Loading...
Logo TinLit
Read Story - Imajinasi si Anak Tengah
MENU
About Us  

Januari 2025

 

Tahun baru belum genap seminggu berjalan, dan dugaannya tak meleset. Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari bersinar cukup terik dari balik jendela kantor. Seolah sinarnya enggan menyapa hati Tara yang mulai retak. Di mejanya yang biasa, Tara menerima selembar kertas dalam map putih polos. Tak ada ornamen, tak ada basa-basi. Hanya satu kalimat formal yang bergema panjang di pikirannya:

Surat Pemberhentian Kerja – Tara Aksara.

Dunia seolah berhenti sejenak. Napasnya tercekat. Ia menahan tangis di balik layar komputer yang belum dimatikan, matanya menyusuri wajah Awan yang duduk berseberangan.Seperti biasa, seolah tak ada yang berubah, padahal segalanya berubah.

Sorot getir itu tak bisa berbohong. Awan tahu. Dan lewat gerak bibirnya yang tanpa suara, ia berkata, "Gak apa-apa." Namun, kedekatan mereka yang tersembunyi membatasi segala pelukan, membungkam setiap kata penghibur.

Siang hari, sebuah pesan WhatsApp masuk. Tara diminta ke ruang HRD. Langkahnya terasa berat, seperti melangkah di atas kenangan yang belum selesai. Ia tahu, ini bukan sekadar perpisahan dari sebuah tempat kerja. Ini adalah akhir dari perjuangan yang diam-diam ia banggakan.

"Aku mau minta maaf sebagai HRD dan mewakili perusahaan ya, Ra," ucap Kak Ratu sambil menyambutnya dengan nada suara yang lembut, nyaris iba.

Tara menatapnya, tidak ingin pulang dengan diam dan tanda tanya.

"Selama bekerja di sini, Tara ada salah apa ya, Kak?"

Kak Ratu menghela napas.

"Kamu gak ada salah apa-apa, dan pemberhentian kamu pun karena efisiensi, dan memang untuk sementara waktu ini posisi admin sales lagi gak dibutuhkan banget karena sales pun hanya sisa lima orang. Yang pasti, bukan karena kinerjamu buruk."

Tara mengangguk pelan. Hatinya tak sepenuhnya tenang, tapi kalimat itu cukup untuk menenangkannya sementara. Selama dua tahun di Scentura, ia tahu betul, ia tak pernah main-main dengan tugasnya.

"Aku yakin kok, Ra. Kamu pasti bisa dapat tempat yang lebih baik dari sini."

Kalimat perpisahan dari Kak Ratu itu terasa seperti doa yang dititipkan.

Dan Tara tahu, mau tidak mau, siap atau belum, ia harus bisa. Ia kembali ke ruangannya dengan kepala tegak, lalu melanjutkan pekerjaannya. Sampai akhir, ia ingin tetap melakukan yang terbaik.

Awan memperhatikannya, lebih dari biasanya. Matanya mengirim sinyal kepedulian, dan dari bibirnya, Tara membaca: "Jangan nangis."

Tara tersenyum tipis. Ia mengangguk, pura-pura tegar, walau hatinya tak sebening senyumnya. Namun di tengah semua kegetiran itu, sebuah pesan masuk:

| "Perjalanan masih panjang, kamu sudah melakukan yang terbaik. Semangat ya. Nanti kita beli cokelat dan es krim."

Tara tertawa kecil, seperti anak kecil yang dihibur dengan permen. Kadang, cinta yang sederhana pun bisa membuat luka lebih ringan.

 

                                    ***

 

Langit senja tampak pucat ketika Tara turun dari motor setelah diantarkan Awan sampai rumah dengan selamat. Suara azan magrib menggema dari surau kecil di ujung jalan. Ia berjalan pelan, membawa langkah yang terasa lebih berat daripada biasanya. Di dalam tasnya ada map putih. Map yang kini lebih mirip simbol kekalahan daripada sekadar tempat kertas.

Begitu memasuki rumah, aroma tumisan ibunya menyambut hangat. Sesekali terdengar suara tawa dari ruang tengah, adiknya sedang menonton acara komedi. Semua tampak biasa. Semua berjalan seperti tak ada yang berubah, padahal dunia Tara sedang runtuh pelan-pelan dari dalam.

Ia menaruh tasnya, lalu duduk di meja makan sambil menatap kosong. Tak ada yang ia ucapkan. Hanya diam. Ibunya datang dengan semangkuk sayur dan langsung menyadarinya.

"Kamu kenapa, Ra?" suara ibu lembut, tapi tegas. Seperti tahu, ada sesuatu yang salah.

