DARIPADA harus berkutat dengan hiruk-pikuk mahasiswa di kampus, Revel lebih memilih tenggelam di rumah kaca. Cowok itu merasa damai di antara jajaran tanaman Monstera yang menjulang dan sejenis Philodendron yang menjuntai-juntai.
Kalau bukan gara-gara ibunya yang bertangan dingin dan pecinta tanaman, Revel pasti tidak bakal hapal dengan nama-nama Latin yang bikin lidah manusia normal belibet. Nina-ibunya, yang mengenalkan betapa menyenangkannya berada di antara tanaman-tanaman hijau itu sejak Revel masih kecil.
Namun, ada hal yang paling menyenangkan tentang tanaman-tanaman itu selain kecantikan dan hijaunya yang bikin mata sejuk.
Tanaman-tanaman hijau itu bisu. Tidak bersuara atau membuat telinga Revel terasa pengang karena celotehan tidak penting. Dan, yang paling penting, tanaman-tanaman ini tidak bisik-bisik di belakangnya, menghakimi tatapan kosongnya saat lagi melamun, atau tidak bertanya kenapa Revel lebih suka menyendiri.
Kala itu Revel sedang mengamati pola urat daun Alocasia Zebrina dengan sebuah kaca pembesar di tangan kurusnya. Sinar matahari sore menembus atap rumah kaca menciptakan suasana hening yang menenangkan sekaligus menyenangkan.
“Lagi lihatin apa, sih?”
Revel tersentak oleh suara cempreng barusan. Kacamata pembesar seketika terlepas dari tangannya hingga jatuh ke atas pot tanah liat. Matanya sontak menyisiri ke seantero rumah kaca. Bukan sekadar karena kaget saja, melainkan karena suara itu… seharusnya tidak ada.
Rumah kaca itu berada di paling belakang gedung Fakultas Bioteknologi. Lokasinya sangat ke belakang hingga sering terabaikan oleh orang-orang. Tempat itu safe place-nya. Selain Revel atau petugas pemeliharaan kampus, tidak ada mahasiswa yang tahu soal tempat itu.
Tidak mungkin ada orang yang tahu tempat persembunyiannya selama ini. Pak Iyas, petugas pemeliharaan kampus, yang amat dikenalinya juga tidak punya suara cempreng dan bikin sakit kuping begitu.
Terus, suara siapa barusan?
Diam-diam Revel memasang telinga, berharap tidak mendengar suara cempreng itu lagi.
Benar saja.
Hening.
Suasana tempat persembunyiannya tetap sama. Masih sama-sama sesunyi biasanya yang disukai Revel.
Refleks Revel mengembuskan napas lega. Kepalanya menggeleng perlahan karena merasa konyol. Pasti tadi hanya halusinasinya saja.
Lantas, Revel pun kembali meraih kaca pembesarnya dan kembali meneliti daun tadi ketika lagi-lagi terdengar suara cempreng itu lagi.
“Serius, deh. Ini lagi ngapain, sih? Kenapa mesti pake kaca pembesar? Lagi lihatin semut di daun? Atau, serangga lain?”
Kali ini, suara itu kedengaran lebih dekat, seolah sosoknya berada tepat di samping Revel.
“Tapi nggak ada semut, tuh!” Suara itu terdengar kesal sekaligus heran. “Lagian nggak mungkin ke sini tiap hari gara-gara semut doang, deh. Cowok ini kan hampir tiap hari ke sini juga!”
Juga, katanya.
Badan Revel langsung membeku. Berarti dia tidak sendirian di situ. Atau, tidak pernah sendiri. Sosok itu, siapa pun itu, sudah beberapa kali melihatnya. Kepala cowok itu sontak menoleh ke samping. Jantungnya berdebar keras ketika mendapati sosok semi-transparan berjongkok di sebelahnya.
Cewek itu berambut panjang agak bergelombang, sebuah pita besar warna merah jambu mengikat sebagian rambutnya. Tubuhnya yang semi-transparan mengenakan seragam putih abu-abu. Wajahnya putih atau kemungkinan besar pucat, tapi tergolong manis meski sedang cemberut seperti anak kecil yang ngambek karena tidak dibelikan boneka beruang.
Bersamaan itu juga, cewek itu menoleh kepada Revel. Matanya membulat kaget saat bertemu pandang dengan Revel.
“Kamu… bisa lihat aku?” tanya cewek itu ragu tapi sepintas penuh harap.
Buru-buru Revel mengalihkan pandang. Sambil menggenggam erat-erat kaca pembesarnya, dia beranjak cepat dan terpaksa meninggalkan pekerjaan yang sedang dilakukannya.
“Tunggu, tunggu! Kamu bisa lihat aku, kan?” Cewek itu melayang mengejar Revel. Matanya berbinar-binar penuh harap.
“Lo salah sangka,” dalih Revel pelan.
“Tuh, kan! Kamu beneran bisa lihat aku!” seru cewek itu girang sambil melayang-layang mengitari Revel seolah menunjukkan kegembiraannya. “Bukan cuma bisa lihat, kamu juga bisa denger dan ngomong sama aku!”
Revel otomatis mengetatkan rahang.
Berlawanan dengan cewek itu, Revel justru gelisah. Malah, dia sangat terusik. Seumur-umur, dia tidak suka berinteraksi dengan makhluk hidup. Apalagi harus berinteraksi dengan makhluk halus?
