Kata orang, kalau kita mendengarkan gonggongan anjing terus-menerus di malam hari, katanya itu pertanda ada hantu, bukan?
Seumur hidupku, aku tak pernah percaya dengan hal semacam itu. Tapi sejak aku datang ke pulau ini, entah kenapa aku tiba-tiba percaya dengan mitos-mitos yang sebelumnya selalu kuanggap omong kosong.
Aku semakin yakin dengan mitos itu—diperkuat oleh kehadiran seseorang yang seolah berasal dari dunia halusinasi milikku.
Boom!
Sampai detik ini, aku tak mengerti kenapa aku bisa sebegitu yakinnya bahwa dia adalah hantu. Kehadirannya yang mendadak... dan kejadian-kejadian aneh yang tiba-tiba saja mengisi hariku... semua terasa begitu nyata.
Anjing-anjing di luar menggonggong tanpa henti. Kepalaku seperti mau meledak mendengar suara yang semakin lama terdengar makin aneh.
Nyaliku terlalu ciut untuk sekadar bangkit dari tempat tidur—untuk memastikan apakah benar sosok Boom itu sedang berdiri di depan rumahku sekarang.
Tak ada tanda-tanda ayah akan naik ke lantai atas. Mungkin karena aku tak bisa mendengar langkah kakinya saat ini.
Padahal... aku sangat ingin dia menemaniku malam ini.
Jam sudah lewat sebelas. Malam semakin larut, dan aku belum juga bisa memejamkan mata, bahkan untuk sekadar terlelap sebentar saja.
Rasanya begitu sulit. Bayangan dan ketakutan akan sosoknya yang tiba-tiba muncul membuatku tak sanggup memejamkan mata.
Selalu saja ada gambaran dalam pikiranku: dia akan muncul begitu saja di kamar ini, menatapku dengan wajah yang mengerikan.
Bagaimana jika itu benar-benar terjadi?
Bahkan doa-doa yang terus kuucapkan pun tak cukup kuat menahan rasa takut yang semakin lama makin melumpuhkanku.
Tok... tok... tok...
Suara ranting pohon itu lagi. Mengusik ruang nyamanku. Dan anehnya... aku bisa mendengar suara itu—padahal aku tidak sedang memakai alat bantu dengarku.
Klip... klip... klip...
Sial! Kenapa lampu meja belajarku juga ikut mempermainkanku malam ini?
Lampu itu terus berkedip-kedip—seperti adegan dalam film horor.
Lalu... angin mendadak bertiup kencang. Jendela kamar bergetar, menimbulkan suara yang mengerikan.
Aku segera menarik selimut, menutupi seluruh tubuhku.
Kupeluk erat-erat tubuhku sendiri, memejamkan mata sekuat tenaga.
Aku berharap... telingaku pun bisa diajak kerja sama—agar tidak mendengar hal-hal aneh malam ini.
***
Ayah pernah berpesan padaku: jika sore hari turun hujan dan ia tak kunjung pulang, bisa dipastikan dia terjebak di tambang.
Itu sudah pasti. Jalanan di area tambang belum diaspal, dan saat hujan turun, semuanya berubah menjadi lumpur yang licin. Kondisi itu menyulitkan para pekerja—baik untuk pulang ke rumah maupun untuk kembali ke tambang keesokan harinya.
Jika pun ayah tetap pulang, kemungkinan hanya satu: dia akan memaksakan diri mengendarai motor yang masih bisa menembus medan berlumpur.
Karena itu, ayah selalu berusaha menghubungiku, apa pun yang terjadi.
Ia membelikanku HT khusus. Sinyal di sekitar tambang memang sering kali menyulitkan komunikasi. Itu sebabnya, jauh sebelum aku datang ke pulau ini, ayah sudah menyiapkannya untukku.
Pagi ini, aku memutuskan untuk tidak ikut bus kerja ayah. Terlalu canggung rasanya ikut rombongan para pekerja. Lagipula, aku tak ingin merepotkan ayah hanya demi mengantarku ke sekolah.
