“Kenapa harus ikut ekskul Pemrograman?” Radhi meniru kalimat Avissena saat gebyar ekskul seminggu silam. Keiza terkekeh melihat betapa piawainya Radhi mengcopy-paste gaya Avissena.
Tiga orang itu, Keiza, Radhi dan Avissena kini sedang duduk di kantin gedung bawah. Sebenarnya ada tiga kantin yang tersedia di Teruna Angkasa. Kantin gedung atas, bawah dan di depan lapangan basket, dekat parkiran. Di antara ketiga kantin itu, kantin bawah telah jadi favorit siswa-siswi.
Sebabnya karena kantin itu baru selesai direnovasi. Ruangannya terbuka dan luas. Meja makannya berderet rapih dan masih baru mengkilat. Mengusung tema ruang hijau, dimana-mana terdapat tanaman hias estetik yang memanjakan mata. Konter makanan dan minumannya juga lebih beragam. Yang paling bikin senang, kantin bawah itu lokasinya dekat kelas X DKV 1. Tentu saja Keiza dan Radhi menobatkan tempat itu sebagai spot favorit mereka.
“Dari semua pembukaan pidato, kenapa kamu pilih kata ‘kenapa’?” Masih jelas di dalam kepala Keiza saat Avissena memulai perkenalan ekskulnya. Dari sekian banyak prolog, cowok itu memulai dengan sebuah pertanyaan.
“Kenapa harus ikut ekskul Pemrograman?” Saat itu di samping Avissena terdapat laptop yang sudah disambungkan dengan sebuah proyektor besar. Sengaja disiapkan Andaru untuk kebutuhan Gebyar Ekskul. Tanpa banyak kata, Avissena menekan salah satu tombol pada keyboard laptopnya. Deretan angka dan kode bermunculan di layar proyektor. Terketik cepat memunculkan ribuan deret kode. Tak sampai beberapa detik, tampilan proyektor berubah menjadi sebuah web-page sekolah yang eye-cacthing dan informatif.
Kembali ke masa kini, Radhi meniru ucapan Avissena, logatnya sengaja dimainkan untuk meledek cowok itu. “Karena kalian bisa ubah deretan kode-kode rahasia ini menjadi sesuatu yang keren dan berguna buat orang lain.”
“Kocak.” Avissena si objek ledekkan akhirnya menjawab pendek sembari nyengir. Sedari tadi dia sibuk mengunyah bakso sampai halus untuk kemudian ia telan ke dalam mulut.
Keiza berdehem, “aku juga inget kalimat keren berikutnya.” Ia melanjutkan sesi mengenang kegiatan gebyar ekskul sebulan yang lalu. “Bersyukurlah ada Al Khawarizmi yang mampu menemukan algoritma, sehingga kita semua bisa kenal dengan yang namanya ‘bahasa pemrograman’,” ucapnya.
“Jadi buat kalian yang mau memecahkan bahasa rahasia ini, ayo ikut gabung ke ekskul Pemrograman!” Keiza dan Radhi serempak mengatakan itu dengan nada semangat berpromosi. Lalu keduanya mulai tertawa menyadari betapa kompaknya mereka. Padahal sih motif dasar dua orang itu berbeda. Radhina yang mengatakan itu hanya untuk meledek Avissena, sementara Keiza mengatakannya karena benar-benar merasa kagum. Salut!
“Sumpah, kalian berisik banget.” Avissena mengorek lubang telinga kirinya dengan kelingking. Saat yang sama, sekelompok anak cewek melewati meja makan mereka. Terkikik sembari mencuri-curi pandang pada Avissena. Radhi yang menangkap gelagat itu langsung memberi komentar.
“Lo sebaiknya nggak usah deket-deket kita deh. Calon famous, males ntar kalo gue kena labrak-labrak lagi.”
“Kamu pernah dilabrak?” Keiza penasaran. Gadis itu cinta damai. Sebenarnya waktu SD Keiza pernah kena bullying, tetapi saat itu ia berani melawan dan wali kelas turut membantunya. Jadi semua aman. Lagipula genap sepekan bersekolah di Teruna Angkasa, walau di awal-awal sempat ada masalah dengan Anna, sekarang kehidupan mereka bisa dibilang baik-baik saja.
