Ada jeda yang tak bisa dijelaskan. Bukan karena marah. Bukan juga karena bosan. Hanya... ada jarak yang tiba-tiba tumbuh di antara dua kepala yang awalnya saling paham. Cinta bukan tentang siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling sabar saat perbedaan mulai berbicara dalam diam.
**
Hujan turun sejak pagi, tipis-tipis, seperti ragu tapi tak juga reda. Langit menggantung rendah di atas kampus, muram dan basah. Pepohonan di halaman fakultas tampak kuyup, dedaunan berguguran disapu angin yang malas. Suasana begitu sunyi, hanya sesekali riuh langkah mahasiswa yang terburu-buru masuk kelas, membiarkan genangan meresap ke ujung celana.
Di balik kaca besar perpustakaan, cahaya putih dari lampu langit-langit menyinari meja belajar panjang yang dihuni tumpukan buku, laptop terbuka, dan beberapa mahasiswa yang tenggelam dalam dunia mereka masing-masing.
Aku duduk di sana, menunduk, menatap barisan alat tulis yang baru saja kutata ulang untuk ketiga kalinya. Pulpen sejajar dengan pensil, penghapus berada tepat di tengah, penggaris diletakkan lurus dengan tepi meja. Tapi entah kenapa, semuanya masih terasa salah. Tanganku bergerak lagi, memutar penghapus beberapa derajat ke kiri, lalu membetulkan letak pulpen, padahal sebelumnya sudah sejajar sempurna. Napasku berat. Ada yang mengganggu. Ada yang harus pas, baru aku bisa tenang.
Di seberang meja, Nata memperhatikanku. Dia belum bicara sejak tadi. Hanya meletakkan kepalanya di tangan, menatapku dalam diam. Tatapannya tidak menghakimi, tapi juga tidak sepenuhnya tenang. Seperti seseorang yang menunggu waktu untuk bicara.
Nata menggeliat sedikit, duduk lebih tegak. “Ra…” suaranya pelan.
Aku tidak menjawab. Aku menggeser buku-buku di sebelah kanan, lalu kembali membuka sketsa yang dari tadi hanya kugerayangi. Pensil di tanganku mulai bergerak, menarik satu garis miring, lalu kuhapus. Terlalu condong. Aku coba lagi. Hapus lagi. Tanganku mulai gemetar kecil, tapi aku tetap menggambar. Bayangan yang kubentuk tidak pernah terlihat cukup sempurna. Garis selalu sedikit melenceng. Atau mungkin hanya aku yang terlalu menuntut.
Jantungku berdegup cepat. Rasanya seperti sedang dikejar sesuatu, padahal aku hanya duduk. Tidak ada ancaman nyata, tidak ada suara keras. Tapi dalam diriku, ada kekacauan yang sulit dijelaskan.
Nata akhirnya berdiri. Berjalan ke arahku, lalu menahan tanganku dengan lembut. “Cukup.”
Aku menatapnya dengan mata membelalak. “Kenapa kamu ngatur aku?”
“Nara, kamu udah kayak mau pingsan. Tanganmu gemetaran. Matamu merah.”
“Aku tahu apa yang aku lakukan,” bisikku tajam. “Aku cuma… harus nyelesaiin ini dulu.”
“Nggak, Ra. Kamu bukan lagi nyelesaiin tugas. Kamu lagi nyiksa diri sendiri.”
Dan di situlah semuanya pecah.
Aku menarik tanganku dari genggamannya. Suara kursi bergeser pelan saat aku sedikit menjauh.
“Jangan ikut campur, Nata,” bisikku. Suaraku nyaris tak terdengar, tapi nada tajamnya tak bisa kusembunyikan.
“Aku cuma... khawatir,” balasnya, juga pelan. Tapi rahangnya menegang. Dia menunduk sebentar, lalu mendekat lagi. “Ra, dari tadi kamu nggak benar-benar ngerjain apa-apa. Kamu cuma nyusun alat tulis, geser-geser buku, terus gambar, hapus, gambar lagi... kayak kamu terjebak di satu titik. Kamu bahkan belum makan dan minum apa pun sejak tadi pagi.”
Aku menahan napas. Mata kami bertemu. Ada ketegangan di sana, menggantung di antara rak-rak buku dan lantai marmer yang dingin.
“Kalau aku nggak ngerasa lapar atau haus, ya bukan urusan kamu,” gumamku, berusaha tetap tenang.
Dia mengusap wajahnya perlahan. “Ini bukan soal makan atau minum. Ini... soal kamu. Aku lihat kamu makin tenggelam. Dan aku cuma—”
“Cuma apa?” potongku cepat. “Mau jadi pahlawan? Mau betulin aku?”