Kalau dipikir-pikir, jarak rumah ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekitar tiga puluh menit berjalan kaki. Tidak apa-apa.
Kupikir, kali ini aku ingin mengalahkan sifat keras kepalaku sendiri—gengsi yang biasanya membuatku tak ingin pergi tanpa diantar.
Tak apa aku menghabiskan pagi ini dengan berjalan kaki sembari menghilangkan kantukku gara-gara begadang sampai jam dua, semalam. Lagi pula, bukan hanya aku yang melakukannya. Beberapa anak lainnya juga memilih berjalan ke sekolah, meskipun sebagian besar menggunakan sepeda atau motor.
Lagipula, tidak ada untungnya memamerkan apa pun di pulau ini.
Ya, meskipun aku punya mobil... untuk apa? Sekadar ingin dibilang keren oleh anak-anak kampung di sini?
Itu hanya akan membuat orang-orang semakin penasaran dan mungkin... lebih sering menggangguku, hanya karena ingin ikut-ikutan.
Di jalan, kulihat beberapa anak berseragam SMA yang sama denganku.
Sebagian besar dari mereka berjalan berduaan—mungkin sahabat dekat. Tak ada satu pun yang peduli padaku. Tak ada yang menyapa.
Tapi tidak apa. Toh, aku memang lebih menikmati waktu sendiriku daripada basa-basi yang tidak penting.
Wussh...
Angin sejuk sisa hujan semalam menyapaku perlahan. Daun-daun kering berguguran, seperti melambai menyapaku. Genangan air memantulkan langit yang masih kelabu.
Tiba-tiba, pandanganku tertumbuk pada seorang anak laki-laki.
Dia berdiri di pinggir jalan, menatap sebuah pohon yang berdiri sekitar sepuluh meter di depanku. Tanpa sadar, aku menghentikan langkah. Menatapnya dari kejauhan.
Anak itu... memakai seragam SMA yang sama denganku.
Tapi dia tidak bergerak sedikit pun. Hanya menengadah, memandang pohon itu tanpa ekspresi.
Aku tidak tahu apa yang sedang dia lihat. Tapi ada sesuatu yang membuatku penasaran.
Tentu saja aku tertarik—apalagi jika dia adalah orang yang belakangan ini muncul dalam pikiranku.
Apa mungkin... dia sedang menungguku?
Aku tidak tahu kenapa, mendadak pikiran itu muncul begitu saja dalam kepalaku. Aku yang sejak tadi hanya mengamati dari kejauhan, berharap anak itu segera berjalan mendahuluiku—hanya agar aku tidak perlu menyapanya, apalagi berpapasan.
Terlalu aneh jika aku bertemu dengannya lagi.
Mungkinkah... dia memang benar-benar arwah penasaran?
Seseorang yang terus-menerus mengusik masa-masa kepindahanku di pulau ini?
Siapa lagi kalau bukan... Boom.
Dia melangkah perlahan mendekati pohon yang sedari tadi dia pandangi, seolah ada sesuatu di sana yang menarik perhatiannya—dan jujur saja, membuatku juga ingin tahu.
Aku mulai melangkah. Tapi... dia... dia tiba-tiba memanjat pohon itu! Setelah terlebih dulu melemparkan tasnya ke pinggir jalan beraspal.
Ah!
Ternyata dia sedang menolong seekor kucing yang ketakutan dan tidak berani turun.
“Hei, kau!” serunya ketika aku melintas melewati pohon itu.
Eh? Aku?
Aku spontan menoleh.
Oh tidak! Jangan sampai aku tergoda untuk melihatnya. Jangan sampai!
Tapi aku sudah terlanjur.
Aku segera mempercepat langkah, berusaha menyelamatkan diri dari situasi canggung ini.
Sial sekali pagiku. Kenapa harus bertemu dia lagi?!
