Hari-hari di kantor berlalu seperti angin lewat dari jendela yang tak pernah benar-benar ditutup. Tara, dengan langkah-langkah kecilnya yang tenang, tak pernah menyangka bahwa seseorang diam-diam tengah menjadikan dirinya pusat perhatian.
Awan.
Pria itu bukan tipe yang banyak bicara, tapi matanya selalu lebih dulu menyapa. Tatapannya kerap hinggap di wajah Tara, sekilas, seperti tak sengaja. Namun terlalu sering untuk disebut kebetulan.
Awalnya, Tara mencoba menepisnya. "Mungkin hanya perasaan," bisiknya dalam hati. Tapi seiring waktu, perasaan itu justru berakar, menumbuhkan tanda tanya yang makin hari makin tak bisa ia abaikan.
Suatu siang, saat laporan kerjanya terasa janggal, Tara menoleh dan bertanya dengan suara lirih namun penuh percaya:
"Mas Awan, kamu punya katalog parfum kan?"
Awan mengangguk, menyimpan senyum kecil seperti jawaban itu telah ia siapkan jauh sebelum ditanya. "Ada," katanya ringan.
"Boleh aku minta? Untuk sempurnain laporanku."
"Boleh," balas Awan, lalu mengirimkan file itu lewat WhatsApp.
Tara kembali tenggelam dalam tugasnya, tak sadar bahwa ada sepasang mata yang kembali menatapnya, bukan karena tugas, tapi karena rasa yang belum bisa dinamai.
Saat waktu istirahat datang, Tara memperhatikan notifikasi dari nomor tak bernama. Setelah ragu beberapa saat, ia mengetik pelan-pelan: Mas Awan Scentura.
Sore itu langit seperti menunda malam. Tara berdiri di halte, menanti angkot yang entah kapan datang. Namun yang menghampirinya lebih dulu adalah suara itu, suara yang kini terasa akrab.
"Ra, rumahmu ke arah mana?"
Tara menoleh. Awan berdiri dengan motor vespa hijaunya, membuka bagasi dan mengulurkan helm seolah segalanya sudah direncanakan.
"Bareng aja yuk," katanya pelan, namun pasti.
Tara menolak dengan kikuk. "Eh, gak usah. Aku bisa naik angkot."
Namun Awan tersenyum. "Udah… santai aja. Aku pengin nganterin."
Ada sesuatu dalam caranya berkata yang membuat Tara tak sanggup menolak. Mungkin karena suara itu terasa jujur. Mungkin karena… ia ingin.
Dalam perjalanan, mereka sunyi. Tapi itu bukan keheningan yang membuat sesak, melainkan ruang. Ruang bagi suara hati untuk bernapas. Dan saat Awan mulai bercerita tentang pekerjaannya, tentang atasan, bahkan pedagang kaki lima di jalan, Tara mulai tertawa.
Tawanya ringan, tapi penuh. Seolah ada sisi dalam dirinya yang selama ini tertidur, kini terbangun perlahan.
Sejak hari itu, Awan menjadi nama yang tak lagi asing di hidup Tara. Seperti cat air yang tak sengaja menodai kanvas kosong, tapi justru membentuk warna yang tak pernah ia duga.
Dan di satu pagi yang sunyi, sebuah catatan kecil tertempel di monitor Tara:
"Semangat nulisnya. Jangan lupa selesaiin cerita tentang pelukis itu ya."
Tara menggenggam sticky note itu dengan hati yang sedikit bergetar. Ia menoleh. Awan sedang mengetik di mejanya, tapi matanya mencuri pandang, dan tersenyum.
Mungkin cinta datang seperti itu.
Bukan dalam parade besar, melainkan dalam keheningan yang menyentuh, dalam perhatian kecil yang tak diminta, dan dalam perjalanan pulang yang tak pernah sama lagi setelah itu.
***
Malam turun dengan sunyi yang bersahaja. Di kamarnya yang sederhana, Tara masih bergelut dengan kata-kata yang mencoba ia susun menjadi kisah. Hanya denting keyboard dan deru pelan kipas angin yang menemani. Namun, ketenangan itu mendadak patah oleh getar kecil dari ponselnya.
Satu notifikasi WhatsApp.
Nama itu muncul. Mas Awan Scentura.
Tara menghentikan tulisannya, lalu membuka pesan dengan hati-hati, seolah membuka pintu ke sesuatu yang belum ia kenal tapi sudah membuatnya penasaran.
| "Ra, boleh kasih rekomendasi gak? Buku novel yang bagus yang pernah kamu baca."
Alis Tara naik pelan. Sebuah pertanyaan sederhana, namun cukup untuk membuatnya heran. Ia mengetik cepat:
| "Ada, banyak malahan. Kamu mau yang genre apa?"
Beberapa detik kemudian:
| "Eemm, petualangan? Dan ada romance tipis-tipis? Semoga ada haha."
