“Rasanya, hampa,” suaranya lirih. Tak lama dia menghela napas berat. “I feel so numb.” Dia melanjutkan kalimatnya dengan nada yang tak berirama. Manik hitam di kedua matanya tampak memandang jauh.
“Sudah berapa lama kamu merasakannya?” seorang perempuan paruh baya di hadapannya bertanya sembari menatapnya erat.
Perempuan itu hanya menjawab dengan gelengan kepala pelan.
“Dari semua emosi, apa yang pernah kamu rasakan akhir-akhir ini?”
Perempuan akhir 20-an itu kembali menggeleng. “Tidak ada.” Dia menambahkan agar dapat memperjelas perasaannya.
“Kapan terakhir kamu menonton film sedih? Film komedi dan film romantis? Mana yang lebih sering kamu tonton?”
“Kemarin saya menonton film komedi. Ketika semua orang di bioskop tertawa, saya tidak bisa mengikuti. Begitu pula dengan adegan sedih-nya, saya tidak merasakan apa-apa.”
Lawan bicaranya tampak menarik napas dalam sebelum akhirnya menyandarkan punggung ke sandaran kursi kebesarannya.
“Kayra, kamu memiliki masalah yang sangat serius. Aku berterima kasih akhirnya kamu mau memberanikan diri datang padaku. Aku senang kamu secara tidak sadar tahu bahwa kamu butuh seseorang untuk berbicara.”
“Bukankah seharusnya saya yang berterima kasih karena sudah mau mendengarkanku, Mbak?”
Perempuan itu menggeleng dengan senyuman lebar. “Tidak banyak orang yang mau mengakui bahwa dia butuh pertolongan.”
Ada jeda pendek seusainya. Kayra tidak tahu harus membalas ucapan itu dengan kalimat yang seperti apa.
“Kapan perasaan seperti ini kamu rasakan?”
Kayra menunduk sembari mencari-cari dalam ingatannya, kapan terakhir dia memiliki emosi?
“Sudah lama sekali sampai saya tidak bisa mengingatnya.”
Hari pertama konsultasi dengan Dr. Indri membuat Kayra semakin bingung dengan dirinya. Benarkah masalah pada dirinya seserius itu? Dia merasa bahwa dia tidak sedepresi itu. Dia hanya bingung mengapa dia tidak bisa tertawa, menangis, takut, kesal, bahkan marah.
Di dalam bus transjakarta itu Kayra merapatkan punggungnya pada sandaran kursi, lantas memiringkan kepala hingga rapat dengan jendela. Dia memandangi aktivitas orang-orang yang dilewatinya. Pada lampu merah dia melihat satu keluarga di atas motor. Dia menatap lama pada balita yang digendong ibunya di jok penumpang.
Dia bahkan tidak pernah tersentuh melihat tingkah pola anak bayi.
**
Tring!
Ponsel Kayra berdenting, menandakan sebuah email masuk. Dia langsung membuka surel itu dan mendapati informasi pemberitahuan jumlah cuti tahunannya. Informasi tambahan yang dia dapatkan lainnya bahwa cuti tersebut akan hangus pada akhir masa kontraknya, di bulan Januari.
Kayra bergeming. Dia tidak punya keinginan untuk berlibur sehingga tidak peduli jika cuti tahunannya kembali hangus seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Nduk…!”
Kayra meletakkan ponselnya, hanya mendongak tanpa menjawab panggilan ayahnya dari balik pintu.
“Ayah tadi masak nasi goreng, telornya setengah mateng. Di makan dulu ya, Nduk. Ayah mau ke masjid dulu.”
Kayra masih bergeming. Setelah mendengar suara pintu depan tertutup, dia beranjak dari tempat tidurnya, mengambil handuk, lantas masuk ke dalam kamar mandi. Seusainya, sembari menggosok rambutnya yang basah, Kayra keluar kamar untuk mengambil air minum. Ketika melewati meja makan, dia melihat hidangan malam yang disiapkan Ayahnya. Itu tampak menggoda. Tak lama perutnya bergemuruh setelah membayangkan kuning telur yang akan lumer di mulutnya. Kayra lapar. Dia pun segera menyantap hidangan malam itu sebelum ayahnya pulang.
