Loading...
Logo TinLit
Read Story - Heavenly Project
MENU
About Us  

"Nah, akhirnya masuk juga nih anak." 

Sakha tersenyum tipis saja, menggeser kursi di sudut belakang kelas lalu mengeluarkan beberapa buku catatan dari tas. Jam pelajaran ketiga, maka kali ini sudah dapat dipastikan ia meninggalkan kelas selama satu setengah jam lebih lamanya. Rona wajahnya yang tadi pucat berangsur hilang begitupula dengan lingkaran warna-warni yang datang begitu saja ketika pandangannya berkunang.

Panggil saja Nick, teman sebangkunya itu senantiasa memperhatikan Sakha dari sudut matanya. Ingin rasanya Sakha bertanya materi apa yang disampaikan selama ia tertinggal, tetapi sepertinya sia-sia. Bagaimana tidak, lihat saja cowok dengan ikatan dasi yang mengelilingi dahi itu terus-terusan membaca komik di balik buku pelajarannya. Sakha akui, sekilas Nick memang senantiasa sibuk dengan dunianya, jarang ada yang mendekat, tetapi karena memiliki hobi yang saling berkaitan akhirnya keduanya mempunyai banyak kesamaan. 

Sakha menepuk buku pelajaran Nick dengan kuat, berhasil membuat guru yang tengah menerangkan pelajaran hening sejenak, menatap keduanya. "Sekarang tuh pelajaran sejarah! Bukan bahasa Jepang!" ucap Sakha pelan. 

"Berisik lo! Jepang juga bagian dari sejarah!" Nick menutup bacaannya, mendesis. "Udah berapa kali lo ambruk dalam satu semester ini?" 

"Ya, maaf." Sakha mengacak puncak kepalanya dengan gusar. "Besok-besok jadi vampir aja kali, ya, biar gampang nambah darah." 

"Lo?" Nick menggeleng pelan, setelah puas menatap sahabatnya itu dengan pandangan meremehkan. "Kalau jadi vampir kayaknya bakal mati sekali lagi gara-gara kelaparan. Boro-boro nambah darah, ketemu orang aja udah kabur duluan."

Diam-diam Sakha mendesis, seburuk itukah dirinya? Bukankah baik atau tidaknya pergaulan tidak ditentukan dengan banyaknya pertemanan, tapi kualitas di dalamnya? 

Bingung. Padahal dulu ia mengira bahwa semakin bertambah umur seseorang, maka semakin bertambah pula pengetahuan dalam menjawab pertanyaan terkait bermacam hal. Namun nyatanya dibandingkan jawaban yang ia temukan, malah seabrek pertanyaan yang selalu terlintas di pikiran. Bersikap dewasa itu sebenarnya seperti apa? Apakah ada ukuran yang pasti untuk mengkategorikan baik atau buruknya seseorang? Ah, lagipula kesuksesan itu apakah diukur dari keberhasilan menggapai cita-cita dan materi? Apa tidak ada yang lain?

Sakha menarik napas panjang, perlahan ia memijit kembali kepalanya yang tertunduk mentapi teks buku pelajaran. Semakin memikirkannya, semakin membuat Sakha ingin mengeluarkan isi perutnya sekarang. 

"Ah, dia masuk ternyata." Nick menggumam pelan, lalu mendelik dan meletakkan komik ke laci meja ketika salah satu siswi dengan satu kuciran rambutnya masuk ke kelas. "Orang gila itu benar-benar nggak bisa sehari aja bolos. Gue nggak bisa baca komik dengan tenang."  

Sakha tidak menanggapi. Kedua bola matanya terpaku, setiap pergerakkan dan ekspresi cewek itu entah mengapa bagi Sakha menghibur. Reina Binari Cahya, orang tua cewek itu benar-benar tidak salah dalam memberikan nama. Meskipun--sebagai ketua kelas cewek itu terkenal dan disiplin dengan aturan, jika melanggar siap-siap saja kejadiannya seperti Nick tempo hari. Komik-komik itu akan disita dan disumbang ke perpustakaan. 

Menyeramkan, tapi mengagumkan, pikir Sakha. 

"Sakha, Reina." 

Reina yang membenarkan letak kuciran rambutnya, kini mengangkat kepala. Begitu juga dengan Sakha yang tanpa berkedip memperhatikan seseorang kini pundaknya ditepuk dengan kuat berhasil membuat beberapa pasang mata tertuju kepadanya. Guru yang tadi menerangkan setiap kejadian bersejarah dengan metode akar pohon, kini menutup bukunya begitu musik klasik Fur Elise mengalun melalui pengeras suara. 

"Kalian berdua saya jadikan satu kelompok. Untuk bentuk tugasnya bisa tanyakan ke teman-teman lain." 

Sakha terdiam sejenak lalu tersenyum tipis, mengangguk sebagai pertanda menanggapi. Seketika kedua matanya bersitatap dengan cewek bermata tajam itu, sudut alis Reina semakin menekuk, begitu pula dengan ekspresi wajahnya yang sama sekali tidak pernah anggun. Entah apa yang digumamkan cewek itu melalui bibir kecilnya, tetapi jika dugaan Sakha benar maka itu berisi umpatan untuknya. 