Tara diam sebentar. Lalu mengangkat wajahnya, berusaha tersenyum, meski mata sudah berkaca-kaca.

"Aku… diberhentikan dari kantor, Bu."

Kalimat itu meluncur seperti bisikan. Tapi cukup untuk membuat seisi ruang menjadi hening. Adiknya yang tadinya menonton langsung menoleh, Ayahnya mematikan TV, dan ibu menatapnya dengan mata yang tiba-tiba penuh cemas.

"Kenapa bisa?" tanya Ayah singkat.

"Efisiensi, kata HRD. Bukan karena salahku. Aku gak salah apa-apa."

Ayah mengangguk pelan. Wajahnya datar, tapi nadanya ringan, seperti tak ingin menambah beban.

"Ya sudah, gak apa-apa. Nanti bisa cari kerjaan lagi kok."

Kalimatnya sederhana, tapi justru itu yang membuat Tara ingin menangis lebih keras. Mungkin karena ia berharap dihakimi, tapi justru diberi kelegaan. Ia menangis, kali ini tak ditahan. Ibu langsung merangkulnya, mengusap punggungnya perlahan.

"Gak apa-apa gak usah nangis, kak Dira juga pernah kena PHK tapi akhirnya dapat tempat yang lebih baik kok."

Adiknya datang menghampiri, membawa sekotak tisu, meski ia hanya diam dan tak tahu harus berkata apa. Tapi kehadirannya cukup untuk menenangkan sedikit luka di dada Tara.

Malam itu, mereka makan bersama dalam diam yang hangat. Tak banyak kata, tapi cukup banyak pengertian. Tara tahu, ia tak sendiri. Ia tahu, kehilangan pekerjaan memang menyakitkan, tapi kehilangan harapan jauh lebih berbahaya.

Dan malam itu, harapannya tumbuh kembali; dari tangan ibu yang mengelus punggungnya, dari sikap ayah yang meski tenang tapi memberi ruang, dari tawa kecil adiknya yang berusaha membuatnya tersenyum di sela-sela kesedihan.

 

                                    ***

 

Bulan Januari menjadi bulan terakhir Tara bekerja di PT Scentura Group. Dua tahun. Bukan waktu yang sebentar. Di sana, ia belajar lebih dari sekadar tugas admin. Ia belajar bertahan. Belajar menjadi bagian dari sesuatu. Belajar menjadi kuat.

Ia mengingat tawa yang melingkupi ruangan kecil itu. Mengingat waktu-waktu mereka menyelinap menonton film dengan infocus yang dipinjam diam-diam. Mengingat Pop Mie yang jadi pengganjal lapar saat gaji belum turun. Mengingat tangan-tangan yang menggenggam pundaknya saat ia diserang panik tanpa aba-aba.

Semuanya terasa cepat. Terlalu cepat.

Kini, ia kembali berdiri di garis start. Kembali menjadi pengangguran, lagi. Namun, Tara berharap kali ini, jalannya tak akan sesulit dulu.

Selamat tinggal, Scentura. Terima kasih untuk cinta dan ceritanya. 

 

                                     ***

 

Selama di rumah, Tara kembali fokus menyentuh Lukisan Tanpa Warna, cerita yang sempat ia tinggalkan beberapa waktu lalu. Ceritanya terhenti di bab dua puluh, terjebak di antara jeda dan kehilangan, sementara para pembacanya mulai mempertanyakan kelanjutan kisah. Namun di antara pertanyaan-pertanyaan itu, Tara merasa sedikit lega. Ia mencoba melihat sisi terang dari pemutusan kerja yang mendadak barangkali ini memang waktu yang tepat untuk memberi ruang pada mimpinya. Mimpi yang ia rawat dalam diam, dalam kesendirian, dalam tumpukan draft yang sering diabaikan karena jam kantor yang padat.

Mungkin, ini adalah waktu untuk menoleh kembali pada apa yang benar-benar dicintainya.

Di bulan Maret, kabar lain datang, Awan juga diberhentikan dari Scentura. Kini yang tertinggal di kantor itu hanya orang-orang bagian atas, mereka yang menyandang status sebagai 'penting'. Awan bercerita bahwa Scentura berencana menghentikan lini parfum yang selama ini menjadi ciri khasnya. Perusahaan itu ingin memulai sesuatu yang baru: produk baru, arah baru, dan seperti biasa, yang harus lebih dulu terhapus adalah mereka yang dianggap bisa digantikan.