Rumah itu hanya dihuni oleh dua orang yang bertahun-tahun tidak pernah berada di satu ruang yang sama. Ayahnya selalu sibuk bekerja dan Kayra juga sibuk mengurung diri. Sejak kepergian Ibunya sepuluh tahun yang lalu, hubungannya dengan ayahnya tidak seperti keluarga lain. Kayra yang tidak mau memberi ruang untuk ayahnya, sementara ayahnya yang sungkan, membuat keduanya sulit berkomunikasi dua arah. Kayra amat pendiam dan semakin tidak tersentuh semenjak dia sibuk bekerja. Setelah ayahnya pensiun dan membuka toko perlengkapan golf di rumah, Kayra yang tidak punya waktu. Sejak kepergian ibunya, kasihnya kepada sang Ayah menghilang. Entah mengapa. Kayra lupa alasannya.
Kayra melirik kalender meja di hadapannya. Peringatan kematian ibunya dua bulan lagi, tepatnya pada perayaan tahun baru.
“11 tahun…” gumamnya.
Setelah menyelesaikan makanannya, dia pergi ke wastafel untuk membersihkan piringnya. Ada beberapa piring yang juga kotor, Kayra juga membersihkannya. Setelah wastafel bersih, dia kembali ke kamarnya, menyalakan sebuah lagu di gawai, berharap dapat merasakan emosi yang umum dirasakan ketika mendengar sebuah lagu sendu. Dia sudah mencobanya akhir-akhir ini, berkat saran-saran orang di sosial media, namun dia belum juga merasakannya. Mungkin nanti. Kayra masih memiliki harapan itu.
**
Kansai International Airport, 30 Desember
Kayra melepaskan penyelia telinga begitu menapaki pintu kedatangan. Dia melirik sekelilingnya untuk mencari tempat duduk. Dia butuh ruang untuk mengirimkan pesan kepada ayahnya. Bahwa dia sudah tiba di tempat tujuan dan melarang ayahnya untuk mencemaskan dirinya.
Setelah menelusuri laman-laman di internet tentang Osaka, Kayra menggeret koper putihnya dan berlalu menuju stasiun kereta.
Libur panjangnya baru saja dimulai.
Dia berharap Osaka akan menghidupkan jiwanya yang mati.
**
Berpindah dari Bandara ke kota Osaka memang tidak sulit, namun menemukan peron yang tepat untuk transit ke stasiun terdekat tempat tujuannya sangat lah sulit. Yang lebih mencengangkan lagi, tidak ada jembatan transit seperti di Stasiun Manggarai, sehingga ketika dia salah jalur, dia harus keluar dulu. Selain itu, Kayra harus turun naik tangga dengan koper seberat 25 kg. Tidak semua stasiun menyediakan eskalator, sehingga dia harus lebih berusaha keras untuk keluar stasiun.
Untuk menjangkau Dontonburi saja, dia memakan waktu selama tiga jam di stasiun kereta. Padahal dia sudah menyontek rute dari konten-konten orang di media sosial, namun dia tetap gagal dalam percobaan pertama.
Di jembatan Dontonburi yang disinggahi oleh banyak turis, Kayra terdiam. Dia bertanya-tanya dalam pikirnya. Setelah semua kesulitan yang dia alami hari ini, dia masih belum percaya bahwa dia sudah ada di Osaka.
“Aku senang akhirnya kamu bisa membuat keputusan ini. Tapi apa kauyakin tidak butuh aku untuk menemani?” pertanyaan Dr. Indira tiba-tiba saja terngiang.
Kayra mengangguk pelan sebelum akhirnya menjawab. “Aku hanya bertindak impulsif. Haruskah kubatalkan, saja?” tanyanya kala itu. “Tiba-tiba aku merasa itu akan sia-sia.”
Dr. Indira mengeluarkan senyum lebarnya. “Jangan, dong. Kan sudah issued. Nggak apa-apa, moving forward! Aku akan membantumu mengurus visa. Selama kau berlibur, aku akan membuat sesi daring untukmu.”
Dr. Indira bahkan terlihat lebih antusias dengan rencana liburan Kayra dibanding Kayra sendiri.
Lamunan Kayra tergugah ketika seseorang tidak sengaja menyenggol lengannya ketika hendak mengambil pose di jembatan itu. Kayra buru-buru menyingkir, takut dia akan merusak foto pasangan itu, walau dia tahu tidak hanya dirinya yang berada di Dontoburi. Ada banyak orang yang berlalu lalang. Dontonburi adalah tempat yang padat.