“Dulu waktu SMP. Gue pernah dibawa ke toilet buat diinterogasi karena anak-anak cewek di kelas pada kepo soal hubungan gue sama dia.” Radhi menunjuk Avissena dengan garpu.
“Bilang aja temen,” Avis menyahut singkat lalu melanjutkan, “jadinya kalian pada ambil ekskul apa?” Avis dengan cekatan mengalihkan pembicaraan.
Keiza melebarkan mata. Ini cerita yang menarik. Namun sepertinya Avis dan Radhi tak tertarik melanjutkan.
“Jurnalis,” Radhi menjawab dengan senyuman lebar.
Avissena hampir tersedak ludah sendiri, “serius?”
“Radhi bilang dia mau belajar nulis. Dia baru mau gabung hari ini.” Keiza menjelaskan.
“Sejak kapan lo nggak bisa nulis?” Avis bertanya skeptis pada Radhi, baginya cewek itu lebih cocok di ekstrakurikuler yang banyak gerak, seperti basket misalnya? Keiza mendadak merasa tidak enak. Avissena sepertinya kurang suka kalau Radhi ikut kegiatan itu.
“Gue emang bisa nulis dari dulu tapi kan gue mau belajar bikin tulisan. Bikin cerpen, bikin puisi, tahu nggak lo? Biar bisa ngeksis di madding dan web sekolah yang lo bikin itu.” Radhi menanggapi itu dengan gurauan. “Udah lah, lo nggak usah khawatir.” Akhirnya Radhi hanya nyengir dan bangkit dari duduknya. Menuju ke konter makanan kecil untuk membeli beberapa camilan. Sekarang tinggal Keiza dan Avissena, duduk berhadap-hadapan dalam suasana yang canggung.
“Katanya lo bakal bujuk dia buat ikut ekskul basket?” akhirnya Avissena memulai.
Keiza menggeleng, “saya belom dapet kesempatan.” Hanya itu yang bisa ia katakan. Tampak dari luar, ia terlihat sudah berteman akrab dengan Radhi dan Avissena. Namun sebenarnya masih ada banyak hal yang gadis itu tidak tahu. Ada jarak yang membuat Keiza enggan bertanya. Yah, mungkin karena belum ketemu saat yang tepat saja. Sampai di titik ini, Keiza berharap waktu bisa memberinya kesempatan. Sejujurnya ia ingin lebih mengenal Radhi dan Avissena, berhubung dua orang itu adalah teman pertamanya.
Menanggapi respon Keiza, Avissena nyengir kecil, “santai aja Za, santai. Pakai aku-kamu juga gue nggak keberatan.”
Sayanya yang berat. Ucap Keiza dalam hati, tetapi ia memilih berkata hal lain. “Radhi belom cerita tentang alasannya keluar dari ekskul basket. Sa—aku nggak bisa bawa topik itu duluan,” lidah Keiza masih terasa kelu ketika ia menyebut kata ganti dirinya dengan ‘aku’.
Avissena menyeruput es kelapanya sebelum berkata, “pelan-pelan nggak apa-apa. Gue sih sebenernya sans dia mau masuk ekskul apa juga. Yang penting… itu emang bener apa yang dia pengen.”
Keiza tertegun. Ia memang belum bisa menangkap, kalau masuk ekskul Jurnalistik itu memang betul-betul hal yang Radhi inginkan. Namun gadis itu menggeleng, mengusir jauh-jauh segala keraguan. Justru karena belum tahu suka atau tidak suka, jadi… apa salahnya dicoba, ya kan?
Kemudian Radhi kembali membawa keripik pisang dan makaroni pedas. Namun sebelum dia duduk di meja ia keburu disenggol seseorang. Keripik itu jatuh ke lantai, sempat akan terinjak orang yang lewat tetapi Radhi gerak cepat, ia menyentak.
“Jangan lo injek keripik gue!”
Otomatis si anak langsung mundur ketakutan. Sekarang mata Radhi mengikuti orang yang menyenggolnya. Sosok itu menjauh tertelan kerumunan. Ingin mengejar tapi terhalang perutnya yang masih lapar. Akhirnya Radhi hanya mengdengkus, kembali ke meja sembari misuh-misuh.
