Kalau bisa, Sasha ingin sekolah dihapus dari kalender nasional.
Ia menguap lebar untuk ketiga kalinya pagi itu. Rambutnya masih sedikit acak-acakan, dan rasa kantuk belum sepenuhnya hilang meski matahari sudah mulai menyengat halaman sekolah.
Di depannya, kerumunan siswa tampak berebut posisi untuk melihat pengumuman pembagian kelas semester baru. Sebagian bersorak senang, sebagian lagi mengumpat pelan. Sasha hanya menatap mereka dengan ekspresi datar.
“Seolah pindah kelas bisa mengubah nasib lo jadi lebih baik,” gumamnya sinis.
Males berdesakan, Sasha menyingkir ke papan mading sebelah. Tak seramai papan pengumuman, papan ini memajang daftar nilai dan peringkat tahunan—pengingat yang tidak diinginkan oleh sebagian besar siswa.
Matanya menyusuri daftar hingga menemukan namanya.
Alissa Chasya Rafika – Peringkat 251 dari 268 siswa.
Ia mendecak pelan. “Masih konsisten,” katanya miris.
Sasha tahu dirinya bukan siswa cemerlang. Tapi bukan berarti dia bodoh. Menurutnya, malas dan tak pintar adalah dua hal berbeda. Dan dia jelas hanya malas.
Ia hendak melangkah ke papan pembagian kelas ketika matanya tertumbuk pada satu pamflet yang baru ditempel.
"SNBP & SNBT : Masa Depan Dimulai dari Sini"
Hanya membaca judulnya saja sudah membuat perutnya mules. Semua orang di sekolah tampaknya mulai sibuk dengan mimpi masuk PTN, dan Sasha... belum punya rencana apa-apa.
“Gue tahu gue ganteng, tapi nggak usah diliatin gitu juga, Sha,” suara berat yang sudah familiar menyusup di belakangnya.
Sasha menoleh malas. Di sana berdiri Riko—si bad boy sekolah yang terkenal karena kelakuan sablengnya.
“Siapa juga yang ngeliatin? Pede banget,” sahut Sasha, mengangkat alis.
“Lu. Soalnya cuma kita berdua di sini.”
Sasha melipat tangan di dada, malas menanggapi. Tapi Riko belum selesai.
“Alissa Chasya Rafika. Peringkat 251. Lu yakin masih bisa daftar SNBP?”
Sasha menegang. Matanya melotot. “Gimana lo tahu—”
“Gampang, tadi gue liat nama lo di daftar,” potong Riko santai. “Kasihan, sih.”
Sasha menghela napas panjang. Calm down. Jangan terpancing.
“Kalau gue nggak bisa SNBP, masih ada SNBT kan dan ujian mandiri lain? Nggak ada yang ngelarang gue daftar.”
“SNBT, huh? Lo yakin bisa lulus? Nilai segitu, terus gaya belajar lo kayak zombie abis nonton drakor.”
Sasha nyaris tertawa, tapi kesal lebih mendominasi. Ia menatap Riko tajam.
“Setidaknya gue nggak dijuluki badboy madesu seantero sekolah,” balasnya. “Lo peringkat 260. Gila, itu cuma beda 8 urutan dari siswa terbawah.”
Riko tertawa pendek, tapi bukan karena lucu.
“Oke, kita taruhan,” katanya tiba-tiba. “Siapa yang bisa lolos PTN negeri—di jurusan pilihan masing-masing. Yang kalah harus nurut satu permintaan pemenang. Apa aja.”
Sasha terdiam sejenak, lalu mengangkat dagu.
“Gue terima. Dan gue bakal buktiin ke lo kalau si pemalas ini bisa ngalahin si bocah rusuh kayak lo.”
Riko tersenyum miring, lalu berbalik meninggalkan Sasha.
“Siap-siap kalah, Sha,” katanya sambil melambai tanpa menoleh.
Sasha mengepalkan tangan, matanya menyala. Untuk pertama kalinya, dia merasa tertantang.
Dan anehnya, dia suka rasanya.