Kayra berjalan ke sana ke mari demi menemukan tempat sunyi untuknya berdiam. Namun tidak ada ruang yang cukup. Kayra berusaha mencari, namun semakin dia berusaha, Dontonburi semakin sesak. Tampaknya dia harus pergi saat itu juga. Terlalu banyak orang akan membuatnya semakin tidak sehat.
**
Setelah memastikan tidak ada siapapun yang beraktivitas, Kayra membuka tirai yang menutupi seluruh tempat tidurnya. Dia mulai merasa pengap. Juga haus. Tak lama, dia mengelus kedua kakinya yang masih belum membaik. Kedua pahanya masih berdenyut, begitu pula dengan telapak kakinya. Sensasi menginjak benda runcing itu masih dirasakannya. Tidak ada perubahan yang lebih baik. Kayra mengusap kedua kakinya. Tepat di betis kirinya, dia melihat sebuah memar. Kayra menghela napas pelan. Dia harus tetap di kamarnya hari ini sampai kedua kakinya siap diajak keliling Osaka kembali.
Dia baik-baik saja ketika menginjakkan kaki kali pertama di Dapur Bangsa ini. Meski kesulitan menemukan peron yang tepat, dia akhirnya dapat mengunjungi tempat-tempat wisata terdekat. Akan tetapi dia tidak pernah menyangka bahwa kakinya selemah itu.
“Kurasa aku akan demam,” lirihnya setelah merasa kedua pipinya menghangat.
Kayra mengambil kotak obat mungil dari ranselnya, lantas segera menelan obat andalannya.
Mungkin dia hanya akan merapikan tempat tidurnya saja. Kasur bunker itu sudah mulai disesaki barang-barangnya. Dia mulai memilah dan merapikan sampai akhirnya menemukan bahwa dia telah menghasilkan sekantong sampah. Sebagain sampah itu sudah bersamanya sejak kemarin.
Entah mengapa susah sekali menempukan tempat sampah di tempat-tempat umum di Osaka. Untunglah di Guest House ini dia menemukan tong sampah mini di setiap lantai.
Kayra beranjak dari tempat tidurnya untuk menemukan tong sampah di kamar tersebut. Benda yang dia cari berada tepat di samping pintu masuk. Dia tidak perlu usaha keras untuk menjangkaunya. Kakinya masih kuat untuk berjalan beberapa langkah. Beberapa botol plastik terlihat berserakan di bawahnya. Kayra meraih botol-botol tersebut dan memasukkan kembali ke dalam tong sampah.
Tangan Kayra terhenti ketika terdistraksi oleh sebuah benda dari dalam tong. Benda itu tampak tak lazim untuk berada di dalam tempat sampah. Kayra mengambil lantas membukanya. Firasatnya benar.
“Bukannya ini cincin?” gumamnya sembari meliarkan pandangan ke sekeliling.
Kayra buru-buru memasukkan sampahnya ke dalam tong lalu bangkit untuk menemukan pemiliknya. Benda semewah itu tidak mungkin dibuang begitu saja. Dia yakin seseorang tidak sengaja membuangnya.
Satu persatu kamar berpenghuni dia datangi, namun tidak ada yang mengakuinya.
“Ah, ya, aku baru ingat. Di depanku tadi ada seorang pria, mungkin dia pemiliknya.”
Seorang wanita blonde memberitahu Kayra bahwa di kamar itu tadinya juga ada seorang pria korea. Dia baru saja pergi beberapa menit yang lalu. Kayra tidak yakin, namun huruf-huruf yang tertera di kotak beludru biru muda itu membuatnya berubah pikiran. Benda ini pasti sangat penting baginya. Bagaimanapun, Kayra harus mengembalikannya.
Kayra buru-buru keluar kamar meski kedua kakinya berdenyut lebih kencang. Yang ada di dalam pikirannya saat ini adalah mengembalikan benda dalam genggamannya. Ketika dia berhasil keluar kamar, udara dingin menyergapnya. Dia ingin kembali ke kamar untuk mengambil jaket, namun kakinya meradang. Dia tidak sanggup jika harus turun naik tangga lagi. Tujuannya harus segera tercapai, jika tidak, mungkin ada orang yang sangat kecewa karena kehilangan benda sepenting ini.
