Hari ini tidak ada yang istimewa. Di sekolahan aku belajar seperti seharusnya seorang pelajar. Aku menghabiskan waktuku bersama Brian hanya untuk membahas tugas apa yang seharusnya kami buat. Misno dan Leo sudah dipastikan tidak ikut dalam diskusi. Meskipun aku dan Brian sudah susah payah membujuk Leo untuk berdiskusi, tetap saja anak itu lebih mementingkan dirinya sendiri dan fokus dengan olahraganya dibandingkan tugas kelompoknya. Sedangkan Misno, tubuhnya ikut serta bersama kami untuk berdiskusi, namun tetap saja kami juga butuh jiwa dan pikirannya. Percuma saja dia berada di depan kami jika lagi-lagi dia hanya tidur dan dengan hebatnya dia tidur dengan duduk tegak.
Aku pulang seperti biasanya, ditemani Brian dan Nube. Aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah tanpa singgah ke mana-mana. Sesampainya di rumah, Bi Gum-gum dengan senyum khasnya menyambutku disertai hidangan makan siang yang sudah siap di meja. Seperti di surga rasanya.
Di meja makan, aku dan bibi hanya bercerita ringan. Biasalah, bercerita tentang kehidupan perempuan dan sedikit bergosip tentang tetangga-tetangga di sekitar. Sebenarnya aku juga tidak begitu tertarik dengan kehidupan di sekitarku. Tapi bagaimanapun aku tidak bisa menolak ajakan untuk mendengarkan ceritanya yang semakin kesini semakin seru.
Sehabis makan, aku segera berpamitan untuk istirahat sejenak. Rasanya, entahlah, lelah sekali padahal aku tidak melakukan apa-apa seperti kemarin. Bibi juga tidak lagi mengajakku untuk ikut rewang di tempat kemarin. Walau sebenarnya besok adalah hari acaranya.
Setelah memastikan bibi benar-benar pergi, aku turun ke ruang tamu. Rumah terasa sunyi, dan aku pun sama kosongnya. Tak ada rencana, tak ada ide. Hari ini seperti ruang yang terbuka lebar tapi tak mengarah ke mana-mana.
Aku duduk diam, menatap kaca jendela. Tatapanku tertuju pada kotak pos di depan pagar—kosong, seperti yang lain-lain. Hanya seonggok harap yang dulu pernah kutitipkan di sana, kini tinggal bekas.
Andai saja aku tidak membalas surat itu.
Andai saja aku tak terlalu mudah percaya bahwa hal kecil bisa membawa perubahan besar.
Andai saja aku tak membiarkan diriku berharap terlalu jauh pada seseorang yang bahkan tak kutahu wajahnya.
Ternyata kecewa paling menyakitkan datang bukan dari orang lain... tapi dari diri sendiri yang terlalu percaya pada harapan.
Tanpa kusadari, aku tertidur di sofa—hanya dua puluh menit, tapi rasanya seperti berjam-jam terjebak dalam kelelahan yang tak kasatmata. Tubuhku berat, seperti sedang membawa seluruh beban dari pikiran yang tak kunjung reda.
Aku bangun secara terkejut saat aku mendengar seseorang memanggil namaku.
“Tiara, bangunlah. Tidakkah kau ingin bertemu?”
Bukan mimpi baru. Aku sudah sering mendengar suara itu—selalu muncul di sela-sela tidur yang seharusnya membawa tenang. Sejak kecelakaan waktu itu, suara itu menjadi gema samar yang setia membuntuti malam-malamku.
Suara dari masa lalu.
Datar, tenang, tapi mengoyak.
Aku tidak tahu pasti milik siapa suara itu. Tapi aku ingat, selama aku koma, ayah dan ibu sering mengajakku bicara, menceritakan hal-hal sepele hanya untuk membuatku kembali. Kupikir ini hanya potongan ingatan samar dari masa itu—sisa-sisa suara yang pernah mencoba membangunkanku dari batas antara hidup dan mati.
Tapi kini... suara itu justru menghantui. Menyelinap di antara kesadaranku, menyesakkan dadaku. Bukan menguatkan, tapi melemahkan.