Revel lahir dengan sebuah “penglihatan”. Alias, cowok itu bisa melihat makhluk yang tak kasatmata. Ibunya mengetahui kemampuan Revel tersebut gara-gara saat masih kecil dulu, putranya kerap menangis tanpa sebab begitu menjelang matahari terbenam, di tengah malam, maupun dini hari.
Namun, kemampuan penglihatan Revel tidak bisa diakhiri begitu saja. Bahkan seorang Romo dari Gereja dekat rumah Revel mengatakan kemampuannya itu adalah berkat yang tidak dimiliki banyak orang dan mesti diterima dengan lapang dada.
Alih-alih percaya kemampuannya adalah berkat, Revel justru yakin dirinya dikutuk. Sudah pasti dia dikutuk! Revel pun jadi membenci dirinya. Terlebih, matanya. Penglihatannya itu benar-benar menyusahkan hidupnya. Tidak ada faedahnya sama sekali. Teman-teman, guru, dan orang lain sering menganggapnya aneh karena Revel kerap nge-freeze di tempat karena makhluk-makhluk itu.
Orang waras mana yang sudi dan lapang dada melihat makhluk-makhluk berwajah mengerikan itu seumur hidupnya?
“Tunggu!” seru cewek itu melayang cepat mengejar Revel.
Revel justru mempercepat langkahnya. Dia tidak sudi berhenti hanya gara-gara makhluk tak kasatmata yang melayang-layang di sebelahnya memintanya menunggu. Dia tidak mau menunggu makhluk tak kasatmata itu!
Dengan gesit, Revel menyambar tas selempangnya dari meja kayu tak jauh dari pintu kaca. Dia hanya perlu beberapa langkah lagi sebelum bisa keluar dari rumah kaca dan meninggalkan makhluk itu.
Entah apa niat cewek itu, tapi yang jelas Revel tidak mau berinteraksi dengannya. Berinteraksi dengan sesama manusia saja ogah, kenapa juga harus berinteraksi dengan makhluk beda dunia?
“Aku bilang tunggu!” Cewek itu mendahului Revel dan menutup pintu rumah kaca rapat-rapat. Matanya menatap kesal kepada Revel yang mau tak mau berhenti mendadak. “Kenapa denial banget, sih? Jelas-jelas kamu bisa lihat aku!”
Revel membetulkan letak kacamata pada batang hidungnya dan balas menatap cewek itu. Sesekali mata sipitnya memicing.
“Dengerin ya, Cowok Fotosintesis–”
“Apa?” Revel langsung menyela bingung. Cewek itu memanggilnya apa?
“Jangan motong omongan orang seenaknya! Aku belum selesai ngomong!” omel cewek itu berkacak di pinggangnya yang semi-transparan.
Tapi lo bukan orang!
“‘Cowok Fotosintesis’?” ulang Revel tanpa mengindahkan omelan cewek itu.
“Oooh… iya. Kan, aku nggak tau nama kamu. Tapi karena kamu sering ke rumah kaca ini yang ngingetin aku sama tanaman-tanaman itu yang sering fotosintesis… jadinya kupanggil aja gitu!”
Asbunnya…
“Mau dipanggil ‘Cowok Fotosintesis’ atau ‘Eh’?” tantang cewek itu lagi.
Sejujurnya Revel berharap tidak berurusan dengan cewek ini. Namun, dia tidak berani menantang maut. Makhluk tak kasatmata di hadapannya ini meski tampangnya manis, tetap harus diwaspadai. Bisa saja yang manis itu justru yang paling mengerikan.
“Nah, aku perlu bantuan kamu,” tambah cewek itu. Kali ini, nadanya penuh harap.
Revel mengembuskan napas berat. Inilah kenapa dia lebih menyukai mengurung diri di rumah kaca dan berinteraksi dengan tanaman-tanaman di situ. Walau sampai disebut “Cowok Fotosintesis” sama makhluk tak kasatmata ini. Tetapi seenggaknya tanaman-tanaman di rumah kaca tidak pernah merepotkan.
Sedangkan manusia dan makhluk tak kasatmata sama-sama merepotkan.
“Nggak,” tolak Revel datar, tanpa minat.
“Kok, nggak?” Bahu cewek itu sekejap merosot. Matanya memandang bingung kepada Revel. “Nggak mau atau nggak bisa?”
“Dua-duanya.”
“Kok, gitu? Aku belum bilang bantuannya apa, masa kamu udah nolak, sih? Mana sisi gotong royongnya, dong?”
Revel tidak berkomentar.
“Sebagai masyarakat kita itu harus saling bahu-membahu, tau! Saling membantu satu sama lain. Budaya kita itu gotong royong!” celoteh cewek itu menggebu-gebu.
Badan Revel seketika berjengit ngeri.
Gotong royong dengan makhluk beda dunia sama sekali tidak pernah ada di benaknya. Tidak terpikir apalagi terbayang. Beda urusan juga. Dengan langkah cepat cowok itu sengaja menerobos tubuh cewek semi-transparan yang melayang-layang, membuka pintu, dan berderap meninggalkan rumah kaca secepatnya.
“Eh, tunggu!” teriak cewek itu nyaring lagi.
Revel menggelengkan kepala kuat-kuat. Nggak!!!