Ada ketenangan aneh yang datang setelah dua orang saling menerima. Bukan seperti memenangkan sesuatu, tapi seperti menemukan tempat pulang yang tak pernah disadari sebelumnya.
**
Lorong kampus ramai oleh mahasiswa yang baru saja selesai kelas. Udara masih terasa hangat, bercampur bau kopi dari mesin vending dan aroma lembap dari dinding tua yang belum pernah dicat ulang. Suara langkah kaki, tawa, dan obrolan kecil bergema samar, seperti kebisingan yang tak pernah benar-benar hilang dari gedung ini.
Aku merapikan tas sambil menunggu Dita, yang masih sibuk mengecek pesan grup di ponselnya. Sementara itu, tak jauh dari kami, seseorang bersandar di dekat tiang lorong. Posturnya tinggi, bahunya tegap, seperti terbentuk dari garis-garis yang percaya diri. Wajahnya teduh, tapi matanya menyimpan cahaya yang sulit ditebak—jenis sorot yang bisa membuat orang berhenti bicara sejenak. Orang-orang mengenalnya, entah karena caranya tertawa, atau karena nama itu sering disebut tanpa perlu dijelaskan siapa pemiliknya. Sosok yang tidak perlu banyak bicara untuk membuat keberadaannya terasa.
“Eh?” Dita melirik ke arah sosok itu. “Itu... Nata, ya?”
Aku belum sempat menjawab. Dita buru-buru membenarkan rambutnya, menghaluskan lipatan baju, dan memasang senyum kecil yang agak gugup.
“Ngapain dia ke sini? Acara kan udah kelar. Jangan-jangan... dia nungguin aku?” bisiknya cepat, setengah bercanda, setengah berharap.
Aku menahan senyum, masih diam.
Langkah Dita mulai bergerak, tapi belum sampai dua meter, Nata lebih dulu melangkah ke arahku. Dia berhenti di depanku, tersenyum ringan.
“Baru kelar kelasnya, ya?” Tanyanya.
Dita berhenti di tempat, mematung.
Aku mengangguk pelan. “Iya. Baru aja keluar.”
Nata melirik sebentar ke arah Dita, lalu menyapanya sopan, “Hai, temennya Nara ya. Maaf ini bukan mau ganggu. Aku cuma mau jemput pacar ku.”
Dita terdiam beberapa detik, lalu tertawa pelan, lebih ke karena syok daripada lucu. “O-oh... iya. Jemput... pacar, ya. Sip, mantap.”
Nata mengangguk, lalu menatapku. “Yuk?”
Aku berjalan di sampingnya, sambil tersenyum ke arah Dita yang masih berdiri mematung dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Kami berjalan beriringan melewati lorong kampus yang mulai lengang. Sesekali langkah kami bersisian, sesekali sedikit berjarak, seperti sedang mencari ritme yang pas sebagai dua orang yang baru saja memutuskan untuk berjalan bersama.
“Aku sempat bingung,” kataku pelan, “ini pertama kalinya ada yang nungguin aku di depan kelas.”
Nata tersenyum kecil. “Ya, ini juga pertama kali aku nungguin seseorang di depan kelas.”
“Gugup?” tanyaku, setengah menggoda.
“Lumayan,” jawabnya jujur. “Tapi lebih ke... takut kamu risih.”
Aku menggeleng. “Enggak. Cuma belum biasa aja.”
Kami sampai di parkiran. Nata membuka pintu mobil untukku, lalu masuk ke sisi kemudi. Tapi tak seperti biasanya, dia tidak langsung menyalakan mesin.
“Sebenarnya aku mau ngajak kamu jalan,” gumamnya, sambil menatap lurus ke depan. “Tapi... setelah aku pikir-pikir.”
Aku menoleh, diam menunggu kelanjutannya.
“Kayaknya, hari ini... kamu lebih butuh istirahat daripada tempat baru.”