Aku sempat mendengar suara jatuh—berdebam—seperti tubuhnya menghantam tanah. Tapi aku tak peduli. Aku terus berjalan cepat, seolah tak terjadi apa-apa.
“Hei kau, berhentilah!” teriaknya, seakan mencoba mengejarku.
Tiba-tiba saja dia sudah berada di sampingku, sambil menepuk-nepuk bajunya yang kotor.
Tak ada tanda-tanda kucing lagi. Aku yakin dia sudah berhasil menyelamatkannya dan menaruhnya di tempat aman.
“Kau... Kau... Kau...” katanya, mulai berjalan mundur sambil terus menatapku.
Aku berusaha keras untuk tidak menatap balik. Aku hanya ingin menghindar.
“Kau!” serunya lagi, tiba-tiba berhenti tepat di depanku—membuatku tak sengaja menabraknya.
Ingin rasanya aku memukulnya dengan tas jinjingku. Tapi aku mengurungkan niat itu, dan tetap mengabaikannya.
“Oh, kumohon... jangan pura-pura tidak melihatku.” Dia masih terus mengejar.
Kenapa sih dia keras kepala banget?!
“Kau Tiara, kan?”
Hampir saja aku berhenti dan menjawab ‘iya’, tapi aku memilih tetap diam. Tak menanggapi.
Huh! Untung saja dia akhirnya menyerah.
Dia berjalan di belakangku, tanpa lagi berkata-kata.
Aku baru sadar saat sampai di gerbang sekolah: dia sudah tidak mengikutiku.
Aku tidak tahu apakah dia benar-benar menghilang karena dia arwah, atau... mungkin dia memang tidak berniat masuk sekolah—jika saja dia benar-benar manusia.
Hatiku dipenuhi keraguan dan kekhawatiran.
Bukan hanya karena tadi seperti diikuti arwah... tapi juga karena aku harus menghadapi hari ini—masuk kelas, setelah insiden kemarin.
Dan benar saja...
Begitu aku melangkah masuk melalui pintu belakang kelas, anak-anak langsung menoleh. Serempak menatapku dengan ekspresi takjub.
Aku berjalan tanpa peduli, menuju bangku kosong di samping John.
“Wuah, aku kira kau nggak bakal masuk hari ini,” kata John sambil menatapku dengan wajah tak percaya.
“Aku nggak suka bolos,” jawabku pelan, ramah.
Tak ada alasan untuk bersikap dingin kepadanya.
“Kau nggak apa-apa, kan?”
Aku mengangguk pelan.
“Aku bakal bantu kau selama kau belum punya...” Dia mengisyaratkan dengan jarinya ke arah telinganya, memberi tanda bahwa aku belum memakai alat pendengaranku. “Maaf kalau menyinggung... Aku cuma ingin bantu.”
“Nggak apa-apa, aku mengerti. Terima kasih. Eh... Nube ke mana?”
Belum sempat John menjawab, suara melengking tiba-tiba terdengar dari arah pintu depan:
“Tiaraaaaa!”
Nube muncul dengan langkah cepat lalu langsung menyerbuku. “Aku nggak percaya kau beneran datang ke kelas hari ini!” serunya ceria.
Pagi ini dia terlihat sangat semangat. Rambutnya diikat rapi dengan bando kepang, dan baru kusadari—warna rambut Nube tak seperti anak-anak lainnya. Warnanya senada dengan lensa matanya yang coklat keemasan.
“Tentu saja aku ke sekolah. Nggak ada alasan untuk nggak datang,” jawabku—meskipun sebenarnya itu hanyalah kebohongan kecil dari jeritan hati terdalamku.
Ayah tak pernah mengizinkanku menjadi anak yang lemah.
Apa pun alasannya, aku tak diizinkan menghabiskan waktu hanya untuk berdiam diri di rumah. Meskipun kenyataannya... aku tidak benar-benar diam. Tidak sepenuhnya.
