Suara bel istirahat terdengar nyaring memenuhi sekolah. Seakan membelah kesunyian ruang kelas yang sesaat lalu dipenuhi suara penjelasan guru. Sekar menutup bukunya perlahan, merapikan meja, dan menyimpan barang-barangnya di kolong meja. Kotak bekal ia keluarkan dari tas, lalu diletakkan dengan hati-hati di atas meja yang penuh coretan kecil, jejak dari hari-hari sekolah yang tak pernah benar-benar hening.
"Kar, lo bawa makan juga?" tanya Fani, teman sebangkunya, dengan nada setengah putus asa.
Sekar menoleh, menatap wajah Fani yang mendadak lesu. Mungkin karena baru sadar bahwa hanya dirinya yang tak membawa makanan siang ini.
"Kok kalian semua tega nggak ngabarin gue sih buat bawa makan? Ahh, nggak asik," rengeknya.
"Yee lu yang nggak buka grup. Makanya perhatiin! Gue udah bilang di sana, hari ini bawa makan dari rumah," sahut Ana dari pojok kelas, rambutnya dikuncir kuda seperti biasa.
"Tau nih, lu yang sotoy," tambah Sekar sambil tertawa, memancing gelak dari yang lain.
Fani hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Malu, tapi tetap tersenyum. Akhirnya dia berdiri dari kursinya.
"Yaudah deh, tungguin gue ya. Gue ke kantin dulu beli nasi."
Yang lain menjawab serempak dengan tawa dan teriakan, membuat ruang kelas kembali ramai oleh suara yang ringan dan hidup.
Waktu istirahat yang satu jam itu terasa seperti remah-remah kecil dari kehidupan yang lebih luas. Dua puluh menit mereka habiskan untuk makan dan mengobrol; tentang tugas yang belum selesai, tentang berenang esok hari saat pelajaran olahraga, tentang Pak Kinclong yang rambutnya tak pernah tumbuh, sampai cerita horor karangan sendiri tentang toilet sekolah yang katanya angker.
Setelah makan, Sekar berdiri dari tempat duduknya.
"Lu mau ke mana, Kar?" tanya Fani.
"Ke perpus. Ada yang mau ikut nggak?" tawarnya.
"Tumben banget. Ada apa?" sahut Fajar, salah satu teman cowoknya.
Sekar hanya mengangkat bahu. "Entah. Lagi pengen aja. Mumpung waktu masih panjang."
"Aku ikut dong," ujar Fani sambil berdiri.
"Gue juga deh. Siapa tau tiba-tiba jadi kutu buku," sahut Ana sambil tertawa.
"Bukan kutu beras, Na?" goda Sekar.
Ana langsung cemberut. "Ih, tak boleh lah macam tu, tak baik," ucapnya dengan logat Melayu yang dibuat-buat.
Mereka bertiga baru saja melewati pintu kelas ketika terdengar teriakan dari dalam.
"Ihh, mau ikut deh. Gabut!" Astrin menyusul, menambah semarak langkah kecil mereka menuju perpustakaan.
Sesampainya di sana, mereka segera menyebar di antara rak-rak buku, seperti benar-benar mencari kisah yang ingin dibaca. Sekar terhenti di depan rak paling pojok. Ia menarik satu buku berdebu dan meniup sampulnya pelan. Afeksi, begitu judulnya, karya Zaka Bagas Wirawan. Di sampulnya tertulis:
"Aku merindukanmu dari jauh, meski jarak di antara kita sangatlah dekat."
Sekar tak tahu apakah ia akan benar-benar membaca buku itu, tapi ia menyukainya, setidaknya karena kalimat itu terasa akrab di dadanya.
"Kar," panggil Ana.
Sekar berdeham pelan, ini perpus tidak boleh banyak bersuara.
"Kita main warnet dulu yuk."
"Sekar melirik jejeran komputer di ruangan sebelah yang tersekat kaca. Perpus di sekolahnya memang menyediakan banyak komputer untuk keperluan semua muridnya dengan internet yang tak terbatas, syaratnya hanya boleh di pakai saat jam istirahat saja.
"Boleh deh," jawab Sekar setelah melirik jam, ada waktu sepuluh menit lagi untuk jam masuk.
Mereka fokus pada komputer masing-masing, ada yang membuka sosmednya, ada yang menonton video youtube, dan sebagainya. Dan Sekar, ia memilih membuka sebuah aplikasi membaca dan menulis, ia membuat akun dan login di sana. Sekar tiba-tiba penasaran, seringkali ia mendapati kakak keduanya, Tara membuka aplikasi ini berkali-kali ntah itu di ponselnya atauphn di laptop. Dan kini Sekar membuka aplikasi itu untuk membuktikan dugaannya benar atau tidak, kalau Kak Tara menulis di aplikasi ini.