Aku tertegun. Bukan karena ucapannya yang salah, tapi justru karena itu tepat. Sore tadi, pikiranku sempat berkelebat ke mana-mana. Kelas terasa penuh, bukan hanya oleh suara dosen, tapi juga oleh suara dalam kepalaku yang tak berhenti mengingatkan: tugas belum selesai, revisi belum rapi, harus cek ulang semua, jangan sampai salah. Semuanya menumpuk tanpa suara, tapi menguras tenagaku habis-habisan.
“Kamu tahu dari mana?” tanyaku pelan.
Dia mengangkat bahu. “Cuma... feeling aja sih. Soalnya tadi waktu kamu keluar kelas, keliatan banget dari matamu, kayak.., capek banget.”
Aku tersenyum tipis. “Kamu peka banget sih.”
“Hmm iya dong, soalnya feeling-ku udah lulus S3, khusus jurusan baca wajah kamu.” Jawabnya dengan canda.
“Jadi kita langsung pulang aja?” tanyaku.
Dia menoleh dan tersenyum. “Kecuali kamu pengen ke mana. Tapi kalau pulang bisa bikin kamu bernapas lebih lega, ayo kita pulang.”
Aku mengangguk. Bukan karena ingin kabur dari hari ini, tapi karena memang... pulang bersamanya terasa seperti lebih pas untuk hari ini.
Mobil akhirnya melaju perlahan, meninggalkan parkiran kampus yang mulai sepi. Senja menggantung tenang di langit. Aku bersandar di jok, memejamkan mata sebentar, lalu melirik ke arahnya.
“Thanks ya, udah ngerti tanpa aku harus bilang.”
Nata tidak langsung menjawab. Tapi ia menatapku, dalam..., dengan tatapan yang tenang, hangat, tanpa banyak kata, tapi cukup membuatku merasa bahwa kali ini, aku tidak sendirian di dalam kepala yang sering terasa terlalu ramai.
Mobil berhenti pelan di depan rumah. Aku membuka pintu, lalu menoleh ke Nata sebentar sebelum turun.
“Kabarin ya kalo sudah sampai rumah” ujarku.
Nata mengangguk. “Siap. Demi ketenangan calon arsitek masa depan, akan aku laporkan posisi secara real time.”
Aku hanya tertawa pelan, lalu masuk ke dalam rumah.
Begitu masuk, aroma masakan hangat masih tercium samar. Mama sedang duduk di ruang tengah, menata tumpukan cucian kering sambil menonton acara televisi yang volumenya dipelankan.
“Nara, udah pulang?” sapa Mama, tanpa menoleh.
“Udah, Ma,” jawabku, sambil melepas sepatu. Aku berjalan pelan ke arah Mama, lalu duduk di karpet.
Mama menoleh, memperhatikanku sebentar. “Capek banget mukanya.”
Aku nyengir tipis. “Iya... dikit.”
Mama menghela napas sambil merapikan satu baju. Lalu, dengan nada seperti ingin menyampaikan sesuatu sejak tadi, ia berkata, “Tadi Mama sama Papa ke lapas.”
Aku langsung menoleh. “Ngunjungin Bara?”
Mama mengangguk. “Iya. Dia kelihatan jauh lebih tenang dari terakhir kita lihat.”
Aku diam. Ada jeda aneh dalam dadaku. Antara rindu, rasa bersalah, dan kehampaan yang belum selesai.
“Dia nanyain kamu,” lanjut Mama.
Aku mengerjap. “Aku?”
“Iya. ‘Nara apa kabar? Kuliahnya gimana?’ gitu kata dia. Mama bilang kamu sibuk, tapi baik-baik aja. Terus dia titip salam.”
Aku menunduk, menatap ujung jariku. Entah kenapa, salam sederhana itu terasa berat. Tapi hangat. Aku pamit ke Mama, lalu naik ke kamar. Pintu kututup pelan, dan begitu masuk, keheningan langsung menyergap. Seolah duniaku hanya terdiri dari empat dinding dan satu lampu yang menyala temaram.
