Awal Tahun 2024
Hari itu, PT Scentura Group mengadakan meeting besar-besaran. Hadir dalam ruangan rapat yang cukup megah: HRD, tim finance, direktur, para sales, tim iklan, dan Tara sebagai admin penjualan.
Pak Dimas, direktur utama perusahaan, membuka rapat dengan nada yang serius. Ia menjelaskan bahwa dalam lima bulan terakhir ini, penjualan atau pemasukan dana perusahaan mengalami penurunan drastis hampir 70%. Suasana dalam ruangan langsung terasa tegang.
Tara sebagai admin yang merekap seluruh data penjualan, bersama Kak Indah dari tim finance, diminta maju untuk mempresentasikan hasil laporan mereka dengan bantuan infocus yang menyorot ke papan putih besar.
Sebelum maju, mereka sempat berdebat kecil karena laporan mereka berselisih beberapa juta rupiah. Namun, Pak Dimas memutuskan untuk tetap memulai presentasi terlebih dahulu. Wajah Pak Dimas yang biasanya terlihat santai dan loyal, kini berubah masam dan serius. Hal itu membuat Kak Indah mendadak menjuteki Tara.
Tara tahu betul, laporan bulan terakhir ini belum ia cocokkan sepenuhnya dengan laporan dari finance. Tapi itu bukan karena lalai. Sebagai admin sales, Tara memang harus terlebih dulu menyamakan data dengan laporan tim sales agar tidak terjadi selisih angka. Setelah data itu rampung, barulah ia akan mengonfirmasi keuangan dengan finance. Namun, meeting yang mendadak ini membuatnya belum sempat merampungkan seluruh proses itu. Dan ia merasa kurang maksimal.
Meski gugup, Tara tetap maju ke depan bersama Kak Indah.
Kak Indah memulai presentasi lebih dulu. Dalam laporannya, ia menyampaikan bahwa total pemasukan dua bulan terakhir adalah sekitar Rp538 juta. Pak Dimas mengulang pertanyaan dua hingga tiga kali, memastikan bahwa angka itu sudah final. Kak Indah mengangguk yakin dan percaya diri.
Lalu giliran Tara. Ia memperbesar tampilan file Excel-nya dan menunjuk angka akhir: Rp523 juta. Pak Dimas menatap layar, kemudian menatap Tara.
"Kenapa, Ra? Kok bisa selisih dengan laporannya Indah?"
Tara menelan ludah. Panik menjalar dari dada sampai ke jemarinya. Tapi ia menenangkan diri, lalu menjawab pelan namun pasti.
"Maaf sebelumnya, Pak. Tara memang ada niat mau menyamakan laporan Tara dengan Kak Indah hari ini, karena hasil pencocokan data dengan seluruh tim sales baru selesai kemarin. Dan meeting hari ini juga mendadak, jadi Tara belum sempat finalisasi dan cocokkan ke bagian finance."
Pak Dimas mengangguk-angguk. Ia tampak memahami alasan Tara yang ingin teliti dan tidak asal menyamakan angka tanpa dasar yang jelas.
"Sore ini, setelah dicocokkan dengan Indah, kirim ke saya via WhatsApp ya, Ra," ujar Pak Dimas akhirnya.
Tara mengangguk lega. Ia dan Kak Indah kembali ke tempat duduk saat infocus dimatikan. Kini giliran divisi sales yang menjadi sorotan.
Pak Dimas menatap mereka, sepuluh orang dalam tim itu, terdiri dari lima account executive dan lima customer service. Semuanya menunduk saat Pak Dimas bersuara lagi.
"Saya mau dengar dari kalian. Kenapa penghasilan yang tahun sebelumnya bisa sampai satu miliar per bulan, sekarang turun drastis begini?"
Kak Cia, kepala tim sales, mengangkat tangan. "Izin menjelaskan, Pak," katanya tegas.
"Aku sudah dengar beberapa keluhan dari tim, juga aku alami sendiri. Pertama, banyak klien bilang aroma parfum kita makin ke sini makin nggak tahan lama. Kedua, mereka keberatan dengan MOQ maklon yang masih di angka 5.000 pcs. Dan ketiga, keluhan soal lamanya waktu produksi sampai barang diterima, itu cukup lama. Klien-klien pengennya lebih cepat, Pak."
Pak Dimas masih belum puas. "Terus, gimana cara kalian jelaskan dan yakinkan klien? Prosedurnya masih sama seperti dulu kan?"
Salah satu sales lain, Santi, ikut angkat tangan. "Aku udah coba jelaskan, Pak. Tapi klien tuh udah kecewa duluan. Katanya aroma nggak sekuat dulu, packaging juga nggak ada peningkatan. Mereka pengen sesuatu yang baru, Pak."
Pak Dimas mengangguk pelan. "Kalau soal aroma, nanti saya tanya ke tim produksi ya. Kita cari tahu masalahnya."
Meeting akhirnya ditutup sekitar tiga puluh menit kemudian.
Setelahnya, Tara kembali ke tempatnya dan mulai fokus memperbaiki laporan. Ia harus naik ke lantai dua nanti, bertemu Kak Indah, dan mencocokkan data mereka. Di tengah kesibukannya, ia mendengar obrolan dari dua rekannya di divisi customer service: Nura dan Putri.
"Kita tuh udah usaha, Put," keluh Nura. "Narikin klien, bujukin... tapi kan hasil nggak sepenuhnya di kita."
Putri mengangguk lesu. "Iya. Bulan ini penjualanku paling kecil dari semua CS. Pusing banget rasanya."
Lalu tiba-tiba, Nura menepuk pundak Tara. "Kamumah enak, Ra. Nggak dihadapi target."
