Loading...
Logo TinLit
Read Story - Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
MENU
About Us  

Tidak semua pertemuan menyembuhkan, tapi hari itu, kerinduan kami menemukan sedikit tempat untuk bernapas.

**

Mobil melaju pelan di jalanan pagi yang lengang. Langit mendung, seakan ikut menyimpan ragu dan beban yang kami bawa. Di kursi depan, Papa menyetir tanpa suara. Matanya lurus menatap jalan, rahangnya mengeras sejak kami berangkat tadi. Mama duduk di sebelahnya, memeluk tas kecil berwarna beludru erat-erat. Jari-jarinya sesekali menggenggam dan melepas resleting tas tersebut. Tatapannya kosong, tapi aku tahu pikirannya tidak pernah benar-benar diam. Tidak ada yang bicara. Radio pun tak dinyalakan. Hanya suara ban menggilas aspal dan desahan AC yang terdengar.

“Jam berapa kita sampai, Pa?” tanyaku pelan, mencoba memecah diam.

Papa melirik kaca spion. “Sebentar lagi.” Jawabannya pendek, tapi cukup.

Aku kembali diam. Mataku menerobos jendela, melihat bangunan-bangunan yang kami lewati. Toko-toko yang belum buka. Orang-orang yang baru memulai hari. Dan kami... kami sedang menuju tempat yang tak pernah kami bayangkan akan menjadi tujuan.

Mama menarik napas panjang, lalu mengusap pipinya dengan tisu. “Mama mimpi Bara semalam,” katanya tanpa menoleh. “Dia duduk di ruang tamu, bilang dia kangen rumah.”

Aku menoleh pelan ke arahnya. Suaranya hampir pecah di akhir kalimat, tapi Mama tetap menatap ke depan. Aku ingin menjawab sesuatu, tapi tak ada kata-kata yang terasa tepat. Dalam hati, aku juga rindu Bara. Bahkan sebelum ia pergi, aku sudah merindukan keluargaku yang dulu. Tapi hari ini, entah bagaimana, ada harapan kecil di antara keheningan. Bahwa mungkin pertemuan ini bisa menjadi awal.

Mobil mulai berbelok ke sebuah jalan sempit, melewati gerbang tinggi dengan kawat berduri di atasnya. Kami tiba. Tidak ada yang bilang apa-apa. Papa hanya mematikan mesin, dan Mama buru-buru merapikan kerudungnya meski tidak terlalu kusut. Aku ikut turun perlahan, mendadak merasa kecil di antara tembok-tembok tinggi dan udara yang terasa lebih berat dari biasanya.

Kami berjalan menuju gedung utama. Langkah-langkah kami terdengar pelan di antara gema lorong yang kosong. Setelah melewati pos pemeriksaan dan menyebutkan nama yang ingin kami temui, seorang petugas mengarahkan kami. Lalu aku, Mama, dan Papa segera berjalan menuju ruang tunggu yang berada di sebelah lorong yang gelap dan sepi.

Ruang tunggu itu terasa dingin dari yang penah aku bayangkan, dengan dinding pucat serta bau disinfektan dan logam yang menempel di udara. Kami duduk di deretan bangku plastik yang mengkilap, berwarna biru pucat. Di depan, kaca pembatas besar dengan lubang kecil tempat suara bisa lewat. Di baliknya, kursi-kursi kosong menanti para penghuni.

Aku menyandarkan tubuh pelan, mencoba mengatur napas. Mama menatap lurus ke depan, seperti ingin segera menembus jarak dan waktu. Papa duduk dengan tangan bersedekap, dagunya menunduk, entah tertidur entah tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Mataku menyapu ruangan. Di dinding, ada beberapa lukisan tergantung rapi. Tapi, ada satu lukisan membuat mataku berhenti sejenak. Kupandangi lukisan itu lekat-lekat. Warna-warna lembut masih mendominasi, seolah senja yang dilukis tak pernah benar-benar selesai. Sapuan kuasnya tenang, nyaris melankolis. Sosok kecil duduk membelakangi, menghadap danau yang permukaannya tenang seperti cermin. Di sekelilingnya, pohon-pohon ramping berdiri diam, seakan ikut menjaga keheningan. Tak ada wajah, tapi ada perasaan kesendirian yang tidak terasa sepi, hanya... sunyi yang diterima.

Aku mengenali gaya lukisan itu. Aku pernah melihatnya dalam pesan yang dikirim Laras, saat dia berkata: Itu salah satu lukisan yang bakal dipajang di pameran, Ra. Yang buat teman kakakku dari komunitas inklusi visual. Aku suka banget suasananya, tenang tapi dalem..”