Aku menaruh tas di kursi, lalu berbalik mengecek pintu. Kugenggam kenopnya, memutarnya sekali... dua kali... tiga. Lalu kutarik pelan untuk memastikan benar-benar terkunci. Padahal tadi sudah. Tapi tubuhku bergerak sendiri, seperti ada rasa tak nyaman yang belum juga reda kalau belum mengulang.
Aku duduk di tepi ranjang. Hening. Cahaya lampu membuat bayangan di dinding bergerak pelan. Biasanya aku menyalakan musik, atau membuka sketsa. Tapi malam ini, semuanya terasa... datar.
Telepon genggam tergeletak di sebelahku. Notifikasi dari Nata muncul. Hanya dua kata: Udah di rumah.
Aku tersenyum tipis, membalas: Oke. Makasih ya hari ini.
Lalu kutaruh lagi ponsel itu, dan menatap langit-langit kamar. Suara Mama di bawah samar-samar terdengar. Tapi batinku kosong. Letih. Dan hampa yang anehnya tidak menyakitkan, tapi juga tidak nyaman. Aku menghela napas dalam-dalam, lalu menarik selimut, meski belum benar-benar ingin tidur. Kadang yang terasa paling sulit bukan rindu. Tapi tidak merasa apa-apa sama sekali.
**
Pagi datang seperti pagi-pagi lainnya sejak kami jadian, Nata sudah menunggu di bawah tangga gedung kuliah. Tangannya masuk ke saku jaket, posturnya bersandar santai ke tiang besi. Begitu mataku menangkap sosoknya, jantungku mengencang, tapi bukan karena gugup, lebih kekarena ada rasa aneh memenuhi dadaku.
“Pagi, Ra,” sapanya begitu aku mendekat.
Aku mengangguk, membenarkan tali tasku. “Pagi.”
Kami tidak berpelukan. Tidak juga bergandengan. Tapi entah bagaimana, langkah kami selalu seirama.
Aku semakin sering bersamanya, melewati hari dengan cara yang terasa begitu alami dan nyaman. Di perpustakaan, kami duduk berdampingan. Di atas meja besar, buku-buku arsitektur tertata rapi sesuai urutan topik, tentu hasil tanganku. Suara halaman yang dibalik pelan menjadi latar belakang yang menenangkan.
Nata sibuk mencoret-coret sketsa di buku gambar kecilnya, sesekali melirik layar laptopku. “Kamu bikin denahnya terlalu simetris,” katanya pelan, setengah menggoda.
Aku hanya mendesah. “Simetris itu damai.”
Dia tertawa pelan, lalu kembali menggambar. Garis-garis bebasnya kontras dengan rapi punyaku, tapi entah kenapa, cocok. Seperti dua dunia yang saling menghargai batas, tapi tetap mau berdampingan.
Saat aku merasa tanganku kotor karena sudah terlalu sering menyentuh benda di luar. Aku menghela napas kecil, hendak berdiri untuk mencuci tangan, tapi tiba-tiba Nata menyodorkan tisu basah ke arahku.
Aku menoleh. Dia tidak berkata apa-apa, hanya senyum kecil. Dan rasanya seperti dipeluk, tanpa disentuh.
Hari-hari kami semakin sering dihabiskan berdua, bukan selalu dengan obrolan panjang atau momen yang mencolok, tapi dengan kehadiran yang tenang, yang lama-lama terasa akrab dan menenangkan.
Di studio gambar, aku duduk terpaku di depan meja kayu yang penuh coretan dan kertas berserakan. Mataku terus meneliti setiap garis di sketsa, memastikan semuanya sejajar dan presisi. Saat aku memperhatikan salah satu sudut gambar, garis itu tampak sedikit melengkung, tidak sesuai dengan bayanganku. Aku mengangkat penghapus, dengan hati-hati menggosoknya perlahan, mencoba menghilangkan garis yang tak sempurna itu tanpa merusak bagian lain.