Sejak beberapa tahun lalu, sikap ayahku perlahan berubah—meski tak sepenuhnya terlihat oleh orang lain.
Ayah tidak lagi menuntutku meraih nilai tinggi, meskipun dulu aku termasuk anak yang selalu masuk tiga besar di kelas.
Sejak insiden itu... ayah hanya meminta satu hal: aku harus tetap pergi ke sekolah.
Hanya pergi. Dia bahkan tak peduli apakah aku belajar dengan sungguh-sungguh atau tidak.
Aku paham apa maksudnya. Ayah hanya ingin aku tidak hidup sendiri. Tidak kehilangan siapa pun lagi.
Lingkungan sosialku sempat kacau. Aku tak berminat berkenalan dengan siapa pun.
Sejujurnya... aku mengalami trauma, sejak satu per satu temanku pergi—meninggalkanku dengan cara yang berbeda-beda. Semakin banyak orang yang kuterima masuk ke dalam hidupku, semakin besar pula kemungkinan mereka akan pergi.
Aku terlalu sensitif dalam hal pertemanan. Lagi pula, siapa sih yang senang dikhianati? Alasan itu sering kali menjadi akhir dari kisah pertemananku.
Itulah mengapa... selama aku masih bisa berdiri sendiri, aku lebih memilih untuk sendiri.
Aku tak pernah takut pada kesendirian.
Yang kutakutkan adalah... saat aku tidak sanggup menerima kepergian orang-orang yang pernah kuanggap dekat. Untuk menghindari luka yang sama, aku memilih menjauh sejak awal.
Dan ada satu hal yang aneh akhir-akhir ini. Ayah dan ibu tak lagi menuntutku untuk mengurangi aktivitas tertentu—yang dulu sering mereka larang.
Mungkin karena aku memang sudah tidak lagi menyentuh hal-hal yang dulu membuat hubungan kami renggang.
Aku tahu, mereka hanya ingin aku menjadi 'seseorang' versi mereka.
Setelah insiden itu, mereka sangat berharap aku mengikuti jalan yang aman—menjadi PNS, misalnya—dibandingkan mengejar mimpi-mimpi yang dulu begitu kuat kuperjuangkan.
***
Aku bersyukur, setidaknya hari ini tidak ada hal yang menggangguku di kelas. Aku bisa menikmati waktu belajar dengan tenang. Dan syukurlah... John, yang duduk di sampingku, tak pernah lelah membantuku mendengarkan penjelasan guru.
Saat pelajaran pertama berakhir, mataku tiba-tiba tertuju pada seorang anak laki-laki yang baru masuk. Sejak pagi, dia memang belum ada di kelas.
Aku heran, apakah sekolah ini membiarkan siswanya masuk sesuka hati seperti itu? Lihat saja... dia sudah terlambat dua setengah jam, tapi tak ada satu pun yang memprotes.
“John,” panggilku saat melihatnya sedang fokus mengukir sepotong kayu kecil.
“Emm?” sahutnya, masih fokus pada ukirannya—kayu setinggi jari telunjuk itu begitu detail.
“Kau lihat anak itu?”
Kujulurkan daguku, mengisyaratkan ke arah anak laki-laki yang duduk paling ujung, dekat pintu belakang.
“Tentu saja. Mataku masih bagus, kok.”
Aku mengangguk-angguk kecil untuk memastikan bahwa dia melihat orang yang sama denganku.
“Yang pakai celana training, duduk di dekat pintu,” jelasku lagi.
John mengangguk sekali lagi.
“Tentu. Dia memang hobi datang telat. Kau pasti ingin tahu kenapa dia bisa seenaknya masuk jam segini, kan?”
Aku mengangguk.
“Sekolah bukan prioritasnya. Itu alasan utamanya. Dia terlalu gila-gilaan dengan mimpinya.”
“Mimpi? Maksudmu dia sering bangun telat?”
