Loading...
Logo TinLit
Read Story - Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
MENU
About Us  

Ada hal-hal yang terus kulakukan bukan karena ingin, tapi karena merasa harus. Karena jika tidak, sesuatu di dalam dadaku bergetar, seolah dunia bisa retak hanya karena satu garis tak sejajar.

**

Ada hari-hari ketika semuanya terasa berjalan seperti biasa. Bangun pagi, masuk kelas, menyelesaikan revisi, makan siang di kantin, lalu kembali ke studio. Hari-hari seperti itu... terlihat normal dari luar. Tapi di dalam kepala, aku seperti sedang berlari, terus-menerus, tanpa jeda.

Orang bilang aku rajin. Terorganisir. Teliti. Tapi mereka tidak tahu, betapa menakutkan rasanya kalau meja kerjaku sedikit berantakan. Atau pintu kamar tidak kugembok dua kali. Atau keran air tidak kuputar sampai benar-benar terasa “pas.”

Awalnya aku pikir ini cuma kebiasaan kecil. Tapi lama-lama, aku merasa dikendalikan oleh sesuatu yang tidak bisa kulawan. Seolah, kalau aku tidak mengikuti semua “aturan” itu, sesuatu yang buruk akan terjadi. Dan hari itu... Dita mulai memperhatikan. Dita menatapku lebih lama kali ini. Tapi tidak berkata apa-apa. Dia tidak menyela, tidak memotong, hanya diam dan mendengarkan.

Hari itu aku datang ke studio lebih pagi dari biasanya. Meja kerjaku belum disentuh siapa pun. Maket setengah jadi masih tertutup plastik, rapi, tanpa debu. Aku membuka laci, lalu mulai menyusun ulang alat gambar: penggaris harus di kanan, pensil 2B di atas pensil mekanik, penghapus harus menghadap ke bawah. Satu per satu. Ulangi. Ulangi lagi.

“Pagi banget,” suara Dita muncul dari balik tiang. Aku menoleh. Ia berjalan sambil menguap dan menjinjing dua cup kopi.

Aku tersenyum kecil. “Nggak bisa tidur.”

“Wah, berarti kita sama. Tapi kamu kayaknya lebih produktif.” Ia duduk di sebelahku, lalu meletakkan satu cup kopi di ujung mejaku. “Ini buat kamu.”

Aku mengangguk. Tapi sebelum menyentuhnya, tanganku mengambil tisu dari tas. Aku lap dulu bagian tutup plastiknya. Hati-hati. Dua kali putaran. Sama seperti biasanya.

Dita memperhatikan. Tapi tidak langsung komentar. Beberapa menit berlalu. Kami menggambar dalam diam. Tapi entah kenapa, aku tahu dia memperhatikanku lebih dari biasanya. Matanya tidak hanya sekilas melirik. Tapi mengikuti.

“Aku salah gambar garis ini,” kataku, setengah berbisik. Padahal garis itu cuma miring seperempat derajat. Hampir tak terlihat. Tapi aku mengambil cutter, memotong bagian karton itu, mengganti yang baru.

“Kayaknya... masih bisa ditolerir deh,” kata Dita pelan.

Aku diam. Tanganku terus bekerja.

“Kamu tahu nggak, Ra,” lanjutnya, “Aku suka kagum sama ketelitian kamu. Tapi akhir-akhir ini... kamu kayak terlalu nyiksa diri.”

Aku menoleh.

Dita menatapku serius. “Aku liat kamu mencuci tangan berkali-kali di toilet fakultas. Tadi pagi juga, waktu aku dateng, kamu buka tutup laci sampai tiga kali. Dan... kamu bolak-balik ke pintu cuma buat ngecek kunci.”

Aku terdiam. Rasanya seperti terjebak dalam sorotan cahaya yang terlalu terang. Tapi Dita tidak bicara dengan nada curiga, apalagi menuduh. Suaranya tetap pelan, datar, tapi ada kehangatan di baliknya.

Dia mengangkat bahu kecil-kecil, lalu menyisipkan rambut ke belakang telinganya. “Aku sih nggak ngerti ya... mungkin itu cuma kebiasaan kamu. Tapi... aku baru sadar aja. Kamu kayak... makin sering ngulang-ngulang sesuatu akhir-akhir ini.”

Aku memaksakan senyum. “Kebiasaan aja, Dit. Biar tenang.”