Siang itu, ketika Tara tengah mengedit ulang beberapa paragraf Lukisan Tanpa Warna, pesan dari Awan muncul di WhatsApp:

| "Ra, aku ditawarin kerja di tempat Om aku.

| "Om aku nawarin kerja di tempat dia. Katanya lagi butuh tambahan staff IT."

Tara diam sejenak sebelum membalas. Jarak Jakarta dan Bogor memang tak jauh, tapi tetap saja hatinya terasa mengkerut sedikit. Mereka memang masih bersama, tapi ia tahu, akan ada jeda yang berbeda. Tidak ada lagi Awan di seberang meja. Tidak ada lagi lirikan-lirikan peduli yang membuatnya merasa tidak sendirian. Tapi, biar bagaimanapun Tara jelas ikut senang jika lelaki itu tak perlu lama-lama menyandang status pengangguran.

| "Kapan kesananya?" 

Awan membalas cepat.

| "Senin Ra. Mendadak si, tapi kata Om aku juga harus ada masa pembelajaran dulu." 

| "Kamu gimana? Udah ada panggilan interview kah?" 

Tara merenung, bulan maret hampir memasuki tanggal-tanggal akhir, tapi kini ia masih setia menyandang status pengangguran. Dua hari lalu ketika Tara membuka aplikasi instagramnya, berita badai PHK terjadi di mana-mana, banyak hotel dan supermarket ditutup. Tara tak menyangka bahwa tahun 2025 ini ternyata membawa mendung ke seluruh penjuru. 

| "Belum. Doain aku ya." 

| "Pasti Ra. Semangat terus ya, dan jangan berhenti menulis." 

Tara tersenyum. Ia tahu Awan tak pernah berhenti mendukungnya, bahkan dalam keterbatasan, bahkan saat mereka tak bisa saling menggenggam. Tapi cinta memang tak selalu butuh pelukan, kadang cukup lewat kata-kata yang datang di saat paling sunyi.

Tara meletakkan ponselnya dan menatap layar laptop. Halaman kosong di hadapannya bukan lagi beban, tapi janji. Ia mulai mengetik pelan, bab dua puluh satu dari kisah yang pernah ia tinggalkan.

Dan di sela-sela tiap kalimat yang ia susun, ada semangat baru. Karena meski Awan tak lagi di sisinya setiap hari, Tara tahu… jarak tak akan pernah benar-benar memisahkan dua hati yang saling percaya.

 

                                    ***

 

23 Maret 2025

Bagi sebagian orang, Maret hanyalah penghubung antara Februari yang pendek dan April yang mulai menghangat. Tapi bagi Tara, Maret adalah halaman penting dalam hidupnya. Sebuah bulan yang menyimpan makna, bukan hanya karena ia lahir di bulan itu, tetapi karena setiap tahun di tanggal yang sama, ia selalu merasa sedikit lebih hidup. Sedikit lebih berarti.

Tahun ini tak terkecuali.

Begitu tanggal 23 tiba, ponsel Tara mulai berbunyi tanpa henti. Grup WhatsApp yang dulunya dipenuhi diskusi kerjaan dan tumpukan deadline, kini berubah menjadi lautan ucapan selamat ulang tahun. Teman-teman satu ruangannya di Scentura, yang kini terpisah oleh nasib dan waktu, mereka masih ingat hari ini.

Satu per satu pesan masuk.

| "HBD Taraaa! Panjang umur, sehat terus, semoga naskahnya cepet kelar dan diterbitin yaa!"

| "Selamat ulang tahun, Tar! Ditunggu traktirannya, meski kita udah nggak sekantor, hehe."

| "HBD Tara cantik. Semoga semua mimpimu makin dekat, Tara! Kangen ngobrol di pantry!"

Tara membaca semuanya dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Doa-doa itu ia aminkan dalam hati. Sederhana, tapi hangat. Seolah semesta sedang memeluknya lewat kata-kata.

Lalu pesan dari Awan yang masuk begitu panjang, dari jam 00.00 dini hari. 

| "Ra… happy birthday ya."

| "Udah jam 12 nih. Selamat ulang tahun untuk pacar aku yang paling aku sayang."

| "Semoga tahun ini kamu makin deket sama semua hal yang kamu impiin."

| "Jangan ragu lagi ya sama diri kamu, kamu tuh hebat banget, Ra."

| "Aku bangga punya kamu. Makasih udah mau terus sama aku."

| "I love you."

Tara membacanya sambil senyum-senyum sendiri. Ia membalas cepat:

"Ya ampun… aku nangis bacanya."

"Makasih ya, Mas. Makasih banget. Kamu nggak pernah telat bikin aku ngerasa dihargai."

"Aku juga sayang kamu."