Kayra mengikuti intuisinya untuk berjalan menuju stasiun. Di Jepang, semua orang akan pergi ke sana. Taksi di sini sangat mahal. Turis-turis luar negeri pun mungkin akan memilih berjalan kaki menuju stasiun daripada harus naik taksi.
Stasiun terdekat ada di jarak 50 m dari guest house-nya, namun dia tidak menemukan pria itu. Dia bahkan sudah bertanya dengan beberapa pria bermata sipit dengan bahasa seadanya, namun tidak ada yang mengakuinya. Kayra tidak putus asa. Dia akan pergi ke stasiun lain di dekat situ. Di stasiun itu, rute-nya lebih banyak. Dia punya firasat bahwa dia akan menemukan pria itu di sana. Dia mempercepat langkahnya walau kecepatannya semakin menurun. Kedua kakinya terasa semakin nyilu. Belum lagi suhu tubuhnya yang semakin tinggi, padahal tadinya dia merasa kedinginan.
Dia bahkan setengah berlari begitu melihat seorang pria menggeret koper hitam di ujung pandangannya. Dia ingat koper itu. Dia melihatnya ketika dia baru tiba di guest house. Dia pasti orangnya.
Kayra tidak boleh kehilangan orang itu, maka dia memanggilnya. Hanya saja, dia lupa, bahasa apa yang harus dia pakai untuk memanggil pria itu.
“Hei! Hei! Tunggu!” Dia memanggil dengan bahasa ibunya sembari terus berlari.
Setelah usaha keras, Kayra berhasil mengadang pria itu. Pria berkacamata itu tampak terkejut. Keningnya lantas berkerut.
Kayra membungkuk, berusaha mengatur napasnya yang tak beraturan. Dia ingin muntah sekarang.
“Ini. Kamu meninggalkan benda ini!” Kayra mengambil kotak beludru biru muda itu dari kantong celananya dan segera memindahkannya ke pemiliknya.
Meski kepalanya ingin pecah, Kayra masih dapat melihat kedua alis pria itu bertaut. Dia mengucapkan kata-kata yang dia tidak mengerti. Kayra merasa dunia-nya mulai jungkir balik. Sebelum dia mempermalukan dirinya di depan pria asing, dia harus segera kembali ke guest house. Kakinya bukan hanya sakit sekarang, namun mati rasa. Tepat di belakang pria itu, Kayra terjungkal. Kepalanya membentur lantai, dan seketika itu pula, pandangannya menjadi gelap.
**
Ketika membuka matanya, Kayra melihat langit-langit berwarna gading. Wangi khas kemudian menelusup di indera penciuman, membuatnya menebak-nebak tempatnya berbaring.
“Ini bukan guest house,” katanya tanpa suara. Hanya bibirnya yang bergerak.
Kayra ingin mengusap anak rambut yang menutup sebagian pandangannya, namun tangan kanannya terasa berat dan nyeri ketika dia menggerakkannya. Infus menancap di punggung tangannya. Dalam hati dia bertanya, mengapa dia ditangani seserius ini? Dia membeku. Tidak ingin bergerak sedikitpun dan membiarkan rambutnya merusak pandangannya. Paling tidak, ruangan itu hangat meski dia tidak mengenakan jaket musim dingin.
Tirai yang mengurung tubuhnya terbuka. Seorang pria memenuhi pandangannya. Pria itu bukan dokter ataupun perawat, melainkan pria berkacamata yang dilihat terakhir kalinya sebelum pingsan.
“Kau sudah bangun? Bagaimana keadaanmu?”
Pria itu mengucapkan kalimat yang tidak dimengerti Kayra. Dia tidak tahu jawabannya, maka dia hanya diam.
“Maaf, sudah merepotkanmu.” Hanya itu yang bisa dikatakan Kayra dalam bahasa Inggris.
Pria itu spontan mengerjap. “Tidak apa-apa. Tidak apa-apa,” ulangnya dengan bahasa yang sepadan. “Kupikir dia orang Korea,” lalu bahasanya kembali seperti semula.
“Maaf, bisakah kau membantuku?”
“Ya?” Pria itu mendekatkan wajahnya.
