Bendera kuning bertulisankan huruf arab telah berkibar tidak berdaya di ujung tiang bambu tua yang mengambil alih sepetak tempat di pinggir gang sempit menuju rumahnya. Bendera yang sama juga terpasang di salah satu tiang pondasi teras--merusak keyakinan Jevan selama delapan belas jam waktu yang ditempuh dari rantauan, Kota Belitang.
Pemuda itu, baru genap 28 tahun beberapa hari yang lalu, baru juga menerima ucapan selamat bertambah usia dari sang ayah, tetapi Jevan tidak bisa menerima jika suara lembut yang dia dengar kemarin siang menjadi suara yang akan sangat dia rindukan selamanya.
Sejak turun dari mobil travel, Jevan berusaha keras menahan air matanya. Namun, ketika kedua kakinya berhasil mengantarnya di depan rumah yang telah dipasang dua unit tenda milik desa. Melihat semua orang terdiam dan menatap iba, Jevan tidak bisa lagi menahannya.
Langkahnya melebar, melempar sembarang tas punggung-- berisikan beberapa helai baju dan nota pembayaran cicilan perahu. Masuk ke dalam dan langsung memeluk tubuh dingin sang ayah yang terbujur kaku--telah diselimuti kain corak batik milik ibu dari ujung kaki hingga pangkal leher.
Dua bulan lagi, cicilan perahu yang telah Jevan tebus sejak tiga belas bulan lalu akan segera lunas. Kemudian, ia akan mengambil cuti selama tiga bulan, untuk menemani ayah berlayar, memancing, dan menikmati angin laut yang menenangkan. Namun, semua itu kini hanya sekedar harapan.
"Jevan tidak berguna, Ibu!" rutuk Jevan di dalam dekapan sang ibu.
"Jevan tega karena tidak cepat kembali dan menepati janji Jevan. Sekarang, ayah sudah tidak ada, lalu bagaimana selanjutnya, Ibu? Apa yang harus Jevan lakukan?"
Ibu terdiam. Hatinya terlalu sakit melihat putranya dilanda rasa bersalah yang begitu mendalam.
"Jevan yang salah," gumam Jevan. "Jevan yang salah. Kalau saja waktu itu Jevan tahu bahwa ayah menjual perahunya demi Jevan, semua ini tidak akan terjadi."
Ibu menggeleng kuat. Kedua tangannya yang dingin menangkup wajah Jevan. "Tidak, Nak! Ini semua takdir. Kamu jangan menyalahkan diri sendiri seperti ini. Kasihan ayahmu."
"Tapi, Ibu ... Ayah pergi sebelum Jevan bisa berbakti kepadanya," sahut Jevan, nada suaranya tinggi penuh emosi hingga beberapa pelayat juga tidak bisa menahan kesedihan mereka.
Perasaan kehilangan pada diri Jevan, benar-benar bisa dirasakan. semua penyesalan, ketidakberdayaan, lelah, dan segala tekanan yang dipendam pemuda itu dapat mereka rasakan.
"Permisi Ibu Hanum, karena Jevan sudah tiba, maka sebaiknya pemakaman Pak Jaka segera diberlangsungkan," ujar seseorang dengan peci hitam melekat di kepalanya berdiri di ambang pintu.