“Tenang?”

Aku mengangguk pelan. “Kadang kalau aku nggak ulang, aku ngerasa... ada yang nggak bener. Kayak... bisa aja ada hal buruk yang akan terjadi karena kesalahan kecil.”

Dita menatapku lebih lama kali ini. Tapi tidak berkata apa-apa. Dia tidak menyela, tidak memotong, hanya diam dan mendengarkan.

Suara alat potong maket dari meja sebelah terdengar tajam, disusul tawa pelan dua mahasiswa laki-laki yang sedang bercanda tentang desain bentuk tangga. Di pojok ruangan, Bu Diah sudah datang, memeriksa satu per satu maket dengan clipboard di tangan. Bau lem dan karton mengambang di udara, campur aduk dengan aroma kopi dingin yang belum disentuh.

Aku kembali membetulkan posisi miniatur pohon di maketku. Dita tetap duduk di sebelahku, tak lagi banyak bicara, hanya menggambar sketsa kasar di bukunya sambil sesekali melirik ke arahku.

“Kamu bawa cutter yang tipis nggak?” tanyanya tiba-tiba, santai, seolah tadi tidak ada obrolan serius sama sekali.

Aku mengangguk, merogoh tempat pensil, lalu menyerahkan cutter itu ke arahnya. Ia menerimanya sambil tersenyum tipis.

“Oke Makasih.”

Kami kembali diam, tapi bukan diam yang canggung. Lebih seperti… diam yang cukup. Yang nggak perlu diisi dengan apapun.

“Aku tuh kadang suka mikir ya,” katanya pelan, masih sambil menggambar, “orang-orang yang keliatan paling teratur justru yang paling takut kalau ada yang keluar dari rencana.”

Aku melirik sekilas. Tidak membalas. Tapi Dita tidak menunggu jawaban. Dia memang tidak sedang bertanya.

Dari arah depan, Bu Diah mulai berjalan mendekat ke meja kami. Aku cepat-cepat merapikan maket, membetulkan sudut-sudutnya, memastikan semuanya presisi. Keringat dingin mulai muncul di telapak tanganku.

“Tenang aja,” bisik Dita pelan, dengan nada meyakinkan. Bukan menenangkan. Hanya mengingatkan bahwa aku tidak sendiri. Dan entah kenapa, itu cukup. Untuk hari itu, cukup. Tapi hanya sampai hari itu saja.

**

Malamnya di rumah, aku duduk di meja makan sambil menggulir layar ponsel. Mama masih di dapur, menyendok sayur bening ke mangkuk besar. Uapnya naik perlahan, memburamkan kacamatanya.

“Ayo makan dulu,” katanya sambil menaruh sendok, “nanti keburu dingin.”

Aku mengangguk, bangkit dari kursi. Tapi sebelum duduk, aku memutar ulang posisi kursi makan yang terasa miring. Lalu memutar ulang lagi. Dua kali. Tiga kali. Harus pas.

Mama melihat. Tidak bicara. Kami makan berdua. Sunyi, seperti biasa. Tapi aku tahu Mama memperhatikan. Beberapa menit kemudian, ia bertanya tanpa menoleh.

“Kamu tadi sore pulang jam berapa, Ra?”

“Jam lima. Dari studio,” jawabku singkat, mataku tetap tertuju ke nasi yang belum sempat kuaduk rata.

Mama diam sejenak. Lalu berkata pelan, “Kamu belakangan ini kelihatan... beda. Lebih sering ngulang-ngulang hal kecil. Kayak... tadi pagi, pintu udah dikunci kan? Tapi kamu naik turun ke lantai atas cuma buat ngecek lagi.”

Aku berhenti mengunyah. Jantungku berdetak lebih cepat.

“Kalau kamu capek, atau ada yang kamu takutin... Mama bisa dengar, Ra.”

Aku mengangguk pelan. Tapi tidak bicara. Tak tahu harus mulai dari mana.

Mama tidak bertanya lebih jauh. Hanya menambahkan, “Nanti coba Mama masakin wedang jahe, ya. Biar tenang badannya.”

Aku hanya mengangguk. Suara sendokku pelan menyentuh piring. Suara detik jam di dinding lebih terdengar daripada obrolan kami.

“Mama juga sering, kok. Kalau gugup, suka bolak-balik ngecek kompor,” katanya lagi, berusaha menyamakan.