“Bukan begitu... dia terlalu ambisius dengan cita-citanya. Biasanya kalau telat begini, pasti dia latihan dulu baru masuk kelas. Untung-untungan dia bisa masuk pagi kayak sekarang. Seringnya sih, dia baru muncul dua jam sebelum pulang.”
Ah... jadi dia benar-benar manusia. Anak laki-laki itu adalah Boom.
Setidaknya, aku merasa sedikit lega. Ternyata anak yang sering muncul tiba-tiba itu bukanlah arwah penasaran. Mungkin aku tak perlu takut lagi dengannya.
Berarti... semua dugaanku soal hantu tidak benar. Hantu itu tidak ada!
Sebenarnya aku ingin bertanya lebih jauh soal anak itu—namanya siapa, apa sebenarnya cita-citanya, sampai-sampai dia rela melewatkan pelajaran demi latihan. Tapi aku mengurungkan niat.
Bukankah sejak awal aku datang ke kampung ini bukan untuk peduli pada orang lain?
Masa bodoh dengan mereka.
Sembari menunggu guru pelajaran berikutnya masuk, aku menyibukkan diri membaca novel yang kubawa, sambil memangku kepalaku dengan tangan kiri. Sial! Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri.
Sesekali... mataku melirik ke arah anak itu—Boom.
Entah mengapa, pandanganku selalu saja mencuri-curi arah ke dia, yang tengah tertidur dengan posisi kedua tangan dilipat di atas meja, dan kepalanya bersandar di atasnya. Anehnya, dia tertidur dengan wajah menghadap ke arahku.
Sebenarnya ada empat orang lain di sebelah kananku yang juga terlihat, tapi entah kenapa... mataku hanya fokus pada Boom seorang. Anak itu benar-benar mencuri perhatianku. Mungkin karena dalam dua hari terakhir ini, dia membuatku nyaris gila hanya karena aku mengiranya sebagai sesosok hantu.
Aku tidak tahu sudah berapa menit aku memperhatikannya. Untung saja, tidak ada yang menyadari karena semua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tapi semakin lama aku memandanginya, semakin familiar wajahnya... padahal aku merasa tidak pernah mengenalnya sebelumnya.
Matanya terbuka.
Sial! Aku salah tingkah.
Saking gugup dan malunya ditatap tiba-tiba, aku hampir kehilangan keseimbangan dari sandaran tanganku sendiri.
“Kau kenapa?” tanya John, memperhatikan reaksiku yang tiba-tiba panik.
“Ah, nggak apa-apa. Aku... hampir ketiduran,” jawabku berbohong.
Untung saja guru segera masuk ke kelas.,Kalau tidak, aku mungkin bakal bingung bagaimana menyembunyikan kekacauan perasaanku tadi.
Pelajaran berjalan cukup lancar.
Kebetulan, materi yang diajarkan hari ini sudah pernah kupelajari di sekolah lamaku. Jadi meskipun aku tak bisa mendengar penjelasan guru dengan jelas, aku tetap bisa mengikuti—karena aku sudah paham di luar kepala.
Waktu istirahat tiba.
Nube dan beberapa temannya mengajakku makan bersama, tapi aku memilih menyendiri.,Aku memutuskan menghabiskan waktu istirahatku di perpustakaan.,Setidaknya, aku bisa mencari bahan bacaan untuk menemani saat-saat sepi di rumah nanti.
Namun, ketika aku sedang mencari rak novel, aku terkejut melihat Boom—lagi. Dia berdiri di antara rak, membaca sebuah buku dengan serius.
Apa-apaan sih anak ini?! Kenapa aku bertemu dia lagi? Rasanya seperti sedang diikuti oleh seorang... psikopat.
Boom tampaknya menyadari keterkejutanku. Dia tersenyum kecil, lalu menutup bukunya perlahan, menyelipkan jari di antaranya sebagai penanda.
“Kau mengikutiku, ya?” katanya sambil menaikkan alis. Alih-alih menjawab, aku memilih membalikkan badan. Sial, anak itu muncul lagi!
