Jevan sudah berada di atas perahu, membantu Pak Jaka melebarkan layar perahu. Mereka akan berlayar beberapa waktu lagi. Hanya perlu menunggu Rama dan Dika yang masih sibuk membantu Ibu Hanum membereskan piring-piring mereka karena tempat tinggal mereka ini ada larangan untuk meninggalkan piring kotor.
Jevan dengan tangannya yang berusaha menggenggam erat tali layar, matanya menatap lekat-lekat pada raut wajah ayahnya yang terlihat tidak ceria seperti biasanya. Bukan Jevan berburuk sangka bahwa ayahnya tidak senang ia dan kedua temannya ikut berlayar, hanya saja … raut itu sangat tidak bahagia.
Jevan sangat tahu ayahnya, ayahnya selalu senang berlayar, apalagi ini kali pertama ia bisa ikut berlayar. Bahkan, menerima permintaan orang lain untuk berlayar bersama pun, ia sangat antusias. Namun, kali ini, Jevan dapat merasakan bahwa … ada yang berbeda dengan ayahnya.
Setelah layar telah terpasang dengan baik, Jevan mendekat, duduk di samping ayahnya. “Apakah ayah tidak sehat?” tanyanya.
Pak Jaka menoleh, lantas menggeleng. “Tidak. Ayah sangat sehat.”
“Jika ayah tidak sehat, berlayar hari ini kita batalkan saja,” lanjut Jevan.
“Mana mungkin dibatalkan?” sahut Pak Jaka dengan cepat. “Kedua temanmu itu sangat senang, ayah tidak mungkin mengecewakan mereka.”
“Rama dan Dika pasti akan mengerti. Kita bisa menunda berlayar hari ini, ayah.”
Pak Jaka menggeleng. “Tidak ada yang terjadi apa-apa dengan ayah. Ini pertama kalinya kamu ikut ayah berlayar, tidak mungkin akan ayah batalkan, karena kita tidak tahu jika ke depannya tidak bisa berlayar lagi.”
Jevan merapatkan tubuhnya pada Pak Jaka. “Tidak bisa berlayar lagi, bagaimana ayah?”
Sorot mata Pak Jaka melembut. Tangan kanannya naik, mengusap surai legam milik ayahnya. “Kamu harus melanjutkan pendidikanmu ke jenjang yang lebih tinggi, Jevan Kamu harus kuliah, mewujudkan impianmu itu. Dan setelah itu, kamu tidak akan punya banyak waktu di sini, apalagi hanya sekedar untuk ikut ayah berlayar.”
“Jadilah anak yang bahagia, Jevan! Ayah dan Ibu akan selalu menjadi orang pertama yang mendukung setiap langkah yang kamu pilih, sesulit apapun itu,” lanjut Pak Jaka, membuat Jevan tidak tahan untuk tidak memeluk erat tubuh mulai renta milik ayahnya.
“Jevan sama sekali tidak ingin meninggalkan ayah dan ibu,” bisik Jevan. “Jevan rasa tidak perlu untuk kuliah ke kota, cukup bekerja di sini saja, agar bisa selalu bersama ayah dan ibu.”
Pak Jaka mendorong kuat tubuh anaknya. “Tidak! Kamu harus kuliah, sampai jenjang paling tinggi jika itu perlu,” ucapnya tegas.
“Tapi, ayah ….”
Pak Jaka seketika beranjak, dan turun dari perahu, menghampiri Rama dan Dika yang kesulitan membawa sebuah box besar yang biasa digunakan untuk menyimpan ikan tangkapan, sehingga hal ini memotong perkataan Jevan.
Ketika ketiganya sudah ada di dalam perahu, dan Pak Jevan sudah mulai melepas tali yang mengikat perahu pada tiang penyangga, Jevan masih belum bergeming. Perasaannya menjadi sedikit kacau dan gelisah. Ada sebuah perasaan aneh yang hingga setelah mendengar Pak Jaka yang ingin sekali ia pergi jauh meninggalkan mereka.
Sebuah tepukan lembut menyapa punggungnya, Jevan terperanjak. Dika pelakunya. “Ada apa denganmu? Apakah angin laut sudah membuatmu merasa tidak nyaman?”
Jevan menggeleng lemah. “Tidak,” jawabnya singkat.
“Lantas?” tanya Dika lagi. Kali ini, Rama bergabung, ikut menunggu responnya.
Jevan menatap satu persatu kedua temannya itu. “Ayahku ingin aku berkuliah, sedangkan aku tidak mau.”
Mata Dika membulat. “Jangan kamu katakan bahwa ayah dan ibumu belum tahu bahwa kamu telah diterima salah satu kampus di kota?”
Jevan mengangguk pelan. Sedangkan, Rama dengan cepat menoyor kepalanya.
“Aneh kamu!” desisnya.
Jevan mendengus. “Kamu ini gampang sekali emosi, Rama! Sifatnya tidak seramah namamu.”
‘Lagian, kamu kenapa juga tidak mau berkuliah? Jalan sudah ada, ayahmu bahkan mempersilahkan. Lantas, apa lagi masalahmu?”
Jevan dengan cepat membekam mulut Rama yang nada suaranya agak tinggi itu sehingga mengusik ayahnya dan menoleh dengan dahi berkerut. Untung saja ombak laut dan angin berdesir lebih kencang dibanding suaranya.
“Tenang sedikit, bisa tidak, sih?” decak Jevan. “Aku hanya tidak sanggup meninggalkan mereka,” lanjutnya menjelaskan.
“Aku mengerti,” sahut Dika. Sedangkan, Rama masih belum tahu maksud Jevan. “Jevan berbeda dengan kita, Rama. Kamu anak terakhir, punya kakak yang dengan sukarela membawa istrinya untuk tinggal di sini untuk menemani orang tuamu.”
“Lalu kamu?”
“Aku? Aku punya kakak dan adik. Orang tuaku tidak akan kekurangan orang untuk merawat mereka,” jawa Dika pada pertanyaan Rama. Matanya kemudian menatap Jevan. “Sedangkan, Jevan, satu-satunya. Sebagai anak, Jevan pasti merasa khawatir, begitu, kan, maksudmu, Jevan?”
Untuk sejenak Jevan terdiam—tidak menyangka bahwa angin laut membuat Dika menjadi lebih manusiawi—sebelum akhirnya mengangguk, mengiyakan.