Aku melihat Ayah mengintip dari balik tirai ruang tamu saat Nube mengantarku pulang. Hanya sebentar—sekilas memastikan aku benar-benar turun dari motor. Setelah itu, ia menghilang dari balik jendela. Tak lama kemudian, lampu taman menyala. Entah kenapa, aku tersenyum tanpa alasan saat melangkah memasuki pekarangan rumah. Sebuah lagu tiba-tiba berdendang di kepalaku. Aku ingin bernyanyi…
“Kau yang ambil suratnya, ya?”
Sebuah suara mengejutkanku dari belakang. Jantungku nyaris lompat, dan lirik-lirik lagu yang tadi berputar di benakku langsung bubar tak beraturan.
Boom?
Ah?! Siapa sebenarnya anak ini? Kenapa dia selalu muncul tiba-tiba seperti bayangan?
“Kenapa kau mengagetkanku?!” seruku kesal, nyaris ingin melempar ponsel yang kugenggam ke tanah.
Dia hanya berdecak, menatapku dengan wajah mengeluh.
“Kau apakan suratnya?”
“Apa yang kau bicarakan? Surat? Surat apa?! Dan kenapa kau berdiri di depan rumahku seenaknya seperti ini?”
“Surat itu tidak ditujukan untukmu. Kenapa tidak kau biarkan saja di kotak surat?”
Aku menatapnya dengan tatapan heran. Anak ini… kenapa dari kemarin selalu muncul dengan seragam sekolah yang sama? Pertanyaan-pertanyaan ganjil kembali bermunculan di kepalaku, menimbulkan sensasi merinding di tengkuk dan melemahkan kakiku.
Perlahan aku melangkah pergi, berniat menghindar.
“Lepaskan bajuku!”
Aku tersentak ketika dia menarik kerah bajuku, menahanku agar tidak pergi begitu saja.
“Dimana suratnya?”
“Kenapa kau menuduhku? Aku bahkan belum genap dua hari tinggal di sini! Lagi pula, siapa sih di zaman sekarang yang masih kirim-kirim surat?! Kau ini aneh!”
Dia akhirnya melepaskan pegangannya. Tanpa sepatah kata, dia membalikkan badan dan berjalan ke arah sepedanya yang bersandar di dinding pagar. Ia pergi, tanpa pamit. Aneh.
Aku bergegas menuju pintu rumah. Tapi sebelum sempat masuk, dia berhenti di tengah pintu pagar yang setengah terbuka dan menoleh lagi.
“Apa itu kau?” tanyanya datar.
Aku menunjuk diriku sendiri.
“Aku? Maksudmu... apa?”
Dia tersenyum, melambaikan tangan, lalu kembali melangkah.
“Jangan ambil surat apa pun kalau ada yang datang. Itu pasti untukku.”
Setelah itu, dia benar-benar pergi.
Keheningan menyelimuti rumah cukup lama. Mungkin karena aku tak menggunakan alat bantu dengarku. Sudah dua puluh menit sejak Ayah memberi kabar bahwa kepala sekolah datang, tapi aku memutuskan untuk tetap berada di kamar, berbaring, tak melakukan apa-apa.
Sekilas, ingatanku melayang ke satu jam lalu.
“Apa itu kau?”
Kalimat itu menempel di kepalaku. Bisa jadi... itu alasan dia datang? Tapi untuk apa? Surat? Kenapa dia menunggu surat yang ditujukan ke alamat rumahku?
Aku menggeleng keras. Aku tak mengerti kenapa aku malah tersenyum saat mengingat senyumnya sebelum pergi. Tapi sungguh... senyum itu manis. Dan apa salahnya tersenyum karena itu?
Aku tersenyum lagi.
Tidak apa-apa. Tidak salah, kan, mengagumi senyum seseorang? Lagi pula...
“Ow!”
Aku meringis saat melihat langit-langit kamar—di sana seolah tercermin wajahku sendiri yang sedang tersenyum. Aku baru sadar, sudah lama sekali aku tidak tersenyum seperti ini. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku tersenyum dengan tulus.
Bukankah ini... aneh?
Bagaimana mungkin aku bisa tersenyum karena seorang anak laki-laki yang kutemui secara misterius hanya dua hari terakhir ini?
Ya Tuhan... aku terduduk kaget. Jangan-jangan dia... bukan manusia?
Napas terasa sesak. Aku bahkan lupa bagaimana cara bernapas dengan benar. Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan tergesa ke balkon. Sore tadi, aku yakin jarak kami lebih dari satu meter. Tapi... aku mendengar suaranya dengan sangat jelas—tanpa alat bantu dengar.
Aku panik. Menuruni tangga dengan langkah terburu-buru.
Di ruang tengah, aku melihat Ayah berbicara serius dengan kepala sekolah.
“Ayah!” panggilku keras, tanpa peduli tata krama.
“Ada apa?”
Ayah menatapku bingung, mungkin karena langkah kakiku yang menggetarkan rumah kayu ini.
Kini jarakku hanya satu meter darinya. Tapi suara Ayah... hanya samar. Aku kembali membaca bibir dan gerak tubuhnya. Aku tak bisa mendengar. Lagi. Kenyataan itu menamparku seperti dinginnya malam.
“Bisa bicara lagi, Ayah?”
Suara dan wajahku mungkin sudah menunjukkan kekecewaan. Aku tahu... ini kenyataan yang tak bisa kuhindari.
Aku tak bisa dengar. Anak itu… dia pasti bukan manusia.
Mungkin... hantu.
Atau malaikat pencabut nyawa yang sedang menungguku... dengan surat kematianku di kotak pos tua itu.
Aku pernah mendengar mitos: orang akan mengalami hal-hal aneh menjelang ajalnya. Dua hari ini… semuanya terasa tidak wajar. Hari ini aku mendengar suara dari sepuluh meter—jelas. Sangat jelas. Tapi… pendengaranku rusak.
Apa ini pertanda aku akan mati?
Malam begitu sunyi. Lampu kamar tidak kunyalakan. Aku melamun dalam gelap.
Apa aku akan benar-benar mati kali ini?
Bukankah aku memang mengharapkannya?
Lagi pula… untuk apa aku hidup lebih lama, jika aku tak bisa melakukan apa-apa?