“Kau menatapku saat aku tidur di kelas, kan?” katanya lagi—penuh percaya diri, menyebalkan.
Aku spontan berbalik arah dan menatapnya. Tapi tanpa kusadari... dia sudah berdiri sangat dekat. Terlalu dekat.
Aku terkejut.
Tidak ada jarak. Wajah kami hampir bersentuhan. Aku segera mundur cepat-cepat.
“Seharusnya aku yang tanya—kenapa kau mengikutiku? Bahkan sampai ke rumahku!” Wajahku memerah karena malu sekaligus kesal.
Boom tersenyum santai, masih memeluk bukunya.
Lalu dia menggeleng ringan.
“Kau terlalu percaya diri kalau aku mengikutimu. Aku sudah sering ke rumah itu—eh, itu rumahmu? Aku sudah sering ke sana bahkan sebelum kau datang ke pulau ini.” Nada bicaranya mengejek, penuh ledekan.
“Untuk apa kau sering ke rumahku?!” bentakku.
“Wah, ketus sekali—tentu saja untuk ambil kiriman dari Pak Pos. Jadi, pagi ini ada surat yang datang?”
Aku memandangnya heran. “Surat? Kenapa ada surat untukmu yang dikirim ke alamat rumahku?”
Dia menyunggingkan senyum. “Kau Tiara, kan? Gimana aku bisa yakin kalau tak ada papan namamu.” Tatapannya jatuh ke arah dadaku.
“Jaga tatapanmu!”
“Aku cuma ingin memastikan. Kau Tiara, bukan?” Sontak aku pun tertarik ingin melihat papan namanya, memastikan siapa sebenarnya anak ini. Tapi dia tidak menggunakan papan nama, jadi aku tidak tau siapa sebenarnya nama anak ini selain nama yang aku buat sendiri untuknya.
“Untuk apa kau ingin tahu siapa aku?”
“Kan sudah kubilang. Hanya ingin memastikan.”
“Untuk apa?!”
“Untuk... memastikan,” ulangnya dengan nada santai, membuatku makin jengkel.
Akh! Seperti bicara dengan orang gila!
Karena kesal, aku segera menjauh darinya.
“Pastikan suratnya datang, ya. Aku menunggunya!” serunya dari belakang dengan suara cukup nyaring.
Aku berhenti mendadak.
Tadi pagi... dan sekarang.
Kenapa aku bisa mendengar suaranya dengan begitu jelas?!
“Ada apa?” tanyanya, kini mendekat ke sampingku.
“Bisa kau berdiri di sana?” Aku menunjuk ke arah tertentu, memperkirakan jarak sekitar lima meter.
“Kenapa?”
“Ikuti saja!”
“Kalau aku tidak mau?”
Aku menatapnya tajam. “Ya sudah!” bentakku, lalu memutar badan dan mulai pergi.
Namun...
Tiba-tiba, ia menarik sejuput dari lengan bajuku. Aku terkejut. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lakukan.
Anak ini benar-benar psikopat!
“Kau apa-apaan sih?!”
Untung saja perpustakaan saat itu sepi. Tak ada orang lain, kecuali penjaga perpustakaan dan kami berdua. Kalau ada siswa lain di sana, mungkin aku sudah dilempari buku karena terlalu ribut.
Kurasa anak-anak di sekolah ini memang tidak punya ketertarikan untuk pergi ke perpustakaan.
Dan untung saja...
“Kau cepat sekali marah. Baiklah, aku akan memenuhi keinginanmu,” katanya sambil langsung berjalan menjauh dariku. “Seberapa jauh?” tanyanya dengan nada datar, lalu berdiri di tempat yang sebelumnya aku tunjuk. “Sudah cukup?” katanya lagi, memastikan posisinya.
Dan benar saja. Aku... masih bisa mendengar suaranya dengan jelas.
Jantungku berdengub keras karena ketidak biasaan ini.
