Pembantaian
Dari kejauhan, Naln menatap desa yang tampak indah di bawah sinar lampu rumah yang menyala redup di malam hari. Desa itu terlihat damai, aman, dan tenang, seolah tak menyadari ancaman yang segera menghampiri. Naln menoleh ke belakang, memperhatikan ratusan Eavron yang berdiri berjajar, dan sepuluh ular hitam yang meliuk-liuk di samping kanannya.
“Siap, semuanya,” suara Naln berat dan penuh tekad.
“Kalian akan membantu aku menjalankan rencana ini. Ingat, jangan hancurkan kampung tempat aku dulu tinggal. Itu bagian terakhir. Ular-ular, bakar rumah-rumah mereka. Eavron, keluarkan penduduk dari tempat persembunyian. Aku akan mengubah mereka menjadi Eavron. Mengerti?”
Suasana hening, tanpa jawaban. Naln mengangkat tangannya dan menyapu para Eavron itu.
“Kalau begitu... kita mulai.”
***
Gemercik api terdengar di antara puing-puing bangunan dan semak-semak yang mulai hangus terbakar. Suara geraman Eavron bergema di mana-mana, memenuhi udara dengan nuansa kelam dan mengerikan. Di samping Naln, desisan ular yang mengerikan menggema pelan, mengiringi kengerian malam itu.
Naln menatap tangannya yang masih bergetar, menyadari betapa baru beberapa menit lalu ia mengubah ratusan manusia menjadi makhluk hitam, Eavron. Rasa dingin menyusup ke dalam dadanya, tapi matanya tetap tajam, penuh dengan tekad dan kekuatan yang kini mengalir di dalam dirinya.
“Naln? Apa yang telah kau perbuat?” Suara tanpa wujud itu…Alam. Ia pasti telah menyaksikan aksi Naln menyentuh banyak penduduk, dan mengubah mereka menjadi Eavron. Bagaimana Naln menyuruh para sepuluh ular untuk membakar rumah para penduduk. Alam meyaksikan itu semua, seolah ia menyaksikan masa lalu yang terulang Kembali. Namun berbeda orang.
“Diam kau, Alam, aku tak mau mendengar ocehan mu.” Suara Naln terdengar seolah ia tau apa yang akan dia dengar dari Alam.
“Kau tahu kan ini adalah perbuatan yang tidak baik?”
“Sudah ku bilang, diam-“
“Mana ‘Naln’ yang aku kenal?”
“Diam! Biarkan aku melakukan apa saja yang ku mau! Kau jangan banyak komen!” Alam terdiam, ia seperti pernah mendengar kata-kata ini di lontarkan kepadanya.
Hening. Alam tidak menjawab. Naln menunduk sebentar, lalu melanjutkan langkahnya menuju kampung yang pernah ia sebut rumah. Kali ini, untuk satu tujuan, pembantaian berikutnya.
Sesampainya di sana, ia mendapati kampungnya masih tenang, seolah buta dan tuli terhadap kekacauan yang telah merenggut desa di seberang. Tak ada tanda-tanda kekhawatiran. Tak ada bayangan bahwa malapetaka tengah mendekat.
Naln menatap gerbang kayu yang berdiri di depan matanya. Langkahnya pelan. Ia menoleh ke belakang. “Bersiap, Eavron. Ular. Lakukan hal yang sama seperti tadi.” Ia diam sejenak, suaranya menurun.
“Tapi... sisakan rumahku. Itu bagian terakhir.” Kemudian.
“Serang.”
Dalam sekejap, para Eavron dan ular-ular itu bergerak. Eavron menyerbu, mencabik udara dengan jeritan dan geraman. Ular-ular membuka mulut mereka, menyemburkan api yang langsung terseret angin malam. Api melahap atap, dinding, hingga pilar-pilar rumah dengan cepat.
Jeritan warga pecah di udara. Mereka berlarian, mencoba menyelamatkan diri dari neraka yang tiba-tiba datang.
Di tengah kekacauan, Naln melangkah tanpa tergesa. Tangannya terbuka, perlahan mulai mengumpulkan energi merah dari kalung yang menggantung di lehernya. Cahaya samar merambat ke telapak tangannya.
Splash!
Naln mendekat ke seorang pria tua yang sedang berusaha menyelamatkan anak kecil. Dengan dingin, ia menggenggam kepala si pria. Dalam hitungan detik, wajah manusia itu berubah menjadi kekosongan hitam.
Eavron baru lahir.
***
Kembali ke posisi Naln sekarang.
Di belakangnya, tubuh Vorlen dan Tirell tergeletak diam di atas lantai kayu yang dingin. Sunyi. Tak ada suara. Hanya gemetar napas yang perlahan-lahan menghilang.
Lenard berdiri membeku. Matanya terpaku pada pemandangan yang baru saja disaksikannya, terlalu kejam untuk diterima, terlalu nyata untuk dianggap mimpi. Tubuhnya mulai bergetar, lututnya lemas, dan air mata jatuh begitu saja, membasahi pipinya tanpa bisa dicegah.
Naln masih diam di tempat. Tangannya gemetar. Pedang yang tadi begitu kokoh digenggamnya… kini terjatuh ke lantai dengan bunyi gedebuk yang menggema sunyi.
Ia menoleh perlahan ke arah Lenard.
Tatapan mereka bertemu. Dan saat itu, Lenard melihatnya. Retakan hitam di kening kakaknya bercabang satu lagi.
“A-apa…yang…kakak lakukan?....Ayah…Ibu…” Bibir Lenard bergetar. Pecah sudah tangisnnya. Ia menatap dua tubuh ayah dan ibunya yang tergeletak.
“Ayah…Ibu…”
“Mereka pantas ma-“
“KENAPA!? KAKAK!” Suara Lenard terdengar di sertai tangisan yang meledak.
“BARU SAJA AKU MELIHAT SENYUMAN AYAH! Sekarang?....SEMUA ITU HILANG!” Naln terdiam, ada rasa bersalah yang muncul setelah melihat reaksi Lenard yang menangis dan membentaknya.
“Aku biarkan kau pergi, Lenard. Maaf…Aku sekarang menjadi seperti ini karna para manusia yang mengolok-olok ku. Mereka yang menumbuhkan rasa benci dan dendam dalam diriku. Klau kau marah, silahkan. Itu suudah pantas ku dapatkan sebagai kakak yang tidak becus menjalankan hidupnya seperti gelar yang di dapat.” Nafas Lenard sesak. Ia menatap kakaknya dengan ekspresi kesal. Lalu tatapannya terpaku pada sesuatu yang berkilau di tangan ibunya.
Awalnya Lenard menatap sang Ibu dan kakaknya bergantian. Ia sedang merencanakan sesuatu. Begitu sudah bulat. Lenard dengan cepat bangkit. Tangannya menyambar cincin pemberian ayah kepada sang ibu. Cincin itu adalah benda yang berkilau di atas telapak tangan Ibunya yang tergeletak. Lenard berlari. Pergi sendiri melewati pintu belakang rumah.
Naln hanya diam, namun, tatapannya sedari tadi tak lepas dari Lenard yang kabur. Namun ia tak mencegah, malah membiarkan. Lenard bukan target pembantaian, tetapi target yang harus ia lindungi.
Naln perlahan melangkah keluar. Saat ia sudah berada di depan rumah. Ia berbalik, menatap rumah tersebut.
“Bakar rumah ini beserta isinya.”
WUUUSH!
Seketika, api menyambar dengan cepat. Membara bagaikan emosi yang tak tertahankan. Membakar dengan cepat rumah itu beserta isinya.
Naln berbalik badan, misinya sudah selesai.