Oktober, 2021
Lulus sebagai alumni Covid ternyata menjadi salah satu penghambat terbesar dalam hidup Tara. Sejak virus corona semakin merajalela dan menyapu negeri tanpa ampun, badai PHK terjadi di mana-mana. Informasi itu pertama kali ia dengar dari siaran berita di televisi pada Kamis malam, saat ia duduk di ruang tengah bersama Ayah dan Mamah. Hari ini Ayah sedang libur. Pekerjaannya sebagai satpam membuat jadwal kerjanya tak menentu, tergantung shift yang disediakan perusahaan sementara Sekar sibuk di dalam kamar, mengerjakan tugas sekolahnya. Sementara Kak Dira, kabar terakhir yang mereka dengar, masih dalam perjalanan pulang, duduk di kursi kereta.
PHK massal bahkan terjadi di perusahaan-perusahaan besar sekalipun. Tara termenung, menatap layar televisi yang terus mengulang berita buruk dari hari ke hari. Pandangannya kosong, pikirannya melayang. Bagaimana mungkin lapangan pekerjaan tidak menjadi semakin sempit kalau begini terus? Bagaimana mungkin ia bisa cepat mendapat pekerjaan kalau nanti saingannya adalah mereka yang membawa gelar sarjana dan pengalaman bertahun-tahun?
Ia yang hanya menyandang gelar fresh graduate ini, bisa apa?
"Kamu masih belum ada panggilan juga, Ra?" suara Ayah membuka obrolan. Lembut, tapi terasa menggugah luka.
Tara hanya menggeleng pelan.
Ia kira Ayah akan berhenti bicara, akan memeluknya atau paling tidak menyemangatinya. Tapi tidak. Ayah malah berlanjut, seperti biasa, dengan logika dan arahan.
"Coba dibenerin lagi lamaran kamu. Sudah benar belum? Belajar dari Kak Dira. Tanya dia cara bikin lamaran yang bagus itu gimana."
"Iya, Yah. Aku juga udah contoh CV dan lamaran Kakak, kok," jawab Tara seadanya. Lalu ia bangkit, memilih masuk ke kamar dan bergabung dengan Sekar, meski pikirannya tak betul-betul berada di sana.
Di kamar, Tara membuka aplikasi menulisnya. Sebuah ruang sunyi tempat ia merasa lebih hidup daripada di dunia nyata. Novel pertamanya berjudul Tomorrow, baru selesai satu bab. Sebuah cerita tentang harapan, tentang seseorang yang sempat kehilangan mimpinya, lalu mencoba memulainya dari nol lagi.
Tara ingin percaya bahwa lewat tokoh utamanya, ia bisa menanam sedikit harapan dalam dirinya. Bahwa ia tidak sendiri menghadapi dunia yang sekeras ini.
Namun, suara pintu terbuka di ruang depan membuat jari-jarinya berhenti menari di atas keyboard ponsel. Ia tahu itu Kak Dira. Tapi yang mengejutkan bukan kehadirannya, melainkan suara tangis yang mengiringi langkah kakaknya masuk ke rumah.
Tangis itu bukan sekadar suara. Ia seperti hujan yang tiba-tiba turun di musim kemarau, membawa hawa dingin ke dalam rumah yang tadinya hangat.
Kak Dira masuk dengan mata sembab, ransel kerja masih tersampir di bahunya. Mamah dan Ayah sontak berdiri dari sofa, menyambutnya dengan tatapan penuh tanya. Sekar, yang biasanya enggan keluar kamar, kini melangkah pelan menyusuri lorong rumah dengan rasa cemas yang tak bisa ditahan.
Tapi tidak dengan Tara. Ia tetap di dalam kamar. Diam. Menyimak semuanya dari balik dinding tipis yang tak sanggup meredam kenyataan.
"Aku… kena PHK," suara Dira pecah. "Ada sekitar lima belas orang yang dipecat hari ini. Aku salah satunya…"
"Kok bisa, Kak?" tanya Ayah, terkejut bukan main. Dan dengan sisa-sisa isakannya, Kak Dira menjawab lirih,
"Perusahaan lagi ngalamin penurunan drastis selama masa Covid ini, jadi PHK jadi satu-satunya solusi mereka."
Ayah mendekat cepat. Mamah menyusul dengan mata yang mulai basah. Mereka memeluk Dira, seolah hendak membentengi anak sulungnya dari luka dunia. "Nggak apa-apa, Nak… Nanti juga dapat kerjaan lagi. Yang lebih baik dari sekarang. Rezeki nggak akan ke mana…"
"Kamu sudah berusaha, Dira," Mamah menambahkan, dengan sentuhan pelan di pundak putrinya.
Kata-kata itu melayang di udara, menyentuh semua orang yang hadir. Kecuali Tara.
Ia menatap kosong ke langit-langit kamar. Rasanya seperti ada yang menghunjam ke dadanya. Kalimat-kalimat penghiburan itu tak pernah sampai padanya. Tak pernah mampir meski sekali. Seolah ia harus lebih dulu membuktikan sesuatu sebelum boleh merasa hancur.
Ia menggenggam ponsel lebih erat. Jemarinya gemetar.
Ia takut.
Takut masa depannya akan semenyakitkan ini.
Takut tak ada yang menguatkan kalau saatnya nanti ia juga tumbang.
Bagaimana dengan dirinya?
Ia bahkan belum memulai apa-apa. Tapi dunia seperti sudah siap menjatuhkannya kapan saja.
