kata Pak Hardi pada Keiza yang sudah berdiri lagi.
“Terus, Mi—Kak Mia masih tetep main gitu, Pak?” tanya Radhi gondok.
Pak Hardi diam sejenak, “Mia kamu berbuat curang?”
“Tidak Pak!” Sahut Mia yakin. Tentu saja Pak Hardi percaya pada kakak kelas yang sudah punya setahun pengalaman di ekstrakurikuler basket ini. Radhi hendak bicara, tapi Keiza menarik tangan cewek itu. “Pak, mohon waktu sebentar. Saya minta izin briefing tim,” katanya sembari memaksakan senyum sopan. Memboyong Radhina ke tepian.
“Nggak ada gunanya kamu ngomel. Pak Hardi nggak lihat kejadiannya, Dhi! Kak Bayu juga nggak, mereka rapih banget cara mainnya. Kalo kamu ngomong terus, itu malah bikin Pak Hardi kesel dan mereka tambah seneng aja.” Keiza berkata cepat. Mengambil waktu sebelum siswi DKV yang lain datang menghampiri mereka.
“Damprat aja langsung, lah Ja!” Bisik Radhi kesal.
“Radhi! Kalo gitu kamu-nya nanti yang kelihatan kurang ajar!” Balas Keiza tak kalah kesal. “Aku nggak apa-apa, sikutannya nggak parah kok. Tapi ayo kita bales pakai cara lain, Dhi! Bales mereka pake cara sportif, gantiin aku!”
Radhi terdiam, lalu tak lama ia mengangguk. Tepat setelah semua siswi DKV berkumpul. Radhi setuju menggantikan Keiza bermain. Cewek itu menghampiri Pak Hardi, sedangkan Keiza kembali ke kursi penonton.
“Pak, saya gantiin Keiza.”
“Oke, kalo gitu kali ini saya akan fokus di sini. Bayu, kamu ikut main sepak bola ke lapangan seberang.” Pak Hardi meniup peluitnya. Permainan pun dimulai kembali.
Radhina bersiap di posisi small forward. Memperhatikan lawan-lawannya dari kelas XI AP 1. Setelah melihat pertanding tadi, Radhi dapat mengambil dua kesimpulan. Pertama, ia harus bisa mengecoh Anna karena cewek itulah yang menjaga ring paling baik. Selain jago paskibra, ia juga bagus memainkan peran sebagai center. Mendadak Radhi paham kenapa Anna lumayan populer di angkatannya. Kembali pada kesimpulan yang kedua, ia harus hati-hati pada tindak-tanduk Mia. Cewek itu benar-benar lincah plus licik.
Bola dilempar, Radhi melompat tinggi-tinggi supaya bisa segera menangkapnya. Sayang waktunya tidak tepat, Radhi terlalu semangat. Jadi Mia-lah yang mendapatkan bola lebih dulu. Dari kursi penonton, Keiza dan Rere menyayangkan hal itu. Namun mereka langsung kembali memberi dukungan, menyemangati teman mereka yang paling tomboy itu.
Kemudian, Keiza yang awalnya fokus memperhatikan kini teralih ketika matanya menemukan Avis. Posisinya masih di tepi selasar lantai dua dengan tangan yang memegang sebuah makalah. Kini ia sudah berhenti membaca dan serius memperhatikan jalannya pertandingan. Terkhusus melihat sosok Radhi yang sedang berjuang.
Sesuatu menyusup di dalam hati Keiza. Perasaan asing yang Keiza sendiri tak mengerti apa maksudnya. Hanya saja, perasaan itu membuat senyumnya terkembang sedikit, alisnya terangkat. Ada sedikit rasa senang karena melihat sebuah perhatian. Sikap yang hanya bisa Keiza rasakan saat menyaksikan atau membaca kisah-kisah romansa.
Mendadak Keiza merasa dirinya sangat konyol. Wajahnya panas. Daripada mengkhayal, Keiza memutuskan untuk kembali melihat jalannya permainan.
Di lapangan, Radhi berlari dan berusaha merebut bola dari operan Mia-Farah. sangat berbahaya karena Mia sudah hampir mendekati ring. Cewek itu melakukan shoot tinggi.
Aah! Radhi berhasil memotong bola dengan lompatan tinggi!
“Keren!” Jerit Rere.
“Semangat, Radhi!” Keiza ikut bersorak.
“Nice.” Puji Avis di tempatnya dengan sebuah senyuman tipis.