“Ra,” suaranya nyaris putus, “aku nggak pernah niat ngebetulin kamu. Aku cuma pengin kamu... berhenti nyakitin diri kamu sendiri.”
Aku berdiri. Kursiku bergeser menimbulkan suara berderit yang membuat dua mahasiswa di ujung meja melirik. Tapi aku tak peduli. Tanganku gemetar saat membereskan buku dan laptopku ke dalam tas.
“Nggak semua orang suka diawasin tiap detik,” kataku masih dengan suara tertahan. “Kalau kamu nggak tahan, ya nggak usah temenin aku.”
Aku tahu itu kalimat yang kejam. Tapi rasanya seperti satu-satunya pelindung yang tersisa.
Nata berdiri juga. Dia menyentuh lengan jaketku pelan. “Nara, jangan kayak gini. Aku cuma...”
“Aku pulang,” potongku. “Sendiri.”
Aku berbalik. Langkahku cepat, berusaha menghindari tatapan siapa pun di ruangan itu. Aku tahu Nata tak langsung mengejar. Dia terlalu menghargai batasan. Tapi entah kenapa, itu justru membuat hatiku makin sesak. Dan waktu aku melangkah keluar dari pintu kaca perpustakaan, hujan sudah mulai turun dengan rintiknya.
Di rumah, aku langsung masuk kamar dan memutar kunci. Melepas jaket yang sedikit basah karena hujan, menggantungnya pelan di balik pintu, meski tak lurus sempurna. Biasanya aku akan membetulkannya. Tapi kali ini... aku biarkan saja. Bukan karena aku tidak peduli. Tapi karena tubuhku terlalu berat untuk sekadar mengulurkan tangan.
Aku duduk di lantai, punggungku bersandar pada ranjang. Menatap kosong ke arah dinding, seolah dinding itu bisa memberi jawaban. Detak jam terdengar nyaring di kepala. Meja belajar penuh dengan tugas-tugas yang menanti, makin menumpuk, makin dekat tenggatnya. Ujian sudah di depan mata. Belum satu pun rampung. Dan belum satu pun terasa cukup sempurna.
Tiba-tiba aku teringat Bara yang pernah menitip salam lewat mama. Rasa rindu yang kupendam lama tarasa mulai menggerogoti dan menyentuh lorong terdalam dari diriku. Aku semakin terbungkam. Segalanya terasa membeku. Berat. Kosong. Lalu air mataku jatuh. Diam-diam, tanpa suara.
Aku tidak menangis karena pertengkaran tadi. Apa lagi karena rindu. Aku menangis.., karena semunya terasa tidak baik-baik saja. Aku merasa tertekan oleh banyaknya tugas dan ujian yang selalu ku tuntut sempurna. Aku merasa, tak ada satu orang pun yang mengerti isi pikiranku, tidak juga Nata. Dan rasa bersalah kepadanya semakin mencekam, membungkam, dan mendorongku untuk tidak merasa apa apa. Seperti hening yang menggumpal di dada terasa lebih menyesakkan dari pada teriakan.
Aku mengambil buku gambar di lantai. Membuka halaman kosong. Menatapnya tanpa arah. Tanganku ingin menggambar, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Jadi aku menutupnya. Membuka lagi. Menutup. Membuka. Lagi dan lagi. Sampai akhirnya kubiarkan saja di lantai.
Aku merasa jahat pada Nata. Nata tidak pantas diperlakukan seperti itu. Dia sudah berusaha begitu sabar, begitu pengertian, tapi aku malah mendorongnya menjauh. Aku sayang Nata. Aku mencintai dia. Tapi kenapa rasanya aku hanya bisa menyakitinya.
Di luar, hujan mulai turun, menampar atap dan jendela seperti ingin didengar. Semakin lama semakin deras, derunya menghilangkan suara latar apa pun di luar, tapi tiba-tiba terdengar samar suara motor Nata berbelok masuk ke area pagar rumahku, suaranya pelan nyaris tak terdengar, seperti ditelan suara hujan. Lalu.. bel rumah berdenting membuatku sedikit terlonjak.
Aku tetap diam. Tidak berniat membuka. Beberapa saat kemudian, kudengar langkah pelan mendekat. Mama mengetuk pintu kamarku, lembut.
“Nara,” panggilnya. “Ada… Nata.”
Aku menahan napas. Jantungku berdegup pelan tapi keras. Lalu Mama menambahkan, “Dia kehujanan, Ra.”