"Ada orang yang nggak percaya diri dengan kemampuannya. Ada juga yang nggak percaya diri karena tingkat pendidikannya. Lalu ada juga yang nggak percaya diri karena latar belakang keluarganya. Saya percaya, hampir semua orang di dunia ini pasti pernah ngalamin yang namanya nggak percaya diri... Dan dari cerita Tomorrow ini saya rangkum orang-orang yang dimaksud, juga hal-hal yang mereka anggap mustahil, ternyata bisa terjadi... Karena pada intinya, mereka hanya perlu berusaha, juga yakin."
Kalimat itu Tara tulis di bab baru dalam ceritanya Tomorrow, melalui si tokoh utama yang bersuara lantang.
***
Seminggu setelah Kak Dira menganggur, dia akhirnya dapet panggilan interview dan, tanpa disangka, langsung diterima kerja. Memang sih bukan di perusahaan sebesar tempat kerjanya yang dulu, tapi Tara tetap kagum. Ada rasa takjub yang selalu muncul tiap kali melihat pencapaian kakaknya. Dan seperti biasa, Mamah dan Ayah menunjukkan ekspresi bangga yang sama seperti sebelumnya. Senyum mereka lebar, pujian-pujian kecil terus mengalir untuk Kak Dira.
Sampai suatu pagi, Mamah duduk di ruang tamu sambil cerita soal anak tetangga yang katanya mau kerja di pabrik. Namanya Lopi, entah itu nama asli atau cuma panggilan, Tara nggak begitu yakin. Tapi yang jelas, Mamah bilang kalau Lopi akan coba kerja di pabrik yang sistem kerjanya harian, semacam buruh lepas yang setahunya gajinya nggak menentu.
Mamah bilang, "kenapa Tara nggak ikut aja? Siapa tahu rejekinya di situ."
Belum sempat Tara jawab, Ayah udah datang dari arah dapur dan langsung bilang, "Iya, ikut aja. Lumayan buat pengalaman."
Tara diam sejenak. Ada sesuatu yang menahan jawabannya. Lalu dengan hati-hati dia berkata,
"Boleh aku pikirin dulu?"
Tapi dari situ semuanya mulai terasa nggak enak. Respon Mamah dan Ayah tiba-tiba berubah jadi nada desakan. Seolah nggak ada ruang buat Tara ragu.
"Apa yang mau dipikirin? Mumpung ada kesempatan, kenapa nggak langsung dicoba?" kata Mamah cepat-cepat sambil berdiri.
Ayah menimpali, "Ini cuma buat nambah pengalaman. Gak usah mikir terlalu panjang. Batu loncatan, Tar."
Tara masih duduk di tempat, menatap tangan sendiri. Lalu pelan, dia menjawab,
"Yang bakal jalanin ke depannya aku, bukan Ayah atau Mamah."
Kalimat itu bikin Ayah naik nada. "Emangnya kamu udah nyari ke mana aja? Ada hasilnya? Selama ini cuma bilang nyari, tapi buktinya mana?"
Tara langsung merasa dadanya panas. Tapi dia tahan, berusaha tetap tenang.
"Aku nyari, Yah. Aku ngelamar ke banyak tempat juga. Aku usaha. Cuma mungkin kalian nggak lihat."
Ayah menghela napas kasar. "Ini tuh namanya kamu nyia-nyiain kesempatan. Sekarang tuh ada rekrutmen besar di pabrik, kamu malah nolak."
Tara terdiam. Lalu tanpa sadar, air matanya mulai jatuh. Suaranya bergetar saat menjawab,
"Aku nggak mau kerja di pabrik, Yah… Aku pengin kerja di tempat yang jelas, tempat yang aku mau."
Tapi Ayah nggak berhenti.
"Jangan sok pinter, Ra. Jangan sok pilih-pilih. Kita tuh nyuruh kamu bukan buat nyusahin. Kamu sendiri yang bilang jenuh di rumah, giliran ada peluang malah ditolak."
Tara nggak sanggup lagi jawab. Dia bangkit, masuk ke kamar, dan menutup pintu tanpa suara. Di dalam sana, dia menangis. Tangis yang bukan cuma karena dimarahi, tapi karena hatinya merasa tidak dimengerti.
Apa benar kata Ayah bahwa ia terlalu pilih-pilih? Apa salah kalau ia nggak mau kerja asal-asalan? Tara cuma ingin hidup yang baik. Pekerjaan yang layak. Dan, kalau bisa, menyusul Kak Dira kuliah dari uang hasil kerja sendiri.
Apa salah kalau Tara juga ingin seberuntung kakaknya?
Ponsel yang sebelumnya sempat mati, ia genggam dengan tangan gemetar, Tara kembali membuka aplikasi menulisnya. Dan, ntah dapat masukan dari mana sambil masih menangis deras Tara mau mencoba merubah sedikit alur ceritanya.
Dia ingin membuat si tokoh utama lebih menderita di dalam cerita itu, ntah tujuannya apa? Yang jelas Tara hanya mau menjadi seperti si tokoh utama dalam ceritanya, bahwa jika kelak di ending nanti si tokoh utama akan Tara buat berhasil, setidaknya ia harus merasakan lika-liku dan beratnya hidup dulu— sama seperti yang Tara rasakan sekarang.
Tapi Tara jadi bertanya-tanya, akankah ending perjalanannya pun nanti akan memuaskan? Akankah ia berhasil meski jalan yang ia tempuh tak sama dengan kakak atau adiknya? Atau bisakah ia membuktikan setidaknya lewat tulisan dan karyanya?
Tuhan, Tara sungguh berharap demikian.
"jika aku tak bisa berhasil seperti jalan yang ditempuh orang lain, izinkan aku berhasil lewat cerita-cerita yang kutulis diam-diam."
relate banget, gak berlebihan cerita ini (emot nangis)
Comment on chapter PROLOG