“Apa sih, sukanya nabrak-nabrak! Pada nggak pakai mata apa kalo jalan?!”
“Itu anak kelas dua.” Avissena ternyata juga memperhatikan gerak-gerik orang yang barusan menabrak Radhi.
“Pengecut banget beraninya main senggol-senggolan! Kalau mau berantem sini!” Seperti biasa, Radhi membalas dengan emosinya yang setipis tisu. Ditambah makan makaroni pedas, jadi semakin terbakarlah dia.
“Nih, nih, minum es kelapa.” Keiza menyodorkan minuman supaya kepala Radhi mendingin. “Hari ini kita ada pertemuan anak ekskul jurnalis. Jangan sampai amarah bikin kamu jadi nggak semangat.”
“Mmh, iya-iya.” Radhi menurut. Bagaimanapun, dia sudah sepakat untuk masuk ekstrakurikuler Jurnalistik. Ia tak ingin pertemuan perdana ekskulnya rusak karena mood yang mendadak diacak-acak senior tak bertanggung jawab. Saat suasana di meja itu tenang kembali, seorang cewek yang Keiza kenal dari kelasnya datang menghampiri.
“Keiza?” Panggil seorang gadis berkulit sawo matang—selain Radhi, rambutnya yang sepanjang pundak dikuncir ponytail. Keiza mengenalnya dengan nama Abella.
“Hai Bel!” Keiza nyengir, “sini gabung!”
Radhi juga memberi gestur memperbolehkan Abella duduk di kursi yang kosong. Hanya ada satu kursi yang kosong, yaitu di samping Avissena. Abella, entah enggan, entah malu memilih untuk berdiri saja.
“Gue udah makan kok, thanks! Gue cuma mau bilang…” Abella memberi jeda sejenak, memilin bagian longgar baju seragamnya sebelum mengatakan, “gue juga mau ikutan ekskul jurnalistik. Kalau boleh, nanti kita bareng ya.”
Keiza langsung mengangguk-angguk setuju. Bahagia karena bertambah lagi satu teman yang mau gabung satu ekskul dengannya. Berharap kelompok pertemanannya kian besar.
“Oke, udah sih itu aja. Yaudah ya, gue ke kelas duluan. Bye.” Abella melambaikan tangan. Sebelum kepergiannya, Keiza menangkap sudut mata Abella melirik pada Avissena. Radhi benar, Avissena sudah dapat perhatian publik. Si bibit unggul, anak RPL jenius, kandidat cowok populer seantero SMK Teruna Angkasa.
Radhi mengerling pada Keiza. “Abella itu yang waktu itu lo contekin nama-nama ketua ekskulnya, ya?”
“Bukan nyontek, tapi dikasih tahu.” Keiza meralat.
“Anaknya baik deh, gue pernah ditolongin ambilin tisu waktu di toilet,” Radhi mengadu.
Tawa Avissena menyembur sedikit. “Standar baik lo sebatas ngambilin tisu toilet doang? Nggak berubah. Lo galak tapi naif.”
“Apa sih, gue nggak minta pendapat lo, ya!” Radhi menyalak.
“Tuh-tuh, galaknya muncul. Lo ini kalo diskeptisin langsung galak, tapi dibaikkin dikit langsung baik.”
“Ya bagus dong! Gue kan orang jujur, dinyinyirin ya gue bales lah masa diem aja? Apalagi kalo itu dari lo sama Andaru.”
Dan perdebatan itu berlangsung sebagaimana biasanya.
Keiza juga ikut nyengir. Memperhatikan dua sobat kecil ini saling serang kata-kata. Hanya saja… kali ini ada sesuatu yang terasa dalam hatinya. Dalam pengelihatan Keiza, semua perdebatan kecil antara Radhi dan Avissena ini, terfilter menjadi sebuah interaksi yang manis. Entah bagaimana mendeskripsikannya, Keiza juga belum paham. Yang jelas, entah kenapa Keiza yakin, sejauh apapun ia mencoba, ada bagian yang tak akan pernah bisa ia sentuh di antara hubungan Radhi dan Avissena.
oOo