Berlayar adalah hal paling baru yang mereka bertiga dapatkan. Diakhir masa sebagai pelajar, selangkah sebelum meninggalkan sekolah menengah atas yang penuh kenangan tidak terlupakan. Maka, berlayar ini kesan yang tidak akan pernah bisa digantikan.
Dengan pengalaman pertama ini, bahkan bersama dengan kedua teman dekatnya, Jevan dapat menyaksikan bagaimana ayahnya tersenyum begitu lebar menikmati ombak laut yang menggoyangkan kapal mereka, angin dingin yang terus berhembus dari segala arah dan ikan-ikan yang sesekali terbang terlihat di atas permukaan air.
Kini, mereka berempat, tengah duduk di ujung kapal. Jevan duduk di tengah, diapit Pak Jaka dan kedua temannya, hingga pada detik selanjutnya, Pak Jaka bicara, “Semua orang tua, akan mengusahakan segala hal untuk anaknya, Jevan.”
Rama dan Dika saling pandang. Keduanya merasa bahwa Pak Jaka pasti mendengar apa yang sebelumnya mereka bicarakan.
“Meskipun kamu berusaha keras menyembunyikannya, kamu tidak bisa lupa bahwa aku dan ibumu adalah orang tuamu. Dua orang dewasa yang menemanimu sejak kamu melihat dunia ini. Kami, tidak mungkin tidak mengenai gerak-gerik anak kami sendiri,” lanjut Pak Jaka.
Pria paruh baya itu memutar kepalanya, menatap sang anak dengan sorot penuh cinta. Tidak ada beban, tidak ada paksaan, ataupun tekanan. Bahkan, rasa bahagia yang pernah dia dapatkan ketika pertama kali melihat sang putra dilahirkan kembali berputar dibenaknya.
Dulu, Jevan begitu kecil, hanya anak yang hanya bisa menangis ketika ibu Hanum meninggalkannya sejenak hanya untuk membuatkannya secangkir susu. “Sekarang kamu sudah sangat besar, anakku, sehingga kamu sudah mulai berpikir sendiri tanpa memikirkan perasaan kamu,” lanjut Pak Jaka.
Jevan menggeleng kuat. “Tidak. Jevan hanya tidak ingin jauh dari kalian. Aku terlalu bergantung pada ayah dan ibu, jadi mana mungkin aku bisa pergi jauh hanya untuk belajar? Jevan bisa belajar di sini, bersama Dika.”
Dika perjengit mendengar namanya disebut. “T-tapi, sangai rugi jika undangan itu dilepas, Jevan,” selanya cepat.
Pak Jaka tidak menatap Jevan lagi. Matanya yang seperti berbinar menahan pilu itu sangat ia usahakan untuk tidak dilihat oleh sang anak. “Ayah sudah membicarakan semuanya bersama kepala sekolahmu. Dan, apapun yang terjadi, kamu akan tetap berangkat ke kota, Nak!”
Ketiga pemuda itu terkejut, terutama Jevan yang tidak mengira jika Pak Jaka melakukan hal itu.
Percakapan di tengah laut berakhir di sini, Jevan menjadi membisu karena kebimbangan yang tidak bisa ia temukan jawabannya. Sedangkan, Rama dan Dika, yang semula merasa bahwa berlayar pertama mereka akan sangat menyenangkan, berakhir seperti ini.
***
Hari ini, anak kelas dua belas dibebaskan pulang lebih awal, maka tidak heran jika Rama berada di rumah Jevan hanya untuk bermain PS atau sekedar merecokki Ibu Hanum membuat bakwan favoritnya.
Rama mencomot satu buah bakwan dari atas piring berserta satu tangkai cabe dan melahapnya sekaligus. Kemudian, mengambil tempat di samping Jevan yang termenung menatap layar televisi—membiarkan orang-orang di sana menggiring bola sendirian.
“Antara kau dan ayahmu, apakah sudah selesai?” bisik Rama.
Sebuah helaan napas menyapa telinga Rama, lalu gelengan pelan diterimanya.
“Ayah menjadi aneh. Dia jadi sangat jarang kulihat di bawah jam delapan malam,” jawab Jevan.
Rama mengangguk mengerti. “Bolehkah aku mengatakan sesuatu?”
Jevan menoleh untuk sejenak, kemudian mempersilahkan Rama bicara dengan sebuah anggukan.
“Mungkin, kau merasa ayahmu tidak ingin kau di sini lagi, tetapi, tidak ada yang salah jika orang tua ingin melihat anak mereka mendapatkan hidup yang lebih layak. Mengenyam pendidikan yang baik, apalagi setelah menyadari bahwa anak mereka memiliki potensi itu.”
Jevan tidak menjawab.
“Ayahmu hanya ingin yang terbaik untukmu, Jevan,” lanjut Rama seraya menepuk lembut punggung temannya itu. “Kita tidak bisa bergantung selamanya pada siapapun, termasuk pada orang tua kita, karena pada masanya mereka tidak akan bisa selalu ada untuk kita, Jevan.”
Dingin dari jendela kamar yang dibuka menengahi percakapan mereka berdua. Jevan masih terus terdiam seolah dia perlu lebih banyak waktu untuk mencerna semuanya, hingga pintu kamarnya dibuka secara paksa, menampilkan Dika datang dengan wajah memerah dan napas tersengal-sengal.
Rama beranjak berdiri. “Ada apa denganmu, hah?” tanyanya kesal.
Dika tidak langsung menjawab, dia melangkah mendekat pada meja dan menenggak habis air di dalam gelas milik Rama, lalu menikmati sebiji bakwan dulu sebelum membuka suara sambil menatap serius pada Jevan.
“Jevan …,” panggilnya pelan, “aku melihat bahwa ayahmu menjual perahunya.”
Merasa bahwa Dika bercanda, maka tanpa aba-aba, Rama langsung memberikan sebuah pukulan keras di lengan kanan pemuda itu. “Jangan asal bicara kamu!” Ia memperingati.
Dika menggeleng kuat. “Aku bersungguh-sungguh,” sahutnya sambil menatap Jevan kembali. “Sebenarnya, aku juga mendengar kabar ini dari ayahku, lalu saat aku dalam perjalanan ke sini, aku melihat sendiri bahwa ayahmu menerima uang dari Pak Indra, jurangan beras yang datang waktu itu.”
.
.
Bersambung ....
Tunggu bab selanjutnya :))
Maaf untuk typonya, ya.