Dengan malas, aku menyeret kaki ke dapur. Menyalakan air dari keran, lalu membasuh wajahku keras-keras—seakan bisa menghapus sesuatu yang menempel di dalam, bukan di permukaan.
Tidak ada yang ingin terus-menerus mengingat masa terburuk dalam hidupnya.
Termasuk aku.
Terkadang aku ingin melarikan diri dari rasa ini—dari kecemasan yang membuntuti diam-diam, dari kenangan yang menjelma bisikan, dari trauma yang tak pernah benar-benar pergi.
Aku masih ingin bertahan hidup. Tentu saja. Tapi... untuk apa?
Hidupku berjalan seperti garis lurus tanpa tanda jeda.
Separuhnya kuhabiskan bertengkar dengan orang tuaku, separuh lagi mengejar mimpi yang kini tak bernyawa.
Kecelakaan itu mengubah segalanya. Menghentikan waktu di satu titik, dan sejak saat itu, aku tak tahu lagi ke mana harus melangkah.
Sekarang, kami hanya hidup berdampingan.
Aku dan orang tuaku seperti rumah tanpa pintu—ada ruang, tapi tak ada jalan untuk masuk atau keluar.
Dulu aku keras kepala. Tak pernah mau mengalah.
Kini aku terlalu lelah untuk melawan. Seperti sehelai daun kering yang hanya mengikuti arah angin bertiup, tanpa pernah benar-benar tahu ingin ke mana.
Aku membuka kulkas, mengambil sepotong kue buatan bibi dan sebotol cola. Lalu duduk di kursi dekat jendela belakang.
Halaman belakang terlihat lebih hidup dibandingkan halaman depan. Ada warna, ada semak yang tumbuh semaunya, ada kupu-kupu kadang singgah.
Seolah-olah... rumah ini tahu, bagian mana yang masih ingin bertahan.
Kue itu sebenarnya terlalu besar untuk dimakan sendiri. Tapi karena terlalu tenggelam dalam lamunan, aku tak sadar kalau satu botol cola dan seluruh potongannya telah habis kulahap. Rasanya bukan karena lapar... mungkin lebih karena ada ruang di dalam diriku yang kosong, dan aku hanya mencoba mengisinya dengan apa saja.
Setelah diam cukup lama, aku memutuskan untuk keluar rumah. Aku butuh udara. Bukan sekadar untuk bernapas, tapi untuk merasa bahwa dunia di luar sana masih bergerak, meski aku sendiri tak yakin sedang ke mana.
Aku memilih memutar arah. Kalau aku lewat jalan biasa, aku pasti harus melewati kerumunan orang yang sedang rewang. Aku tidak sanggup hari ini. Tak enak rasanya berjalan di antara orang-orang yang sibuk membantu, sementara aku hanya lewat, membawa keheningan tanpa sapa. Mungkin karena aku terlalu sering diam, terlalu takut menjadi pusat perhatian atau bahan tanya.
Jadi aku ambil jalan lain. Jalan yang belum pernah kupilih sebelumnya, atau mungkin... pernah, tapi dulu aku berjalan terlalu cepat untuk benar-benar melihat.
Di pulau ini, yang paling terasa adalah ketenangannya. Tidak ada suara mesin, tidak ada deru kendaraan. Udara terasa murni—aku bisa menghirupnya dalam-dalam seperti sedang menelan ketenangan perlahan. Awan di atas sana bergumpal lembut, melayang tenang, meski aku tahu itu bisa jadi pertanda badai. Tapi hari ini, aku tak takut badai. Aku hanya ingin berjalan.
Setiap langkah terasa baru. Seperti Tuhan sedang menuntunku melewati jalur yang tak kukenal... atau mungkin, jalur yang selama ini kulupakan. Angin bertiup pelan, menyentuh kulitku seperti pelukan tak terlihat, seolah berkata, “Tak apa, kamu tidak sendiri.”