Aku menunduk. Ingin menjelaskan bahwa ini... bukan sekadar gugup. Tapi aku tahu, Mama tidak bermaksud mengecilkan. Dia hanya mencoba memahami dengan cara yang ia tahu.

“Kadang... kita emang perlu lebih hati-hati, ya,” lanjutnya. “Mungkin kamu cuma lagi stres karena tugas kuliah. Biasalah, mahasiswa baru. Capek, takut salah.”

Aku menatap mangkukku. Sayur beningnya sudah mulai dingin. Tapi di kepalaku, suara-suara itu belum berhenti.  Mama tak berkata apa-apa lagi. Ia bangkit, membereskan piring tanpa menoleh. Aku sempat menunggu, mungkin ia akan bertanya lebih lanjut, mungkin akan duduk kembali dan bilang sesuatu. Tapi yang kudengar hanya suara air keran dan piring-piring beradu pelan.

Ada sesuatu yang menggantung di udara. Seperti kekhawatiran. Tapi juga kebingungan. Aku tahu Mama melihat caraku menyusun sendok yang harus sejajar, caraku mengulang tutup laci tadi pagi. Tapi mungkin ia berpikir itu cuma... kelelahan. Dan aku juga belum tahu pasti. Apakah ini cuma stres? Atau cuma caraku bertahan? Yang jelas, aku hanya ingin semuanya terasa benar. Terasa aman. Terasa... terkendali. Dan mungkin, itu saja sudah cukup melelahkan.

Malam turun dengan sunyi yang berbeda. Angin dari jendela mengibaskan tirai tipis, dan lampu kamar kupadamkan setengah, cukup terang untuk melihat, tapi cukup redup untuk merasa sendirian. Aku berdiri di depan pintu kamarku. Menatap gagangnya. Lalu, kuputar perlahan. Klik. Kututup kembali. Kunci. Buka lagi. Kunci ulang. Lalu kutarik pelan, memastikan terkunci. Satu. Dua. Tiga. Entah berapa kali. Aku tahu pintu itu sudah terkunci sejak tadi. Tapi pikiranku tidak percaya. Tubuhku tidak percaya.

Kutatap tanganku yang gemetar. Jemariku merah karena terlalu sering cuci tangan hari ini. Lima kali setelah dari kampus. Dua kali setelah makan. Dua kali lagi setelah menyentuh gagang pintu luar.

Aku duduk di lantai. Bersandar ke tempat tidur. Menutup wajah dengan telapak tangan. Ini melelahkan. Lebih melelahkan dari ujian. Dari revisi maket. Dari semua tekanan dosen. Karena ini datang dari dalam. Dari pikiran sendiri. Aku menoleh ke meja. Buku jurnal kecil terbuka. Aku menuliskan satu kalimat malam itu:

"Aku takut semuanya salah kalau aku berhenti memastikan."

Lalu kuletakkan pena. Menarik selimut. Tapi sebelum benar-benar rebah, aku turun lagi dari ranjang. Mengecek ulang jendela. Memutar keran kamar mandi. Menyalakan saklar. Mematikannya lagi. Setelah semua ritual-ritual kecil itu akhirnya selesai untuk malam ini, aku berbaring. Tapi mataku tetap terbuka.

Aku teringat, di laci meja ada surat yang belum sempat kubuka sejak kemarin. Mama yang menerima dan menyerahkannya kepadaku, sambil berkata:  “Dari Bara. Tadi siang dikirim lewat petugas lapas.”

Aku membuka lipatannya pelan. Tulisan tangan Bara masih seperti dulu, agak miring ke kanan, rapi tapi terkesan buru-buru.

“Nara, Kamu pasti sibuk banget sekarang. Namanya juga mahasiswi baru, semester awal memang melelahkan. Dulu abang juga gitu, sibuk banget sampai lupa kalau jadi manusia nggak harus selalu beres.

Mama bilang kamu sekarang makin rajin. Tapi kamu juga harus istirahat, Ra. Dunia udah cukup galak, jangan ikut-ikutan galak ke diri sendiri.

Abang di sini baik-baik aja. Banyak waktu buat mikir. Kadang mikir Mama, kadang mikirin Papa, dan kadang mikirin kamu… semoga kalian semua baik-baik aja ya..