Tak lama, Awan membalas lagi:

| "Jangan nangis dong, Ra. Harusnya seneng hari ini kan kita mau ketemu, aku udah reservasi tempat nih buat nanti malam."

Tara menutup mulutnya yang terbuka lebar, terlalu terkejut dan bahagia rasanya. 

| "Seriusan? Kamu pulang cuma buat aku? Aaaa seneng banget!!!!"

| "Serius! Sampai ketemu nanti ya." 

Tara menutup obrolan itu dengan hati yang berbunga-bunga. Rasanya, ulang tahun kali ini mungkin bukan yang paling mewah, tapi jelas yang paling hangat. Dan malam ini, ia akan merayakan segalanya, ulang tahunnya, tulisannya, dan seseorang yang selalu hadir, bahkan di saat paling sepi.

 

                                     ***

 

Malam itu, udara kota masih menyisakan hembusan yang lembut. Tara duduk di belakang motor hijau Awan, membiarkan angin malam menyapu rambutnya pelan. Lampu-lampu jalanan menyala seperti bintang-bintang yang turun ke bumi, dan di tengah semua itu, tawa mereka menyatu dengan riuhnya kota.

"Kerjaanku di Bogor nggak seseru waktu di Scentura," kata Awan, suaranya sedikit tertahan helm.

Tara tertawa kecil, mencondongkan tubuh sedikit ke depan, "Tapi masih mending daripada kamu nganggur dan tiap hari ngeluh di WA. Padahal baru seminggu aja nganggur."

"Hei! Aku nggak ngeluh tiap hari…" Awan membela diri.

"Ya, hampir tiap hari," sahut Tara, makin geli.

Awan tertawa. Motor mereka melaju perlahan, menepi di depan sebuah kafe kecil yang lampunya temaram namun hangat. Bukan tempat besar, tapi cukup menarik perhatian. Nuansa minimalis, dengan jendela kaca besar dan lampu gantung bulat yang menciptakan kesan estetik.

"Aku suka tempatnya," kata Tara sambil turun dari motor.

"Aku tahu kamu bakal suka," jawab Awan dengan percaya diri.

Mereka masuk ke dalam, dan benar saja, reservasi Awan menempatkan mereka di meja paling nyaman: dekat jendela, menghadap ke jalan, dikelilingi oleh tanaman dalam pot kecil dan cahaya lampu kuning yang lembut. Tara duduk dengan tatapan penuh senyum. Malam ini rasanya begitu ringan, tanpa beban.

Mereka memesan makanan berat: spaghetti, nasi butter chicken, dan juga beberapa dessert manis seperti lava cake dan es kopi susu untuk Awan, serta matcha latte favorit Tara.

Tak lama kemudian, dua pelayan datang menghampiri. Yang satu membawa nampan berisi makanan dan meletakkannya perlahan di meja. Yang satu lagi, membawa sesuatu yang tak biasa.

Tara baru saja akan meraih sendok ketika dia melihat satu pelayan lain meletakkan sebuah bucket bunga besar di samping piringnya, lengkap dengan boneka kecil berhoodie lucu di pelukannya.

Tara terdiam sejenak. Lalu matanya membelalak. "Hah?!"

Awan menahan tawa sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi, menikmati ekspresi Tara yang berubah total.

"Ini... ini buat aku?" tanya Tara masih bengong.

"Bukan, itu buat pelayan di belakang kamu. Kamu kira kamu doang yang ulang tahun hari ini?" goda Awan santai.

Tara melemparkan tatapan sebal dan pukulan kecil "Apasi…"

Awan akhirnya mengangguk, "Iya, buat kamu. Aku tahu kamu suka boneka yang pakai hoodie, jadi aku cari yang paling mirip sama yang kamu tunjuk waktu itu. Dan bunga... ya, itu wajib."

Tara hampir meloncat dari kursinya saking senangnya. Tangannya refleks memeluk boneka kecil itu, lalu menatap bunga yang cantik dalam diam penuh syukur.

"Aku suka banget. Makasih ya…" katanya pelan, matanya berbinar.

Awan mengusap kepala Tara perlahan. "Selamat ulang tahun, Ra. Aku tahu tahun ini berat, tapi kamu tetap bisa tersenyum sekuat ini. Aku bangga."