Tara tersenyum kecil, menoleh ke mereka. "Sama aja kok. Aku juga dikejar target deadline laporan. Tapi ya... sabar ya. Kalian pasti bisa kok."
Kalimat sederhana itu, meski ringan, sedikit menghangatkan suasana hati mereka yang lelah.
***
Tara menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berdiri dari kursinya. Laptopnya ia lipat pelan, lalu ia raih file laporan cetaknya. Kakinya melangkah menuju tangga menuju lantai dua, tempat ruang finance berada. Setiap anak tangga yang ia naiki terasa berat, bukan karena lelah, tapi karena ada sedikit rasa tidak nyaman dalam hatinya. Ia tahu, sejak tadi pagi Kak Indah terlihat tidak ramah padanya.
Sesampainya di lantai dua, Tara mengetuk pelan pintu ruang finance yang setengah terbuka.
"Permisi, Kak."
Kak Indah menoleh dari balik meja kerjanya, lalu kembali menatap layar monitor. "Masuk aja."
Tara melangkah pelan masuk. Ia mendekat sambil tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Aku udah bawa datanya, Kak. Kayaknya kita bisa mulai cocokkan dari bulan Desember dulu."
Kak Indah tak langsung menjawab, ia membuka folder di mejanya, lalu menyerahkan satu lembar salinan laporan ke Tara. "Nih. Yang paling beda nilainya, bulan Desember dan Januari. Kita cocokin dari situ dulu aja."
Tara duduk di kursi seberang meja, meletakkan laptopnya, lalu mulai membuka file Excel-nya. Ia menyesap udara, mencoba menetralisir ketegangannya.
"Oke, Kak. Ini untuk bulan Januari, aku masukin data dari penjualan sales yang baru aku rampungin kemarin sore, ada tambahan dari penjualan via marketplace juga, yang sepertinya belum sempat aku info ke Kakak."
Kak Indah mengerutkan kening. "Marketplace? Yang dipegang si Amel itu kan?"
"Iya. Data dari dia baru aku terima dua hari lalu. Makanya aku belum sempat cocokkan dengan laporan dari Kakak."
Kak Indah diam sejenak, lalu memutar layar monitornya sedikit agar Tara bisa melihat. "Di laporan aku, dana masuk dari marketplace itu cuma Rp 30 juta. Di kamu berapa?"
Tara mengetik cepat, lalu menunjuk ke layar laptopnya. "Rp 42 juta. Jadi kemungkinan ada yang belum diinput ke sistem finance. Kayaknya yang transfer via e-wallet belum tercatat, karena kemarin sales juga bilang itu sempat terpisah pencatatannya."
Kak Indah terdiam. Wajahnya perlahan mencair dari yang tadinya jutek jadi lebih fokus. Ia mencomot kalkulator, menghitung cepat, lalu mengangguk pelan.
"Ya, bisa jadi benar juga. Kayaknya akunnya si Amel juga belum semua link ke database utama."
Tara mengangguk. "Nah, makanya aku belum berani tentukan final report tadi pagi. Aku takut ada selisih kayak gini. Tapi sekarang kalau kita rekap totalnya bareng-bareng, hasilnya bisa jadi sama."
Kak Indah menepuk jidat. "Yah, berarti tadi hasil akhirku juga belum tepat, Ra. Duh mana udah yakin banget kasih tahu Pak Dimas."
"Gak apa-apa kak, kita benarkan bareng-bareng sekarang," jawab Tara berusaha menenangkan.
Beberapa menit kemudian, setelah mencocokkan satu per satu, hasil akhirnya menunjukkan angka yang sinkron. Kak Indah menghela napas dan bersandar di kursinya.
"Maaf ya, Ra. Tadi pagi aku jutek. Aku tuh juga lagi tegang sama laporan akhir tahun dan revisi pajak."
Tara tersenyum lega. "Gak apa-apa kok, Kak. Aku juga ngerti tekanan Kakak pasti gede banget."
Keduanya tertawa kecil. Ketegangan tadi pagi akhirnya menguap. Tara berdiri, siap kembali ke meja kerjanya. Sebelum keluar ruangan, ia sempat menoleh.
"Kak, nanti sore ngopi bentar yuk di bawah. Aku traktir, buat penebusan pagi tadi."
Kak Indah tersenyum kecil. "Deal."
Dan Tara pun melangkah pergi, kali ini dengan langkah yang lebih ringan.
***
Sore harinya, dua jam sebelum jam pulang— Tara langsung mengirimkan laporan revisi yang telah dicocokkan dengan Kak Indah ke WhatsApp Pak Dimas. Ia memastikan semua angka sudah sinkron dan tidak ada lagi selisih, setelah mereka berdua membandingkan dengan teliti hasil data masing-masing.
Sebelum mengirim, Tara menambahkan sedikit keterangan di akhir file:
"Selamat Sore Pak. Laporan penjualan bulan terakhir sudah disesuaikan dengan data dari tim sales dan finance, mohon dicek kembali apabila masih ada yang perlu direvisi. Terima kasih atas arahannya, Pak."
Beberapa menit kemudian, Pak Dimas membalas dengan singkat, "Oke, sudah saya terima. Good job."
Tara menghela napas lega. Walau sederhana, balasan itu cukup membuat hatinya tenang. Setidaknya ia tahu, pekerjaannya hari ini sudah selesai dengan baik. Setelah menutup laptop, Tara melirik ke arah jendela. Langit mulai temaram, tapi dadanya perlahan terasa lebih lapang.
relate banget, gak berlebihan cerita ini (emot nangis)
Comment on chapter PROLOG