Karena dikepung, Radhi segera mengoper bola kepada Abella yang dengan cepat men-dribel ke daerah lawan. Kali ini, Abella dan Nesya menjadi pasangan emas dan mendapatkan satu point lewat shooting Abella. Sementara, point seimbang.
“Radhi jago ya,” gumam Rere tiba-tiba.
“Abella juga,” jawab Keiza.
“Iya ya. Gue juga baru tahu kalo Abella tuh atletis. Padahal abis dibully kemarin.” Rere tertawa. “Eh, tapi dari tadi Radhi nggak nge-shoot.”
“Coba kita lihat ya.” Keiza nyengir, sepenuhnya melupakan rasa sakit pada rusuknya dan menatap pertandingan dengan semangat.
Waktu terus berjalan dan pertandingan sebentar lagi berakhir. DKV I masih ketinggalan 2 point dan situasi semakin memanas. Mia main kasar! Radhi sudah beberapa kali kena sikut. Namun memang pada dasarnya cewek itu tahan banting, jadi ia masih bisa berjuang. Avissena yang memperhatikan jalannya pertandingan juga sampai mengerutkan alis melihat permainan Mia.
Bola di tangan Anna, tapi dengan cepat di ambil Nesya. Kemudian cewek itu mengecoh dengan membuat gerakan seperti akan mengoper pada Abella. Padahal tujuan utamanya adalah Intan. Sayang sekali! Mia tak gampang terkecoh, bola berhasil direbut sedangkan Abella, Nesya dan Intan dikepung. Radhi nyengir, ia dalam posisi bebas sekarang.
Kesempatan! Gerakan Radhi sangat cepat. Jauh lebih cepat dibanding Mia. Itulah yang membuatnya menjadi striker di tim elit SMP dulu. Mia berhasil dikecoh, bola diambil dan Radhina melakukan pivot dengan mulus. Radhi mendekat ke ring lawan. Kemudian, ia terjebak di posisi three point, tentu saja Anna tak akan membiarkan Radhi menembak. Dari kursi penonton cengiran Keiza semakin lebar.
“Ini dia!” Gumamnya girang.
Avissena juga tersenyum. Ia tahu, Radhi pemain yang gesit dan sangat pandai melakukan three point shoot. Ternyata benar! Radhi mencetak three point! Gemuruh sorak sorai dari kelas XI DKV I pun terdengar. Lalu pertandingan berakhir dengan meriah. Meski melewati rute yang sulit, satu kemenangan telah berhasil mereka dapatkan.
oOo
“Keiza?” Suara sopran itu membuat Keiza menoleh. Dia baru keluar dari pintu UKS—untuk minta salep pereda nyeri untuk rusuknya yang kena sikut tadi, ketika dia melihat Andaru berjalan ke arahnya.
Ada apa?
Keiza menyipitkan mata, lalu celingukan ke kanan dan ke kiri. Tak percaya Andaru datang menghampirinya.
“Iya Kak?”
“Nggak bareng Dhina?” ia bertanya.
Dhina? Keiza kelihatan bingung.
Andaru terkekeh, “maksudnya Radhina.”
“Oh! Ke kantin,” jawab Keiza singkat.
“Rusuk kamu gimana? Udah baikan?” Andaru melihat ke rusuk Keiza sekilas.
What? What? What? Tahu darimana kalo aku habis kena sikut? Keiza langsung merinding. Tak menyangka sama sekali Andaru akan bertanya tentang itu.
“Ng-nggak apa-apa kok, Kak.” Keiza menundukkan kepala.
“Avis cerita tadi. Kalian ngelawan anak kelas dua. Susah ya, jadi junior di Teruna Angkasa?”
Pertanyaan itu semakin membuat Keiza heran.
“Nggak kok Kak.” Jawab Keiza segera. Ia tak berani menanggapi apa-apa. Tak tahu juga harus bicara apa. Karena Andaru juga tak jelas apa maunya.
“Oh, ini.” Andaru mengeluarkan sesuatu dari saku seragamnya. Rupanya sebuah kertas yang dilipat. “Saya mau minta tolong kasih ini ke Yulia, ya.”
Keiza semakin heran, sedikit berpikir, apakah dia ini punya bakat sebagai merpati pos? Gadis itu melihat ke wajah Andaru, ke kertas, lalu ke Andaru lagi. Membuat cowok di depannya ini tersenyum jenaka.
“Tolong sampein, ya,” ujar Andaru sembari pamit pergi. Namun baru beberapa langkah ia berjalan memunggungi Keiza, ia berbalik dan berkata,
“Jangan dibuka, ya.”
oOo