Aku berdiri dan membuka pintu kamar, langkahku ragu tapi tak bisa menolak dorongan untuk melihatnya. Dari jendela lantai dua, kulongok ke bawah. Di depan pintu rumah, kulihat Nata berdiri. Basah kuyup. Kepalanya sedikit menunduk, jaketnya menempel di tubuh karena hujan, rambutnya meneteskan air. Tapi wajahnya... bukan marah. Bukan kecewa. Hanya khawatir.
Mama ikut melihat dari sampingku. “Kasihan, basah semua begitu,” gumamnya. Lalu ia berbalik, turun ke lantai bawah.
Dari atas, kulihat Mama membuka pintu dan menyodorkan handuk kecil pada Nata. “Keringin dulu, ya. Tante buatin teh hangat,” kata Mama lembut.
Nata mengangguk kecil, lalu mendongak, menatap ke arahku yang masih di lantai dua. Tatapannya lama, seolah menunggu sesuatu. Aku membalas tatapannya, ragu, tapi juga lemah.
Mama membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Nata masuk. Setelah menyerahkan handuk kecil dan memintanya duduk, Mama menoleh ke arahku.
“Turunlah, Ra. Dia cuma mau bicara sebentar,” katanya lembut.
Beberapa menit kemudian, kami duduk di ruang tamu. Jarak kami tak jauh, tapi rasanya ada dinding tak terlihat yang belum bisa kuturunkan.
“Aku tahu aku bukan siapa-siapa yang bisa ngatur kamu,” katanya pelan. Suaranya serak karena udara dingin. “Tapi tadi... aku takut. Lihat kamu kayak gitu. Bukan karena kamu aneh. Tapi karena aku sayang.”
Aku menggigit bibirku. “Aku... nggak suka dikasihani.”
“Nara.” Dia menatapku penuh. “Itu karena aku cinta sama kamu.”
Aku mengalihkan pandangan. Tanganku mencengkeram ujung sweater. Suara hujan jadi latar yang ganjil untuk semua ini.
“Kadang aku ngerasa ada yang salah banget sama aku,” gumamku, nyaris tak terdengar. “Tapi aku nggak tahu gimana cara benerinnya.”
“Kamu nggak harus langsung bener, Ra… Kamu ada aja itu sudah lebih dari cukup, dan aku akan tetap di sini apapun keadaannya.” Jawab Nata sambil menatapku hangat.
Aku menoleh perlahan.
Dan di bawah cahaya remang dan suara rintik hujan, aku percaya. Cinta memang tidak menyembuhkan. Tapi ia bisa jadi tempat pulang. Dan hari itu, Nata adalah tempatku berpulang.
Kami terdiam cukup lama. Menunduk, dan menatap jariku yang saling menggenggam di pangkuan. Lalu bertanya pelan, “Kalau aku terus kayak tadi… kamu nggak bakal capek?”
Nata menghela napas panjang. “Capek sih, Ra. Tapi aku nggak akan nyerah.”
Aku mengangkat wajah. Jaket dan rambutnya masih basah, menetes pelan. Tapi dia tetap duduk di situ, tidak bergeming, tidak mengeluh, seolah seluruh hujan malam ini tidak ada artinya kalau bukan untuk melihatku baik-baik saja.
“Aku... tadi ngerasa kamu nyalahin aku,” gumamku. “Kayak semua yang kulakuin salah. Padahal itu satu-satunya cara aku bertahan.”
“Aku nggak pernah nyalahin kamu, Ra. Tapi.. kalau kamu ngerasa gitu, aku minta maaf ya. Sebenarnya, aku cuma nggak tahu harus gimana buat bantuin kamu. Dan aku takut, Ra. Takut kamu terluka, takut kamu lepas kendali dan aku telat sadar.” katanya.
Aku menggigit bibirku. Mataku panas.
“Aku ngerasa sendirian,” bisikku.
“Aku juga,” jawabnya. “Tapi bukan karena kamu ninggalin. Tapi karena aku nggak ngerti apa yang kamu rasain. Dan itu bikin aku ngerasa... gagal jadi orang yang kamu butuhin.”
Kalimat itu menamparku lembut. Pelan, tapi dalam.
Aku menarik napas panjang. “Aku juga nggak ngerti kenapa aku bisa kayak gini. Kadang aku ngerasa ada yang salah, tapi aku nggak bisa jelasin. Aku cuma takut… takut kalau aku jadi beban buat kamu.”
Nata menggeleng pelan. Lalu menggeser duduknya sedikit lebih dekat. “Aku nggak pernah nganggep kamu beban. Aku tahu aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku bisa dengerin. Bisa nemenin. Dan kalau kamu butuh tempat buat diam, aku juga bisa jadi itu.”