Lukisan itu pernah menarik penuh perhatianku, termasuk hari ini. Aku bangkit dan mendekat pelan ke lukisan itu. Sekali lagi, aku ingin memperhatikan setiap detilnya. Ada sesuatu yang menekan di dada. Mungkin karena sosok kecil di lukisan itu tampak begitu diam, membelakangi dunia, seolah menyembunyikan perasaan yang tak sempat diucapkan. Mungkin juga karena aku tahu, tanpa sadar, aku sedang mencari bayangan diriku sendiri, di tengah senja yang tenang, di permukaan danau yang tak memberi pantulan apa-apa.

Di sudut kanan bawah, tertera tanda tangan si pelukis—dua huruf: “NT.”
Huruf-huruf itu terasa seperti bisikan yang pelan, nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk menghubungkan titik-titik sunyi yang selama ini hanya kupahami sendiri.

“Laras pernah kirim lukisan ini,” bisikku pelan.

Mama tak menjawab, tapi aku tahu dia mendengar. Dan di detik itu, sebelum Bara muncul dari balik pintu, aku merasakan sesuatu yang asing namun hangat, seperti diriku sedang diam-diam diingatkan bahwa aku tak sepenuhnya hilang.

Pintu besi di ujung ruangan tiba-tiba berderit pelan, membangunkanku dari pikiran yang terbenam bersama lukisan di dinding. Suaranya kasar, berat, seperti suara yang terlalu sering menutup harapan. Beberapa orang berdiri, menoleh. Aku pun ikut berdiri, jantungku berdebar pelan tapi pasti.

Bara masuk dengan langkah yang tertahan. Rambutnya lebih pendek, wajahnya lebih tirus. Tapi matanya.., matanya masih sama. Mata yang dulu bisa berpura-pura baik-baik saja, kini hanya menyisakan luka yang tak bisa lagi disembunyikan.

Mama berdiri tercekat. Untuk beberapa detik, tidak ada suara. Hanya tatapan yang saling berbicara dalam diam yang panjang. Lalu Mama melangkah lebih dulu ke arah kursi di balik pembatas.

“Bar…” suaranya nyaris patah.

Bara duduk. Tangannya gemetar sedikit saat menyentuh kaca, seperti ingin menyentuh Mama. Tapi kaca itu tebal. Jarak itu nyata. Aku dan Papa ikut duduk. Papa tak langsung bicara, tapi wajahnya melembut, untuk pertama kalinya sejak masalah ini datang bertubi-tubi.

“Kalian sehat?” Bara bertanya pelan.

“Iya Bang. Kamu gimana? Sehat kan? Dari subuh kami udah semangat buat ketemu kamu.” Jawabku cepat.

Dia tersenyum tipis. “Sehat.. Makasih ya Ra…”

Tak ada yang bicara lagi selama beberapa detik. Tapi hening kali ini berbeda, bukan karena kebingungan, melainkan karena masing-masing dari kami ingin memberi ruang bagi perasaan yang tak terucap.

Waktu seolah melambat. Di ruangan ini, tak ada detak jam yang terdengar, hanya langkah petugas dan bisik-bisik dari meja lain. Tapi di hadapan Bara, kami tidak butuh penanda waktu. Kami hanya butuh saling menatap, memastikan satu sama lain masih ada.

Mama menggenggam tangan sendiri erat-erat di atas meja. Dari balik kaca, ia tahu ia tak bisa menyentuh Bara, tapi matanya tak berhenti berbicara.

“Kamu kurusan, Bar…” bisik Mama. “Tiap malam Mama masak sayur kesukaan kamu. Kadang Mama taruh di meja makan, terus lupa kalau kamu gak pulang.”

Bara menggigit bibirnya, menahan sesuatu. “Ma, jangan khawatir, aku baik-baik aja kok. Di sini... aku coba jaga diri. Banyak baca buku. Kadang bantu nulis buat teman sekamar.”

Aku dan Papa saling pandang. Ini pertama kalinya kami dengar dia cerita sedikit tentang hidupnya, karena selama ini kami hanya asyik menerka-nerka.

“Bara..” Papa memanggilnya pelan dengan keraguan di setiap kata. Papa mendesah, kemudian berusaha melanjutkan kalimatnya tang terputus. “Bar..” katanya kaku, lalu diam sebentar. “Papa kecewa sama kejadian yang menimpa kamu. Papa sedih, rasanya dunia gak adil untuk kamu. Tapi Papa bangga sama kamu.”