Apa mungkin ini cuma halusinasi?
Mungkin aku terlalu berharap bisa mendengar lagi, sampai-sampai pikiranku memainkanku.
Tapi jika ini memang hanya halusinasi, rasanya menyakitkan sekali.
Halusinasi ini bukan membawa harapan—justru membuatku kembali terpuruk.
Aku terlalu berharap. Terlalu.
Nyatanya, aku tidak bisa mendengar lagi. Itu kenyataan.
Tidak ada yang bisa kuharapkan. Aku hanya seorang remaja cacat yang... terlalu banyak berharap.
Aku memutar tubuh, menjauh dari perpustakaan itu. Menjauh dari anak itu.
Aku tidak ingin terlalu berharap hanya karena pertemuanku dengannya.
Karena... pertemuanku dengannya malah membuatku semakin sakit.
Saat aku keluar dari perpustakaan, semua suara ikut menghilang. Sunyi kembali menguasai.
Bahkan suara bel masuk pun tidak bisa kudengar.
Nube lah yang akhirnya mendatangiku di taman, saat aku duduk memandangi anak-anak bermain softball.
Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang memperhatikan kekuranganku.
Dia mencariku karena menyadari aku tidak mendengar suara bel.
Dengan napas tersengal-sengal, ia membungkukkan badannya di depanku.
“Jangan pergi sendirian lagi, oke?!” katanya, masih terengah-engah. “Bel istirahat sudah berakhir. Ayo masuk ke kelas,” lanjutnya sambil menggenggam tanganku, menyuruhku untuk segera bangkit.
“Kenapa kau tahu aku ada di sini?” tanyaku, masih dalam genggamannya.
“Sejujurnya aku tidak tahu. Cuma kebetulan, setelah mencarimu di banyak tempat, aku akhirnya menemukanmu di sini.”
“Oh... terima kasih.”
“Kau harusnya mengandalkan aku. Ayo, mulai sekarang kita ke mana-mana bareng, ya?”
“Kau tidak perlu repot-repot. Aku bisa sendiri.”
“Jangan begitu, Tiara. Bagi kesulitanmu denganku, oke?!” pintanya dengan nada serius.
Sepanjang perjalanan menuju kelas, Nube terus berbicara tanpa henti.
Sebenarnya, aku sama sekali tidak menghiraukan ceritanya. Mataku hanya memandangi pohon-pohon dan langit di luar jendela koridor yang kami lalui.
Lalu...
Suara lembut dentingan piano terdengar jelas olehku—dari sebuah ruangan di depan kami. Aku tidak tahu siapa yang sedang bermain. Mungkin pelajaran seni sedang berlangsung.
Saking asyiknya berbicara, Nube tidak menyadari kalau aku sudah tidak berjalan di sampingnya. Langkahku terhenti di depan jendela besar ruangan itu.
Beberapa alat musik tampak tidak digunakan. Tapi ada satu piano besar di sudut ruangan.
Seorang anak laki-laki duduk membelakangiku, terlalu fokus dengan jari-jarinya yang menari di atas tuts. Ia tidak menyadari bahwa aku sedang memandangi permainannya yang sangat indah.
Sejenak, nostalgia itu kembali.
Aku rindu suara piano yang kini terasa asing di hidupku.
Aku lupa... bahwa kupingku rusak.
Aku lupa... bahwa seharusnya aku tidak bisa mendengar suara ini sejelas itu.
Tapi aku bisa.
Dan keterkejutan itu kembali datang...
Saat aku menyadari bahwa anak yang sedang bermain piano itu adalah... Boom.
Aku melihat wajahnya dari samping, saat Nube tiba-tiba menarikku.
Aku menatapnya—tak percaya.
Sungguh, aku benar-benar tidak percaya.
Ada apa dengan anak itu?
Kenapa... aku selalu bisa mendengar dengan jelas setiap kali dia ada?
Dan... kenapa harus selalu dia?