Dan untuk pertama kalinya hari itu, aku tidak terburu-buru ke mana pun. Aku hanya ingin berjalan... dan mendengarkan sunyi.
Kenan berdiri di sana, cukup jauh, namun aku bisa melihatnya dengan sangat jelas dari pinggir jalan. Dia terisak. Tentu saja aku bertanya-tanya—kenapa dia begitu tersedu-sedu memandangi, mungkin sebuah makam yang bahkan tak kukenal siapa yang bersemayam di bawahnya. Aku tidak pernah melihat Kenan begitu terpukul. Dia berdiri sendiri di antara ratusan nisan, dikelilingi keheningan yang pekat.
Dari kejauhan, sosok Noah muncul, berjalan ringan ke arahku dengan senyum menyebalkan yang khas. Ia tampak terlalu riang untuk sore yang muram seperti ini.
“Pantas saja aku tidak melihatmu di balai. Tidak ikut rewang?” tanyanya sambil mendekat.
“Tentu saja tidak. Karena aku di sini.”
Dia mengangguk-angguk, matanya ikut mencari ke arah pandanganku. “Apa yang sedang kau lihat?” tanyanya. “Kenapa dia menangis begitu?” Nada sinisnya menyelip tak enak di telinga.
Itu justru yang ingin kutanyakan. Tapi dia malah balik bertanya, seolah aku tahu lebih banyak dari dia.
“Kau kenal dia?” tanyaku, tetap berdiri di pinggir jalan, angin sore menyentuh kulitku.
“Tentu saja. Anak itu makin aneh saja dari hari ke hari, kan?”
Aku mengernyit. “Padahal kau sendiri jarang terlihat di sekolah. Tapi bisa-bisanya menilai orang seperti itu?”
“Dia sahabatku... dulu. Kami memang sudah tak dekat lagi. Dan belakangan dia terlalu cengeng untuk kusebut teman.”
Aku semakin penasaran. “Kenapa dia menangis seperti itu? Siapa yang dia tangisi?”
Noah mencondongkan tubuh, suaranya direndahkan. “Temannya. Bunuh diri.” Ia tersenyum kecil. Senyum yang tak pantas.
“Bu... bunuh diri? Kenapa?”
Dia tidak menjawab. Justru berjalan menjauh. Aku menebak dia mengisyaratkan agar tidak membahas ini di dekat pemakaman. Aku ikut melangkah di sampingnya.
“Biasalah, masalah perempuan. Dan yang kudengar, dia sangat membenci perempuan yang menyebabkan temannya itu meninggal.”
Dia tertawa pelan. Tawa yang membuat dadaku tak nyaman.
“Kau terdengar terlalu senang saat menceritakannya,” kataku tajam. “Seolah bersyukur dengan kematian seseorang.”
“Kau percaya padaku?”
Aku menghentikan langkah. Dia ikut berhenti, menatap bingung.
“Kau mau menjadikan kematian orang lain sebagai candaan?”
“Lagi pula,” katanya acuh, “kenapa harus menangisi orang yang belum tentu ingin ditangisi? Dan kenapa memusuhi orang lain karena itu? Konyol.”
“Kupikir ada yang salah dengan jiwamu.”
Dia tertawa lagi. “Emm... mungkin. Itu sebabnya aku menjauh dari Kenan. Karena jiwaku bermasalah. Dan sekarang dia ikut-ikutan bermasalah. Selalu merasa bersalah di depan satu makam. Dan kurasa... kau juga akan ikut bermasalah karena terlalu sering dekat denganku.”
“Aku tidak pernah mendekatimu.”
“Benarkah?” Dia mengangkat alis, menggoda.
Aku mempercepat langkah. Tapi tentu saja, dia mengikutiku lagi.
“Bagaimana kesanmu setelah datang ke sini?” katanya santai, kedua tangannya di belakang kepala.
“Tidak ada yang istimewa. Termasuk bertemu denganmu.”
“Harusnya kau bersyukur. Kalau bukan karena aku, kau pasti kesepian.”
“Sudahlah. Aku tidak mau bicara denganmu. Pergi sana!”