—Bara”

Tanganku bergetar sedikit saat selesai membaca. Surat itu sederhana, bukan kalimat puitis, dan  tidak panjang,  tapi kata-katanya menyentuh, seperti ditulis oleh seseorang yang... masih menaruh bagian kecil dari dirinya di dalam rumah ini. Di dalam aku.

Aku ingin membalas. Ingin bilang: "Aku nggak baik-baik aja, Bang. Aku nggak tahu cara tenang lagi. Rasanya semua harus sempurna... biar nggak ada yang hilang lagi."

Tapi malam itu aku hanya melipat ulang suratnya. Meletakkannya kembali di laci. Dan menatap langit-langit yang terasa makin berat. Seperti segala hal di kepalaku, tak ada yang benar-benar bisa kuletakkan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (13)
  • sabitah

    ga ada typo, bahasanya puitis tapi ringan, setiap bab yang di baca dengan mudah membawa masuk ke cerita. ceritannya juga unik, jarang banget orang mengedukasi tentang KESEHATAN MENTAL berbalut romance. dari bab awal sampe bab yang udah di unggah banyak kejutannya (tadinya nebak gini taunya gini). ini cerita bagus. penulisnya pintar. pintar bawa masuk pembaca ke suasananya. pintar ngemas cerita dengan sebaik mungkin. pintar memilih kata dan majas. kayaknya ini bukan penulis yang penuh pengalaman...

    Comment on chapter PROLOG
  • romdiyah

    Ga sabaarrrrr selanjutnya gimana?? Mendebarkan banget ceritanya. Aaa bagus bangett ,😭😍😍😍😍😍

  • limbooo

    Baru di prolog udah menarik banget cerita ini 😍

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Premonition
784      450     10     
Mystery
Julie memiliki kemampuan supranatural melihat masa depan dan masa lalu. Namun, sebatas yang berhubungan dengan kematian. Dia bisa melihat kematian seseorang di masa depan dan mengakses masa lalu orang yang sudah meninggal. Mengapa dan untuk apa? Dia tidak tahu dan ingin mencari tahu. Mengetahui jadwal kematian seseorang tak bisa membuatnya mencegahnya. Dan mengetahui masa lalu orang yang sudah m...
Bunga Hortensia
1652      101     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
MANITO
1369      936     14     
Romance
Dalam hidup, terkadang kita mempunyai rahasia yang perlu disembunyikan. Akan tetapi, kita juga butuh tempat untuk menampung serta mencurahkan hal itu. Agar, tidak terlalu menjadi beban pikiran. Hidup Libby tidaklah seindah kisah dalam dongeng. Bahkan, banyak beban yang harus dirasakan. Itu menyebabkan dirinya tidak mudah berbagi kisah dengan orang lain. Namun, ia akan berusaha untuk bertahan....
Surat yang Tak Kunjung Usai
796      520     2     
Mystery
Maura kehilangan separuh jiwanya saat Maureen saudara kembarnya ditemukan tewas di kamar tidur mereka. Semua orang menyebutnya bunuh diri. Semua orang ingin segera melupakan. Namun, Maura tidak bisa. Saat menemukan sebuah jurnal milik Maureen yang tersembunyi di rak perpustakaan sekolah, hidup Maura berubah. Setiap catatan yang tergores di dalamnya, setiap kalimat yang terpotong, seperti mengu...
Let me be cruel
5566      2802     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
Finding My Way
780      473     3     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?
Wilted Flower
346      264     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Dimension of desire
232      192     0     
Inspirational
Bianna tidak menyangka dirinya dapat menemukan Diamonds In White Zone, sebuah tempat mistis bin ajaib yang dapat mewujudkan imajinasi siapapun yang masuk ke dalamnya. Dengan keajaiban yang dia temukan di sana, Bianna memutuskan untuk mencari jati dirinya dan mengalami kisah paling menyenangkan dalam hidupnya
Metanoia
53      45     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiriβ€”dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Heavenly Project
591      401     5     
Inspirational
Sakha dan Reina, dua remaja yang tau seperti apa rasanya kehilangan dan ditinggalkan. Kehilangan orang yang dikasihi membuat Sakha paham bahwa ia harus menjaga setiap puing kenangan indah dengan baik. Sementara Reina, ditinggal setiap orang yang menurutnya berhaga, membuat ia mengerti bahwa tidak seharusnya ia menjaga setiap hal dengan baik. Dua orang yang rumit dan saling menyakiti satu sama...