“Mengapa aku diinfus?”
“Ya?” wajahnya tampak bingung. “Aahh, infus?” Dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Situasinya terlalu kompleks. Tangan kanannya kemudian mengambil ponsel dan membuka aplikasi penerjemah. Di depan ponsel itu, dia mengucapkan kalimat-kalimat panjang dalam bahasanya, lantas menunjukkannya pada Kayra.
“Kau pingsan saat di stasiun. Aku membawamu ke klinik ini. Katanya kau demam. Kau tidak sadarkan diri sehingga harus diinfus.”
“Oh,” respon Kayra lirih. Dia kemudian berusaha bangkit dan duduk di atas ranjang dengan susah payah.
“Apa kau sudah baik-baik saja?”
Meski kepalanya masih pusing, Kayra hanya ingin menjawab dengan “Terima kasih.” Sebagai pertanda bahwa dia sudah bisa ditinggal sendirian.
Tak lama pria itu pergi tanpa sepatah katapun. Kayra tidak berpikir buruk. Tidak perlu berbasa-basi. Sudah membawanya ke klinik saja sudah bagus. Dia hanya akan menunggu dokter mengunjungi dan memberi izin untuk kembali. Dia mendongak, menatap cairan dalam kantong infus. Kayra menatapnya lama seolah tindakannya itu dapat mengosongkan kantong itu dengan cepat. Dia kemudian bosan. Kayra menyandarkan bahunya.
Tidak ada ponsel. Dia akan bosan.
Kayra menyibak selimut yang menutupi kedua kakinya. Dia mengusap kedua kaki dengan tangannya yang bebas, memastikan bahwa kakinya hanya pegal-pegal. Setelah dia yakin, dia berhenti mengusap kaki dan menyelimutinya kembali.
Benar, kan. Dia mulai bosan sekarang.
Kayra tidak tahu dia sudah berapa lama di sana. Dia tidak punya jam di lengan kirinya, sehingga tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu.
Kayra kembali menatap penuh kecewa pada kantung infus yang baru habis setengahnya.
Kayra menghela napas berat. Tiba-tiba dia merasa ikatan rambutnya melonggar. Dia ingin mengencangkan ikatannya. Tangan kirinya yang bebas, menarik ikatan rambut, lalu berusaha mengikat kembali.
“Ah!” Kayra mengerang pelan. Tangan kanannya baru terangkat sedikit, namun sudah terasa sangat nyeri.
Bersamaan dengan itu pula, pria tadi kembali. Kayra tentu terkejut. Dia pikir pria itu sudah pergi meninggalkannya.
“Biar kubantu,” kata pria itu seraya merampas ikat rambut dari tangan Kayra dan berusaha mengikat rambut sebahunya.
Kayra membeku. Dia ingin melarang pria itu menyentuh rambutnya, namun kedua tangan pria itu bergerak lebih cepat dari yang dia duga. Sampai akhirnya pria itu berhasil mengumpulkan seluruh rambutnya dalam satu genggaman, dia hanya bisa merapatkan mulutnya.
“Apa ini sudah pas?”
Kayra hanya mengangguk. Rasa canggung mulai menyelusup di dadanya. Dia bergelut di dalam hati, masih ingin menghindar, tapi juga butuh pertolongan. Namun pada akhirnya tubuhnya masih berdiam. Jika nanti ikatannya terlalu erat, dia tidak akan mengoreksi dan membiarkan pria itu mengulangnya. Untungnya, hal itu tidak terjadi. Pria itu tampak mahir dalam mengikat rambut karena dia merasa nyaman.
“Aku tadi beli ini,” Pria itu menyodorkan kantong plastik berisi buah potong, air mineral, juga sekotak nasi beserta beberapa irisan daging di dalamnya. “Kau mau yang mana?”
Kayra tidak bisa berbohong kalau dia sedang haus.
Pria itu mengambil botol air mineral dan membukanya. Ketika dia ingin menawarkan jasa untuk membantu, Kayra menolaknya. Kayra mengambil botol itu dengan tangan kiri, lantas meminumnya perlahan.
“Terima kasih.”
“Oh, ya, namaku Jinan.”
Kayra tidak mengerti mengapa pria itu malah memperkenalkan dirinya. Mengapa tidak pergi saja?
**