Ia langsung mengetik username yang kemungkinan dipakai kakaknya. Pertama ia ketik 'Taraaksara' tak muncul apa-apa, lalu kedua ia ketik 'Taraksara' belum muncul juga, dan ketika ia asal ketik dengan username 'Tarasaraa' barulah muncul profil kakaknya. Dan satu cerita yang disematkan di sana berjudul Tomorrow dengan sampul berwarna biru.
"Bener kan dugaan aku kalau kak Tara nulis di aplikasi ini," batin Sekar.
***
Malam turun seperti selimut halus yang membelai tubuh yang lelah. Di dalam kamar, dua gadis bersaudara merebahkan diri berdampingan, tak banyak kata, hanya saling hadir. Lampu tidur menyala redup, mengalirkan suasana tenang ke sela-sela napas mereka.
Sekar menggeliat kecil, lalu meraih sesuatu dari tasnya yang tergeletak di lantai.
"Tadi di perpus aku pinjam buku tahu kak," katanya pelan, lalu memperlihatkan sampul lusuh yang sudah ia bersihkan siang tadi. "Judulnya Afeksi."
Tara menoleh dan segera duduk. Matanya membesar saat membaca nama penulis di sampul.
"Wah... aku pernah baca ini sekilas dari fyp tiktok," gumamnya. "Kamu tahu buku ini dari mana?"
"Enggak tahu, nemu aja. Tertarik sama judul dan kutipannya."
Tara mengambil buku itu dari tangan adiknya, membolak-balik halamannya dengan jemari yang lembut namun cekatan.
"Aku suka buku ini," katanya, suaranya nyaris berbisik. "Kalimat-kalimatnya tenang, tapi nusuk."
Sekar mengangguk. "Makanya aku pinjam. Tapi kayaknya buku ini malah lebih cocok Kak Tara yang baca duluan."
Tara menatap adiknya dengan senyum kecil, kemudian menarik selimut ke kakinya sambil memeluk buku itu. "Aku baca, ya... Tapi kamu harus baca juga nanti."
Sekar tersenyum puas. Dalam diam, ia suka saat bisa berbagi hal kecil yang berarti. Dan buku itu, meski hanya ditemukan secara tak sengaja, telah menjadi jembatan kecil di antara mereka.
Lalu, setelah jeda yang hening namun nyaman, Sekar kembali membuka suara.
"Kak," katanya, nyaris segan. "Aku tadi buka aplikasi yang Kakak sering buka itu tahu. Yang buat baca sama nulis."
Tara berhenti membalik halaman. Matanya kini tertuju penuh pada Sekar.
"Iya terus?" tanyanya perlahan.
"Aku coba cari username Kak Tara. Iseng aja. Dan... aku nemu akun ‘Tarasaraa’ namanya, heemm banget," nadanya sedikit meledek.
Tara diam. Sekar melanjutkan, dengan suara yang lebih pelan namun penuh rasa.
"Aku coba baca prolognya tadi," ujarnya. "Bagus hayo haha. Tapi, Rasanya kayak... ada luka yang Kak Tara pendam di dalam, tapi Kakak ubah jadi cerita. Jadi indah. Iya kan?"
Tara menunduk. Matanya menghindar, bukan karena malu, melainkan karena ia merasa seperti telanjang. Tapi dalam rasa terbuka itu, ada kelegaan yang perlahan tumbuh.
"Duh malu banget ada yang baca," gumamnya.
Sekar tersenyum kecil.
"Aku nggak cuma baca, Kak. Aku ngerti juga dong."
"Aku mau kasih tahu Mamah dan Ayah deh," anak itu tiba-tiba bersemangat. Dan, tak sempat Tara mencegah, tak lama kemudian, terdengar suara lantang:
"Mamah! Ayah! Kak Dira! Dengerin deh! Kak Tara itu penulis loh!"
Semua yang sedang larut dalam aktivitasnya saling menoleh. Mamah menghentikan lipatan baju. Ayah menurunkan ponselnya. Kak Dira diam tetapi pendengarannya diam-diam mencerna.
"Dia nulis di aplikasi cerita, banyak yang baca!"
Tak ada respon semuanya diam, bisu seolah tak mau tahu. Tara membatin sudah seperti dugaannya, namun suara lembut Mamah membuatnya menyingkirkan pikiran buruk itu.
"Bagus dong," katanya pendek.
Dan malam pun terus berjalan, tapi di dalam dada Tara, waktu seperti berhenti sejenak.
Sebab tak semua luka butuh penawar, kadang, ia hanya butuh ditemukan, dibaca, lalu dipeluk lewat pengakuan sederhana dari orang yang paling kita sayang. Sekar dan sang Mamah contohnya.
real anak tengah sering terabaikan tanpa ortunya sadarii
Comment on chapter Bagian 4: Sebuah Kabar Baik