Bara tertawa kecil, separuh getir, separuh tak percaya. “Papa bangga sama orang yang nabrak orang sampai mati?”

Mama menggeleng cepat. “Jangan bilang gitu, Bar. Kamu bukan orang jahat. Itu kecelakaan. Kamu nggak sengaja.”

Bara hanya terdiam, menatap Mama dan Papa secara bergantian. Lalu ia menunduk, getir,  seperti menangan sesuatu yang akan tumpah.

Aku menatap Bara lekat-lekat. “Aku... sering mimpi kamu pulang Bang. Duduk di meja makan. Pakai kaus hitam kamu yang kusut itu. Tapi aku sadar, kamu gak bisa pulang. Jadi aku bawa cerita rumah ke sini.” Kataku memecah suasana yang mulai mencekam.

Bara menatapku. Lama. “Apa kabar si kucing liar di halaman?”

Kami tertawa bersamaan. Tawanya pelan, agak serak. Tapi jujur. Hangat yang aneh, hangat yang lama tak kami rasakan.

Setelah itu, tidak ada percakapan panjang. Hanya saling bercerita tentang hal-hal kecil: bagaimana Mama mulai menanam bunga lagi, bagaimana aku mulai ikut les tambahan, bagaimana Papa sekarang lebih sering duduk diam di teras daripada marah-marah.

“Sampai kapan kamu di sini?” tanya Mama akhirnya.

Bara menatap ke luar jendela kecil di sudut ruangan. “Aku belum tahu. Tapi kalau kalian terus datang... rasanya nggak terlalu gelap di sini.”

Mama menangis. Kali ini tidak disembunyikan.

Aku pun merasa ada yang mengalir dari dadaku, tapi bukan kesedihan murni. Lebih seperti kelegaan yang menyakitkan. Karena mungkin setelah waktu yang lama, kami benar-benar merasa seperti keluarga lagi, meski pun dalam keadaan yang paling patah.

Petugas sudah memberi isyarat dari jauh, tanda waktu kunjungan hampir selesai. Tapi Bara belum melepas pandangannya dariku. Bara menatapku lama. Sorot matanya tak bisa kuterjemahkan. Seperti ada sesuatu yang ingin ia titipkan, tapi tak tahu bagaimana caranya.

“Ra..” katanya pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara pintu besi di kejauhan. “Ra... Aku tahu ini nggak adil. Tapi kamu harus sekolah yang bener ya. Banggain Mama. Papa. Banggain aku juga… biar ada satu hal yang bisa aku banggakan dari sini.”

Aku mengangguk kecil, otomatis. Tapi dalam kepalaku, ada banyak suara yang saling bertabrakan. Aku ingin bertanya, ‘kenapa harus aku?’ Tapi yang keluar hanya napas panjang yang kutahan sejak tadi.

“Bisa kan Ra? Aku yakin kamu kuat, kamu pasti bisa, Ra.” tambahnya, seolah mencoba meyakinkanku atau mungkin dirinya sendiri.

Aku tidak tahu harus merasa bagaimana. Antara ingin memeluknya, atau justru menjauh. Rasanya seperti menerima hadiah yang tidak kupesan, dan tak tahu harus kuletakkan di mana. Aku menatap tangannya di atas meja. Tangannya yang dulu sering menarik tanganku agar berani menyeberang jalan. Sekarang ia duduk di balik ruang ini, dan entah kenapa justru jadi meminta aku yang kuat.

Aku ingin percaya aku bisa. Tapi bagian dari diriku masih terlalu sibuk bertanya-tanya:
‘Apa aku sedang diberi harapan? Atau beban yang baru?’ Pertanyaan itu menggantung di pikiranku, tak mendapat jawaban, hanya mengendap seperti kabut tipis yang tak juga hilang.

Perjalanan pulang terasa lebih sunyi dari biasanya. Mobil melaju pelan, tapi di dalam kepalaku, segalanya terasa terlalu cepat. Terlalu berat. Di kursi depan, Papa menyetir tanpa sepatah kata. Mama duduk di sampingnya, sesekali menyeka air mata yang mungkin bahkan tak ia sadari masih mengalir. Aku duduk sendiri di belakang, memeluk ranselku, memandangi jendela yang basah oleh embun.

Langit siang menggantung muram. Warna-warnanya seperti dilukis dengan kuas basah, biru pucat yang memudar menjadi abu-abu. Di sela-sela pohon yang berlari mundur, aku melihat bayangan diriku sendiri. Duduk. Diam. Menjadi anak yang diharapkan kuat padahal masih berusaha mengerti arti kekuatan itu sendiri.