Tara menoleh ke rak bukunya yang berjejer tenang di sudut kamar. Jemarinya menyentuh beberapa judul yang familiar, lalu berhenti pada satu nama yang membuatnya tersenyum.
| "Ada. Mau pinjam atau mau aku spill judulnya aja?"
Tak ada balasan. Tara hanya mengangkat bahu, lalu kembali ke layar laptop. Tapi tiga puluh menit kemudian, dua pesan muncul bersamaan:
| "Kalau pinjam dibolehin kah sama yang punya?"
| "Sorry ya tadi habis dari luar sebentar, cari makan."
Tara membalas dengan cepat, tanpa banyak pikir.
| "Boleh lah, asal jangan dirusakin." [emot tertawa]
| "Sipp, janji gak akan dirusakin. Aku mau pinjam ya!"
Ada jeda sebelum ia kirimkan pesan selanjutnya. Tapi rasa penasaran memaksanya untuk bertanya:
| "Kamu suka baca buku juga?"
Balasannya datang lebih cepat dari yang diduga:
| "Nggak sih, cuma mau belajar suka apa yang kamu sukain aja."
Dan di situlah hati Tara bergetar. Sebuah kalimat yang terasa sederhana, tapi dalam. Tak ada metafora, tak ada permainan kata. Hanya niat yang tulus dan keberanian kecil untuk jujur.
| "Okeydeh, besok aku bawa."
| "Terima kasih."
Tak ada lagi percakapan malam itu. Tapi bagi Tara, satu kalimat itu telah cukup membuatnya menutup laptop dan diam menatap langit-langit. Entah kenapa, rasanya seperti bunga kecil baru saja tumbuh di dadanya.
***
Pagi harinya, Tara mengambil sebuah buku dari rak, buku itu bersampul coklat dengan huruf timbul yang megah: Konspirasi Alam Semesta. Ia mencintai buku ini, juga penulisnya. Fiersa Besari bukan hanya sekadar penulis, baginya ia adalah penyusun kata-kata yang mampu membungkus luka jadi pelajaran.
Ia benar-benar membawanya. Memasukkan buku itu ke dalam tas, seolah membawa bagian dari dirinya untuk ia pinjamkan.
Setibanya di kantor, ia langsung menghampiri Awan dan meletakkan buku itu di meja pria itu.
Awan menatap buku itu seperti seseorang menatap peta harta karun. Ia tersenyum, begitu hangat.
Namun, ternyata perhatian itu tak luput dari rekan-rekan kerjanya.
"Ada apa nih, tiba-tiba banget berbagi buku," goda Nura.
"Uhuk uhuk," suara batuk pura-pura dari arah meja sebelah membuat Tara menghela napas dalam hati.
"Kak Tara, ternyata diem-diem ya," Amel ikut menimpali, si pendiam yang jarang bicara kini justru yang paling lantang.
"Iya Ra iya, kita pandai jaga rahasia kok, tenang aja," Putri menambahkan sambil terkekeh.
Tara menunduk malu, menjelaskan sebisanya. Tapi Awan tampak santai saja, bahkan sempat tertawa kecil. Sikapnya yang tenang justru membuat situasi tak lagi terasa canggung, melainkan seperti momen kecil yang akan dikenang.
Jam kerja dimulai. Tara fokus menatap layar monitor, tetapi matanya sesekali mencuri pandang. Ia melihat Awan membuka halaman demi halaman buku itu, membacanya dengan sungguh-sungguh, seolah dunia sedang bicara langsung padanya dari balik kertas.
Untuk pertama kalinya, Tara melihat lelaki membaca dengan begitu fokus, dan entah mengapa… itu membuat hatinya berdesir.
Ia ingin mengabadikannya. Tapi belum sempat ia berpaling sepenuhnya, pandangan mereka bertemu.
Tara buru-buru mengalihkan pandang.
Gugup, tapi senang. Tak terucap, tapi terasa.
***
Di jam istirahat, sambil menyantap bekal sederhana dari rumah, Tara membuka WhatsApp. Tak ada pesan baru. Tapi sebuah story muncul di atas: Mas Awan Scentura.
Ia mengetuknya pelan.
Satu foto terpampang. Halaman dari buku yang ia pinjamkan. Halaman yang ia tahu, yang ia hafal.
Dan di sana, kutipan itu:
"Jatuh cinta tak pernah ada dalam rencana manusia, mangsanya bisa siapa saja."
Tara terdiam. Kutipan itu bukan hanya tertulis di buku tapi, kini terasa seperti ditujukan langsung padanya.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya, Tara sadar
Ada bab baru yang mulai ditulis. Bukan oleh dirinya sendiri, tapi oleh semesta yang pelan-pelan menyatukan dua manusia lewat hal-hal kecil. Buku, pesan larut malam, dan kutipan yang mengetuk jantung.
relate banget, gak berlebihan cerita ini (emot nangis)
Comment on chapter PROLOG