Malam itu mereka makan dengan hati yang hangat. Tak perlu tempat mewah, tak perlu pesta besar. Hanya cinta yang tumbuh perlahan, dan kejutan kecil yang terasa besar di hati Tara.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (17)
  • yuliaa07

    real anak tengah sering terabaikan tanpa ortunya sadarii

    Comment on chapter Bagian 4: Sebuah Kabar Baik
  • pradiftaaw

    part damai tapi terjleb ke hati

    Comment on chapter Bagian 18: Teman yang Bernama Cemas
  • langitkelabu

    tidak terang tapi juga tidak redup:)

    Comment on chapter PROLOG
  • jinggadaraa

    gak cuman diceritain capeknya anak tengah ya, tapi juga ada selip2an anak sulung dan bungsunya:) the best cerita ini adil

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rolandoadrijaya

    makasih Tara sudah kuat, makasih juga aku

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rolandoadrijaya

    gimana gak ngalamin trauma digunjang gempa sendirian:('(

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rayanaaa

    seruu banget

    Comment on chapter EPILOG
  • rayanaaa

    Oke, jadi Tara itu nulis kisahnya sendiri ya huhuu

    Comment on chapter EPILOG
  • auroramine

    ENDING YANG SANGAT MEMUASKAN DAN KEREN

    Comment on chapter EPILOG
  • jisungaa0

    nangis banget scene inii

    Comment on chapter Bagian 30: Renungan
Similar Tags
Premium
Inisial J (500 Tahun Lagi Kita Bertemu) (Sudah Terbit / Open PO)
4246      1306     0     
Romance
Karena muak hidup dalam bayang kemiskinan dan selalu terhina akhirnya Jo terjerumus ke jalan kegelapan Penyelundupan barang mewah pembunuhan berkolusi dengan para politikus kotor dan segala jenis kejahatan di negara ini sudah pasti Jo terlibat di dalamnya Setelah menjalani perjodohan rumit dengan sahabat masa kecil yang telah lama berpisah itu akhirnya Nana menerima lamaran Jo tanpa mengetahui...
To The Girl I Love Next
404      283     0     
Romance
Cinta pertamamu mungkin luar biasa dan tidak akan terlupakan, tetapi orang selanjutnya yang membuatmu jatuh cinta jauh lebih hebat dan perlu kamu beri tepuk tangan. Karena ia bisa membuatmu percaya lagi pada yang namanya cinta, dan menghapus semua luka yang kamu pikir tidak akan pulih selamanya.
Mutiara -BOOK 1 OF MUTIARA TRILOGY [PUBLISHING]
13908      2822     7     
Science Fiction
Have you ever imagined living in the future where your countries have been sunk under water? In the year 2518, humanity has almost been wiped off the face of the Earth. Indonesia sent 10 ships when the first "apocalypse" hit in the year 2150. As for today, only 3 ships representing the New Kingdom of Indonesia remain sailing the ocean.
Secret Love
348      234     3     
Romance
Cerita ini bukan sekedar, cerita sepasang remaja yang menjalin kasih dan berujung bahagia. Cerita ini menceritakan tentang orang tua, kekasih, sahabat, rahasia dan air mata. Pertemuan Leea dengan Feree, membuat Leea melupakan masalah dalam hidupnya. Feree, lelaki itu mampu mengembalikan senyum Leea yang hilang. Leea senang, hidup nya tak lagi sendiri, ada Feree yang mengisi hari-harinya. Sa...
Pensil HB dan Sepatu Sekolah
59      56     0     
Short Story
Prosa pendek tentang cinta pertama
Di Bawah Langit Bumi
2348      910     87     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
A promise
560      360     1     
Short Story
Sara dan Lindu bersahabat. Sara sayang Raka. Lindu juga sayang Raka. Lindu pergi selamanya. Hati Sara porak poranda.
MERAH MUDA
511      370     0     
Short Story
Aku mengenang setiap momen kita. Aku berhenti, aku tahu semuanya telah berakhir.
Premium
Dunia Leonor
110      95     3     
Short Story
P.S: Edisi buku cetak bisa Pre-Order via Instagram penulis @keefe_rd. Tersedia juga di Google Play Books. Kunjungi blog penulis untuk informasi selengkapnya https://keeferd.wordpress.com/ Sinopsis: Kisah cinta yang tragis. Dua jiwa yang saling terhubung sepanjang masa. Memori aneh kerap menghantui Leonor. Seakan ia bukan dirinya. Seakan ia memiliki kekasih bayangan. Ataukah itu semua seke...
Me & Molla
546      323     2     
Short Story
Fan's Girl Fanatik. Itulah kesan yang melekat pada ku. Tak peduli dengan hal lainnya selain sang oppa. Tak peduli boss akan berkata apa, tak peduli orang marah padanya, dan satu lagi tak peduli meski kawan- kawannya melihatnya seperti orang tak waras. Yah biarkan saja orang bilang apa tentangku,