Kalimat Bara terus terngiang. Banggain Mama, Papa, aku juga. Apa itu janji? Atau titipan? Atau malah jadi tekanan yang dibungkus dengan kasih sayang?

Aku menengadah menatap langit. Lalu berbisik di dalam hati: “Tuhan… kalau memang ini jalanku, ajari aku untuk melangkah, meski gemetar. Tapi kalau boleh, kalau Engkau benar-benar mendengar, bolehkah aku jadi anak biasa dulu? Yang nggak harus ngerti semuanya. Yang nggak harus kuat terus.” Tak ada jawaban. Hanya langit yang tetap sunyi. Tapi untuk sesaat, rasanya seperti ada yang mendengarkan.

Sesampainya di rumah, Mama langsung masuk lebih dulu, tanpa berkata apa-apa. Hanya menggantungkan tas di belakang pintu, lalu melangkah ke kamar. Aku tahu, ia akan menangis lagi. Tapi kali ini, mungkin bukan karena marah atau lelah. Mungkin karena rindu yang masih belum sempat menyentuh. Papa menghela napas panjang. Ia menepuk pundakku sekilas, lalu pergi ke ruang kerjanya. Seperti biasa. Kembali ke dunia yang sunyi dan penuh jarak.

Aku berdiri di ruang tamu yang setengah remang. Aroma kain lembap, bau hujan yang belum kering sepenuhnya, dan sisa kopi pagi tadi masih tertinggal. Aku meletakkan ranselku perlahan, menatap sekeliling, lalu menunduk. Rasanya, momen hangat tadi seperti mimpi pendek, nyata, tapi cepat sekali hilang.

Kemudian aku naik ke kamar. Di meja belajar, tanganku membuka obrolan lama dengan Laras: tentang lukisan yang tadi kulihat lagi di ruang tunggu. Dulu, saat melihatnya pertama kali, aku hanya terpana oleh keindahan warna-warnanya yang lembut. Setiap sapuan kuasnya terasa begitu tenang, nyaris melankolis, seperti kisah yang tak pernah usai, namun diterima begitu saja. Sosok kecil yang duduk membelakangi danau itu, seolah menceritakan sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar gambar. Wajahnya tak terlihat, namun perasaan kesendirian itu begitu nyata. Tidak sepi, hanya sunyi yang diterima dengan pasrah.

Sekarang aku mengerti. Lukisan itu bukan hanya gambaran tentang sebuah masa lalu atau harapan kosong. Itu adalah gambaran diri.., gambaran diri Bara, atau mungkin diriku, yang menghadap dunia yang luas dan penuh ketidakpastian, namun tetap diam, menerima apapun yang datang. Pohon-pohon ramping yang berdiri di sekeliling danau seperti menjadi penjaga kesunyian, seolah mengingatkan bahwa dalam setiap perjalanan, kita harus belajar menerima sunyi sebagai bagian dari perjalanan itu sendiri. Mungkin itulah yang aku rasakan, dan itu juga yang mungkin dirasakan Bara. Sebuah kesunyian yang hadir tanpa penolakan, tanpa rasa takut.

Aku duduk. Mengambil pulpen, membuka halaman kosong di buku harianku.

Kalau semua ini adalah ujian, aku belum tahu apa yang ingin Tuhan ajarkan padaku. Tapi hari ini... aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasa: rindu yang ketemu jawabannya, walau sebentar. Dan takut, karena setelah ini, aku harus berjalan lagi. Sendiri.

Aku menutup bukuku pelan. Lalu berbisik dalam hati, “Bang, aku kangen kita yang dulu. Tapi kalau sekarang aku harus jadi kamu... ajari aku ya, caranya jadi kuat tanpa pura-pura.”

Malam pun turun dengan sunyi yang berbeda. Mama tidak keluar kamar. Papa tidak menyalakan televisi. Dan aku duduk sendirian di meja makan yang dingin, dengan sepiring nasi yang tak kusentuh.

Kunjungan ke Bara masih terasa di dalam dadaku, seperti ada yang tertinggal. Semua kata-kata yang tak sempat diucapkan, semua tatapan yang mencoba mengerti, dan sebuah perasaan kosong yang menghantui. Aku menatap ke ruang kosong di depanku, meresapi keheningan yang terasa semakin mencekik. Aku mencoba menenangkan diri, tapi tidak ada yang bisa kulakukan. Segala yang kupikirkan terasa berputar, seperti roda yang tak bisa berhenti.