 

***

 

"Tadi gue udah tanya sama anak-anak sekelas. Bab lain udah pada diambil, sisa untuk kita bagian kerajaan Hindu. Itu juga bagian tentang Singasari. Gue nggak mau referensi kita cuma mengandalkan buku cetak di sekolah. Gue harap lo cari penjelasan dari sumber-sumber lainnya biar ada bahan diskusi dan gue maunya ...." 

Telinga Sakha berdengung rasanya mendengar suara melengking yang berbicara begitu cepat. Alih-alih menanggapi, untuk memahami saja rasanya Sakha tidak mampu. Poin yang ia dapat dari segala penjelasan Reina hanyalah bab kerjaan Singasari dan cari juga di referensi lain. Sisanya? Sudahlah, abaikan saja, ada banyak tuntutan sepertinya. Tidak hanya menargetkan nilai yang sempurna tetapi juga bagaimana agar kelas bisa berjalan lancar dengan bahan diskusi yang nanti dibawakan.

 "Jadi intinya, kita harus saling kerjasama, oke? Meskipun gue kayak gini, apa pun itu hal yang tidak menyenangkan untuk lo silahkan tegur gue. Sela aja pembicaraan gue kalau bagi lo ada yang janggal atau nggak setuju. Tapi ingat, gue nggak bakal berbaik hati kalau lihat lo sedikit saja lengah atau malas-malasan. Gue nggak tau lo peduli sama nilai-nilai lo apa nggak, tapi yang pasti gue cukup ketat dalam hal itu, mengerti?" 

Sakha mengangguk, menghirup kuah bubur kacang hijau. Lihatlah, kantin yang sedari tadi ramai dan berdesakkan kini perlahan sepi, piring-piring sisa makanan sudah ditumpuk di setiap sudut etalase, tetapi tidak untuk makan siang milik Reina. Sayur asem yang tadinya mengepulkan asap dan bau yang menyengat kini hilang, begitu juga dengan lele yang tadi sepertinya gurih kini mulai terlihat titik-titik minyaknya. Sakha menggeser piring milik gadis itu dengan pelan. 

Reina menatap sengit. "Apaan?" 

"Makan," ucap Sakha, lalu menunjuk jam tangan. "Sebentar lagi masuk." 

Tanpa bicara ataupun berniat mengubah ekspresi wajahnya, Reina meraih sendok, mengelapnya dengan tisu. "Bubur bukannya buat sarapan pagi? Nggak kelaparan memangnya? Lo dari pagi tadi belum makan?"

"Nggak sempat sarapan. Jelas lapar," ucap Sakha langsung. 

Reina mendelik, sesendok nasi yang tadinya masih di udara kini ia arahkan ke mulutnya. Mengunyah dengan kesal. 

Sakha mengelap mulut, kepalanya yang tertunduk diam-diam melirik gadis itu. "Saya ada salah bicara?"

Reina menggeleng, makan dengan cepat seakan lagi-lagi ada hal penting yang membuatnya terburu-buru. Tisu disambar, sebotol air mineral diteguk hingga menyisakan setengah, lalu secepat mungkin ia bangkit, meninggalkan Sakha yang mengerjapkan mata tidak mengerti.

Apa ia barusan membuat kesalahan?

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinderella And The Bad Prince
672      453     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Spektrum Amalia
569      391     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Sebab Pria Tidak Berduka
79      67     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
For Cello
2989      1020     3     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...
Perempuan Beracun
54      51     5     
Inspirational
Racuni diri sendiri dengan membawanya di kota lalu tersesat? Pulang-pulang melihat mayat yang memilukan milik si ayah. Berada di semester lima, mengikuti program kampus, mencoba kesuksesan dibagian menulis lalu gagal. Semua tertawa Semua meludah Tapi jika satu langkah tidak dilangkahinya, maka benar dia adalah perempuan beracun. _________
Let's Play the Game
303      259     1     
Fantasy
Aku datang membawa permainan baru untuk kalian. Jika kalian menang terima hadiahnya. Tapi, jika kalah terima hukumannya. let's play the game!
Adelia's Memory
498      321     1     
Short Story
mengingat sesuatu tentunya ada yang buruk dan ada yang indah, sama, keduanya sulit untuk dilupakan tentunya mudah untuk diingat, jangankan diingat, terkadang ingatan-ingatan itu datang sendiri, bermain di kepala, di sela-sela pikirian. itulah yang Adel rasakan... apa yang ada di ingatan Adel?
Survive in another city
95      81     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Warisan Tak Ternilai
160      40     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
My Best Man
142      123     1     
Romance
Impian serta masa depan Malaka harus hancur hanya dalam satu malam saja. Dia harus menerima takdirnya. Mengandung seorang bayi—dari salah satu pelaku yang sudah melecehkan dirinya. Tidak mau dinikahkan dengan salah satu pelaku, karena yakin hidupnya akan semakin malang, Malaka kabur hingga ke Jakarta dalam kondisi perut yang telah membesar. Dia ditemukan oleh dua orang teman baik dari m...