Air mataku jatuh.
“Maaf…” aku menunduk. “Maaf udah kabur, udah nyakitin kamu.”
Nata mengangguk pelan. “Aku juga minta maaf. Karena terlalu maksa dan lupa, kalau kamu bukan proyek yang harus diselesaikan. Kamu orang yang harus dimengerti.”
Kami diam sebentar. Lalu Nata berdiri.
“Aku pulang, ya. Nggak usah anterin.”
Aku cepat-cepat memegangi pergelangan tangannya sebelum dia sempat melangkah jauh. “Nata.”
Dia menoleh.
“Jangan pulang sekarang. Hujannya belum reda.”
Tatapan matanya berubah. Lembut. Hangat. Lalu ia kembali duduk.
Kami tidak saling menyentuh. Tapi jantungku pelan-pelan tenang. Bukan karena pertengkarannya hilang. Tapi karena aku tahu, dalam segala kerumitanku, ada seseorang yang tetap mau tinggal.
Hujan belum berhenti saat Nata pamit dari teras rumahku malam itu. Aku hanya bisa berdiri di balik pintu, menatap punggungnya yang menjauh perlahan, langkahnya menimbulkan cipratan kecil di jalanan yang becek.
Aku belum sanggup bilang banyak, tapi kehangatan kehadirannya tadi masih menggantung di udara. Ia tidak memaksaku apa-apa. Tidak menuntut. Dan mungkin justru karena itu, aku merasa ingin bicara... suatu saat nanti.
Besoknya, kami kembali bertemu di kampus. Tidak ada obrolan panjang, tidak ada kalimat basa-basi. Hanya tatapan yang cukup lama, dan langkah yang saling mengiringi tanpa bicara.
Sore itu, aku dan dia duduk di bangku batu di bawah pohon ketapang yang sedang gugur daun-daunnya. Kampus mulai sepi, angin lembab masih terasa dari sisa hujan semalam. Aku menggenggam lututku. Diam. Nata juga.
Tapi untuk pertama kalinya, aku yang bicara lebih dulu.
“Aku kangen seseorang.”
Nata menoleh perlahan, tak menyela.
“Udah lama. Tapi akhir-akhir ini makin berat. Rasanya kayak... ada yang hilang dari aku.”
“Siapa?” tanyanya pelan.
“Bara. Abangku.”
Nata terdiam. Wajahnya tetap lembut, tidak menunjukkan ekspresi menghakimi.
“Dia di lapas sekarang,” lanjutku, suaraku mengecil. “Aku udah lama nggak ke sana.”
Nata masih menatapku, penuh kesabaran.
“Padahal dia bukan orang yang marah kalau aku jarang datang. Tapi... aku yang takut. Takut dia tahu aku makin nggak baik-baik aja. Takut dia bisa baca semua dari wajahku.”
Aku mengatupkan bibir, menunduk.
“Setiap kali aku mau pergi, rasanya kayak... aku nggak cukup kuat buat ketemu. Bukan karena dia, tapi karena aku sendiri.”
Nata menatapku dalam-dalam. Suaranya tenang saat menjawab.
“Kalau kamu mau, aku bisa temenin.”
Aku mengangkat kepala pelan, menatap matanya yang jernih.
“Beneran?”
Dia mengangguk. “Beneran.”
Aku menatapnya lama. Lalu tersenyum.
Dan saat itu juga, aku tahu—kadang yang kita butuhkan bukan solusi, bukan jawaban, bukan penghiburan. Kadang... yang kita butuhkan hanyalah seseorang yang bersedia duduk di sebelah kita, dan bilang, “Kamu nggak harus kuat sendirian.”
Dunia masih berantakan, pikiranku pun belum sepenuhnya tenang. Tapi di tengah kekacauan yang tak kumengerti ini, ada satu kehadiran yang tidak mencoba memperbaiki apa pun—hanya diam di dekatku, dan itu cukup. Mungkin bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk mengingatkan... bahwa luka pun bisa punya tempat untuk beristirahat.
ga ada typo, bahasanya puitis tapi ringan, setiap bab yang di baca dengan mudah membawa masuk ke cerita. ceritannya juga unik, jarang banget orang mengedukasi tentang KESEHATAN MENTAL berbalut romance. dari bab awal sampe bab yang udah di unggah banyak kejutannya (tadinya nebak gini taunya gini). ini cerita bagus. penulisnya pintar. pintar bawa masuk pembaca ke suasananya. pintar ngemas cerita dengan sebaik mungkin. pintar memilih kata dan majas. kayaknya ini bukan penulis yang penuh pengalaman...
Comment on chapter PROLOG