Aku ingin berbicara, bertanya, atau sekadar mencari cara untuk meredakan kegelisahan ini. Tapi rasanya, apapun yang keluar dari mulutku hanya akan sia-sia. Jasi aku hanya diam, menatap meja makan yang kosong, mencoba untuk mengisi ruang itu dengan sesuatu yang bisa kupegang.

Di luar, angin malam berembus pelan, membawa kesunyian yang hampir sempurna. Aku menatap lukisan itu lagi, seperti ada yang ingin kubaca lebih jauh dari sekadar warna dan garisnya. Mungkin, ada sebuah kisah yang lebih dalam di baliknya yang belum kumengerti. Dan Malam pun turun dengan sunyi yang berbeda. Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak sepenuhnya takut pada besok.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (13)
  • sabitah

    ga ada typo, bahasanya puitis tapi ringan, setiap bab yang di baca dengan mudah membawa masuk ke cerita. ceritannya juga unik, jarang banget orang mengedukasi tentang KESEHATAN MENTAL berbalut romance. dari bab awal sampe bab yang udah di unggah banyak kejutannya (tadinya nebak gini taunya gini). ini cerita bagus. penulisnya pintar. pintar bawa masuk pembaca ke suasananya. pintar ngemas cerita dengan sebaik mungkin. pintar memilih kata dan majas. kayaknya ini bukan penulis yang penuh pengalaman...

    Comment on chapter PROLOG
  • romdiyah

    Ga sabaarrrrr selanjutnya gimana?? Mendebarkan banget ceritanya. Aaa bagus bangett ,😭😍😍😍😍😍

  • limbooo

    Baru di prolog udah menarik banget cerita ini 😍

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Can You Be My D?
68      64     1     
Fan Fiction
Dania mempunyai misi untuk menemukan pacar sebelum umur 25. Di tengah-tengah kefrustasiannya dengan orang-orang kantor yang toxic, Dania bertemu dengan Darel. Sejak saat itu, kehidupan Dania berubah. Apakah Darel adalah sosok idaman yang Dania cari selama ini? Ataukah Darel hanyalah pelajaran bagi Dania?
Senja di Balik Jendela Berembun
15      15     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Rania: Melebur Trauma, Menyambut Bahagia
159      131     0     
Inspirational
Rania tumbuh dalam bayang-bayang seorang ayah yang otoriter, yang membatasi langkahnya hingga ia tak pernah benar-benar mengenal apa itu cinta. Trauma masa kecil membuatnya menjadi pribadi yang cemas, takut mengambil keputusan, dan merasa tidak layak untuk dicintai. Baginya, pernikahan hanyalah sebuah mimpi yang terlalu mewah untuk diraih. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan Raihan...
Monday vs Sunday
100      86     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...
No Longer the Same
286      219     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...
The First 6, 810 Day
503      353     2     
Fantasy
Sejak kecelakaan tragis yang merenggut pendengarannya, dunia Tiara seakan runtuh dalam sekejap. Musikβ€”yang dulu menjadi napas hidupnyaβ€”tiba-tiba menjelma menjadi kenangan yang menyakitkan. Mimpi besarnya untuk menjadi seorang pianis hancur, menyisakan kehampaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam upaya untuk menyembuhkan luka yang belum sempat pulih, Tiara justru harus menghadapi ke...
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
934      600     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
The Call(er)
1099      631     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
The Boy Between the Pages
901      661     0     
Romance
Aruna Kanissa, mahasiswi pemalu jurusan pendidikan Bahasa Inggris, tak pernah benar-benar ingin menjadi guru. Mimpinya adalah menulis buku anak-anak. Dunia nyatanya membosankan, kecuali saat ia berada di perpustakaantempat di mana ia pertama kali jatuh cinta, lewat surat-surat rahasia yang ia temukan tersembunyi dalam buku Anne of Green Gables. Tapi sang penulis surat menghilang begitu saja, meni...
Suara yang Tak Pernah Didengar
288      167     9     
Inspirational
Semua berawal dari satu malam yang sunyiβ€”sampai jeritan itu memecahnya. Aku berlari turun, dan menemukan hidupku tak akan pernah sama lagi. Ibu tergeletak bersimbah darah. Ayah mematung, menggenggam palu. Orang-orang menyebutnya tragedi. Tapi bagiku, itu hanya puncak dari luka-luka yang tak pernah kami bicarakan. Tentang kehilangan yang perlahan membunuh jiwa. Tentang rumah yang semakin sunyi. ...