Setelah beberapa kali dihapus, aku menggeser kertas, melihat dari sudut lain. Jari-jariku mengecek setiap lekukan, memastikan tidak ada yang miring atau tidak rata. Rasanya kalau satu garis saja tidak tepat, gambarku tidak akan lengkap, tidak akan 'benar'.
Nata duduk di sampingku, diam saja. Sesekali dia mengeluarkan botol kecil berisi hand sanitizer dari tasnya dan meneteskan sedikit ke telapak tanganku. Aku menerima dengan tangan sedikit gemetar, lalu menggosoknya pelan, merasakan dingin yang menenangkan.
Hadirnya dia membuat ruang ini terasa lebih ringan, seperti aku tak perlu sendiri berjuang dengan kesempurnaan yang kutuntut. Sesekali, dia menyodorkan sapu tangan kecil untuk membersihkan alat gambar yang kugunakan, tanpa sepatah kata, hanya dengan senyum lembut yang membuatku merasa tidak sendiri.
Kami semakin sering bersama. Entah di studio, perpustakaan, atau hanya duduk diam di sudut kampus, kehadirannya perlahan menjadi jeda dari segala kegelisahan yang tak pernah benar-benar pergi.
Saat waktu luang di antara dua kelas, kami duduk di bangku taman kampus yang teduh, dikelilingi deretan pohon rindang dan suara riuh samar dari mahasiswa yang lalu-lalang. Aku tenggelam dalam sketsa yang kubawa, jari-jariku terus bergerak, mencoba menangkap bentuk yang selalu sulit kupenuhi. Garis yang terasa kurang pas, sudut yang miring, bayangan yang tak tepat. Pikiran dan tubuhku letih, tapi obsesi akan kesempurnaan membuatku tak bisa berhenti.
Nata duduk di sampingku, diam. Aku terlalu asyik memperbaiki detail demi detail sehingga tak sadar dia mengeluarkan sebuah kanvas kecil dari tasnya. Tanpa menggangguku, dia mulai melukis dengan gerakan lembut, hati-hati, seperti menyulam doa dalam warna dan goresan kuas.
Matanya kadang melirik ke arahku, menyerap setiap ekspresiku: ragu, lelah, terkadang terhenti sejenak saat aku menghela napas panjang, menatap kosong ke arah sketsaku yang tak kunjung selesai.
Nata terus melukis, tak pernah mengeluh atau menginterupsi. Kuasnya bergerak dengan tenang, menenangkan. Seolah dia ingin menangkap bukan hanya wajahku, tapi juga segala sesuatu yang aku sembunyikan: ketakutan, kesepian, dan harapan yang masih tersisa.
Aku masih belum menyadari saat dia menyelesaikan lukisan itu. Baru ketika dia menyimpan kuas dan menyerahkan kanvas itu padaku, aku mengangkat kepala. Mataku membelalak sedikit saat melihat wajahku di atas kanvas, yang bukan sekadar potret, tapi penuh kejujuran dan kelembutan.
Namun yang membuat dadaku berdegup lebih kencang adalah tulisan kecil di balik lukisan itu. Tulisan tangan Nata, halus dan puitis:
“Dalam goresan kecil ini, terukir kesabaran dan cintaku padamu yang tak pernah lelah.
Kau adalah karya terindah yang ingin kujaga selamanya.”
Hatiku terenyuh. Ada sesuatu yang hangat merayapi relung hatiku yang selama ini dingin dan sepi. Dia tahu aku, bahkan ketika aku sendiri masih berjuang memahami bayang-bayang yang menghalangi jalan.
Untuk sesaat, aku memejamkan mata, membiarkan perasaan itu meresap dalam diam. Aku tahu ini bukan tentang sempurna atau cepat pulih, tapi tentang kehadiran yang tulus, yang membuatku merasa tak sendiri dalam gelap dan perjuangan.
Eh eh eh eh bab selanjutnya kapan ini? Lagi seru serunya padahal.. kira-kira Nara suka Nata juga ga ya??? Soalnya kan dia anhedonia🧐 .