Rania Azeela Rumaisya, adalah gadis yang lahir dari latar belakang keluarga yang harmonis namun cukup keras. Ayahnya yang menerapkan pola asuh otoriter pada anak-anaknya membuat Rania terbatas dari dunia yang ingin dia rasakan seperti halnya dengan teman-teman sebayanya. Bahkan untuk sekadar mengenal cinta pun ia tak pernah benar-benar mengenal apa itu cinta, yang bisa dilakukannya hanyalah mencintai dalam diam namun cinta dalam diamnya itu harus kehilangan cinta pertamanya bahkan ketika ia belum sempat mengutarakannya.
Kini usia Rania sudah menginjak 29 tahun, dan sejak ia mengikhlaskan cinta pertamanya itu Rania tak lagi benar-benar bisa mencintai seseorang. Bukan karena dia belum “move on” dari cinta pertamanya itu, namun ia merasa jika ia tidak layak untuk mencintai seseorang atau dicintai seseorang, ia terlalu takut untuk jatuh cinta. Ia terlalu takut untuk melangkah dan membuat komitmen, meskipun ia juga ingin seperti teman-temannya yang dirayakan oleh seseorang yang mencintainya dan ia cintainya.
Ada banyak bayangan mengenai dunia pernikahan yang tak membuatnya begitu menginginkan pernikahan itu sendiri, ia sadar jika memang tak semua pernikahan akan berakhir sama tapi tetap saja rasa takut dan cemas itu selalu menghantui Rania kemanapun ia pergi. Rasa itu begitu membelenggu Rania, tapi dia tidak tahu harus bagaimana, menemukan pria yang cocok dengannya rasanya itu hanya sebuah mimpi indah yang membuatnya tak ingin bangun dari tidurnya. Baginya, pernikahan bagaikan sebuah fatamorgana sebuah kemewahan yang rasanya begitu sulit dia dapatkan karena rasa ketidakpercayaannya pada hal apapun, termasuk cinta dan pria.
Sampai pada suatu hari, ketika ia bertemu dengan teman-temannya dan banyak mengobrol hal-hal mengenai kehidupan mereka masing-masing. Salah satu teman Rania mencoba untuk mengenalkannya pada temannya yang memiliki ketertarikan pada Rania ketika temannya itu memposting foto mereka di akun instagram.
“Gimana Ran?” tanya Aluna hati-hati
“Um, mungkin aku mau minta CV-nya dia dulu ya Lun.” Ucap Rania
“Siap, nanti aku bilangin ke Raihannya ya.” Ucap Aluna
“Bismillah ya Ran, semoga ini yang terbaik menurut Allah.” Ucap Keira
“Iya aamiiin allahumma aamiiin.” Ucap Rania
Sepulangnya ia dari bertemu dengan teman-temannya ada sedikit kekhawatiran dalam dirinya, apakah langkah yang ia buat itu memang yang tepat atau tidak, apakah ini memang sudah waktunya ia bertemu dengan imam yang dibutuhkannya itu, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang membuatnya semakin meragukan dirinya sendiri. Setibanya di rumah, ia merebahkan tubuhnya dan menghela napas panjang berkali-kali, ia masih saja merasa ragu dengan keputusannya itu bahkan ia sempat berpikir untuk membatalkan pertukaran CV ta’arufnya dengan pria bernama Raihan itu. Tapi di sisi lain, ia mencoba untuk berpikir positif dan optimis jika memang ini sudah jalannya.
Rania yang belum pernah pacaran apalagi dekat dengan pria membuatnya merasa jika dia tak layak untuk menerima cinta dari orang lain. Rania lantas beranjak dari ranjangnya dan menyiapkan bahan ajar untuk besok ia mengajar sembari mengalihkan pikiran-pikiran negatifnya tentang obrolan tadi sore. Keesokkan harinya, saat jam istirahat Rania mendapat pesan dari Aluna dengan mengirimkan CV ta’aruf dari Raihan dan juga mengatakan pada Rania untuk berhati-hati dan jangan gegabah dalam memutuskan segala sesuatunya.
Rania lalu membuka file CV ta’aruf milik Raihan itu, ia membaca kata demi kata yang dituliskan Raihan di CV tersebut. Semburat senyum terlihat menghiasi wajah Rania tatkala ia melihat bagian visi misi dan juga rencana setelah menikah milik Raihan, ia merasa ada kesamaan dari visi misi juga rencana hidup setelah menikah. Ada secercah keyakinan pada diri Rania jika memang Raihan memang pria yang tepat dan imam yang dibutuhkan olehnya.
*****