“Baiklah...” katanya. Tapi baru selangkah—hilang.
Aku menoleh. Kosong. Ke mana dia pergi?
Lalu, tiba-tiba, seseorang menutup mataku dari belakang. Tangannya hangat dan panjang.
Aku nyaris berteriak, tapi suaranya datang lebih dulu.
“Tahan sebentar.” Itu suara Noah. Dan entah kenapa, aku menuruti.
Dia membuka telapak tangannya perlahan.
“Aku yakin kau akan mencariku. Tak bisa lama-lama tanpa melihatku, kan?” katanya ringan. “Baiklah, aku benar-benar pergi. Dah!”
Dia pergi. Tak menoleh. Hanya langkah yang menjauh.
Dari arah pemakaman, Kenan keluar. Wajahnya masih dingin. Tatapannya menusuk. Tapi dia hanya lewat, tanpa sepatah kata.
Aku tak tahu harus ke mana. Tapi dari kejauhan, kulihat pantai. Dan rasanya, tempat itu memanggilku.
Aku berjalan cepat ke tepi pantai. Duduk di dinding pembatas yang menghadap laut. Ombak memecah dengan ritmenya yang menenangkan.
“Aku tahu, kau pasti mencariku.”
Aku menoleh, jantungku sedikit melonjak. Suara itu... Noah.
“Aku di atas.”
Dia sedang berbaring di cabang pohon.
Aku kembali mengabaikannya.
“Anak itu sudah berhenti menangis?”
Aku diam saja.
“Kau tahu, dia kebalikanku sekarang. Dulu dia paling riuh... sekarang malah diam.”
Aku lebih tertarik pada suara ombak dibandingkan ocehannya.
“Sebenarnya dia anak baik. Tapi keadaan yang merusaknya. Dia tak seperti dulu lagi. Aku pikir dia juga menjauhi teman-temannya. Termasuk kau, bukan?” sambungnya.
“Aku tak peduli.”
“Jangan begitu.”
Dia melompat turun dari pohon. Aku sempat khawatir, tapi dia mendarat dengan enteng. Naik ke tempat dudukku, lalu duduk beberapa langkah dariku.
“Bertemanlah dengannya. Dia anak baik. Kalau butuh apa-apa, cari dia.”
Aku mendesah. “Kenapa aku harus terus bertemu denganmu sih?”
“Bukankah kau ingin bertemu denganku?” katanya sambil tersenyum menyebalkan. “Ngaku saja, kau tertarik padaku, kan?”
Aku mendelik. “Aku tidak tertarik.”
Dia tetap tersenyum.
Setelah itu, dia diam. Hanya mengayunkan kaki sambil bernyanyi lirih. Lagu yang asing, tapi entah kenapa menyentuh.
Tak lama kemudian, dia pergi. Tanpa pamit.
Setengah jam setelahnya, aku kembali ke rumah. Di gerbang, sebuah amplop mencuat dari lubang kotak surat.
Aku menariknya perlahan. Amplop berwarna coklat kayu.
Tulisan itu... aku kenal.
Lagi. Tulisan itu... tulisanku sendiri.
Hari ini aku membantu seorang anak kecil di taman bermain menyelamatkan seekor anak kucing dari parit. Bulunya putih, kotor, berantakan. Seperti baru saja terkena ledakan. Dan entah kenapa, aku menamainya... Boom.
Boom mengingatkanku pada seekor kucing dari masa kecilku di pulau itu. Yang juga kuselamatkan—bersama seorang teman. Seseorang yang kini samar dalam ingatan.
Mungkin... bagaimana kalau kau saja yang jadi Boom?
Biar aku bisa menghampirimu.
Dan ingin segera kembali ke pulau itu.
Untuk bertemu denganmu.
Emm... maksudku, Boom.
Aku terdiam di depan pintu rumah memandangi tulisan tanganku dalam surat itu.
Boom?
Noah?
Tanganku bergetar.
Ada kehangatan aneh yang perlahan merayap naik ke dadaku. Antara takut, dan sesuatu yang lain.
Sebenarnya... ada apa denganku?