Berkumpul kembali
Keesokan harinya, saat sore mulai turun perlahan. Naln dan Sron kembali berdiri di tengah tanah lapang di balik hutan lebat Deringle. Sron berdiri di sana, seperti biasa tegak, sunyi, dan tajam.
Tanpa banyak kata, ia melepaskan kalung merah dari lehernya, kalung dengan permata berwarna darah, dua segitiga saling bertolak belakang, simbol yang sama seperti di matanya dan batang pohon dalam mimpi Naln. Ia melemparkannya ke arah Naln. Naln menangkapnya dengan cepat.
“Pakai itu. Hari ini kita latihan cara memakainya,” kata Sron datar.
Naln awalnya ragu. Tapi akhirnya ia melingkarkan kalung itu ke lehernya. Dingin... seperti es. Tapi perlahan terasa menyatu dengan tubuhnya.
“Kali ini, kita akan melatih cara mengendalikan Eavron,” ujar Sron.
“Kemarin kau mengontrol mereka lewat hipnotis. Tapi sekarang... cukup dengan kehendakmu sendiri. Selama kalung itu melekat padamu, mereka akan patuh.” Sron diam sejenak, matanya menajam.
“Coba panggil dua Eavron.”
Naln menarik napas. Mulai membayangkan sosok hitam tinggi dengan mata biru menyala itu. Dalam hitungan detik, dua makhluk itu muncul dari atas. Naln terkejut... tapi juga kagum.
“Bagus,” ujar Sron singkat.
“Sekarang, perintahkan mereka.” Naln mengangguk. Ia memberi perintah sederhana, cari kayu bakar. Tanpa suara, dua Eavron itu segera bergerak, menyusuri hutan seperti hantu. Satu demi satu batang kayu dikumpulkan. Efisien. Tak bercela.
Naln mengingat momen di masa lalu saat ia mencari kayu bakar bersama Lenard, ditemani suara-suara alam yang membimbingnya. Sekarang, ia tidak lagi dibantu alam. Tapi oleh makhluk hitam berjiwa kosong.
Setelah itu, perintah Naln bertambah. Menebang pohon. Membersihkan semak. Menyapu rumah Sron. Bahkan memperbaiki pagar kayu yang rusak. Semua dilakukan tanpa keluhan, tanpa tanya.
Ia bahkan mencoba memanggil lebih dari dua... dan berhasil. Tiga. Empat. Lima. Semuanya patuh. Sron menyeringai tipis.
“Mantap.” Pujinya.
Naln berdiri, masih memandangi Eavron-Eavron itu bekerja. Tapi dalam diam, ada perasaan aneh yang merayap di dadanya. Kekuatan ini besar... tapi juga menyeramkan. Mereka hanya tahu taat. Tidak tahu benar atau salah.
Naln perlahan menghampiri Sron. Pria berambut putih itu menoleh, lalu mengangkat tangannya dan mulai mengacak-acak rambut Naln dengan satu tangan.
"Bagus, Naln," ucapnya, kali ini dengan senyum yang... berbeda. Bukan senyum palsu. Tapi hangat, atau setidaknya, terlihat seperti itu. Naln memandangnya lekat-lekat, lalu bertanya, pelan,
"Sron... bagaimana caranya mengubah manusia menjadi Eavron?" Sron terkekeh pelan. Tangannya berhenti mengacak rambut Naln.
“Gampang,” katanya.
“Bayangkan energi dari kalung itu mengalir ke tubuhmu. Lalu kumpulkan ke satu titik, telapak tanganmu. Saat kau menyentuh targetmu, ia akan berubah... jadi Eavron.” Naln menelan ludah. Tapi Sron belum selesai.
“Sebenarnya, bisa juga tanpa menyentuh,” lanjutnya.
“Tinggal kumpulkan energinya di mata. Lalu... tatap targetmu.” Ia memejamkan mata sebentar, lalu membukanya lagi.
“Sejenak saja. Dan mereka akan berubah. Tapi itu lebih sulit, dan butuh kendali yang jauh lebih kuat.” Naln membeku. Pikirannya menggantung. Tak tahu harus bertanya apa lagi. Sron tersenyum kecil, kali ini lebih... berbahaya.
“Tapi itu nanti saja. Sekarang belum waktunya melatih itu.” Sron berdiri tegak, membalikkan badan.
"Tapi tentu... untuk bisa melatihnya, kita butuh kelinci percobaan.” Naln menoleh cepat.
“Maksudmu... manusia?” Sron tertawa ringan, seperti mendengar lelucon yang menyenangkan.
“Iya lah. Apa lagi?” Ia berbalik lagi menghadap Naln. Matanya menyipit.
“Namanya juga mengubah manusia jadi Eavron.” Naln menggigit bibir. Dadanya sesak.
“Tak apa, Naln,” suara Sron berubah pelan, dingin. Ia berjongkok di depan Naln, menatap lurus ke matanya.
“Ini... kesempatanmu. Membalas dendam pada mereka yang menyebutmu monster. Yang memukulmu. Yang ingin kau enyah dari dunia ini.” Tangannya menyentuh pundak Naln, mencengkeramnya pelan namun kuat.
“Balaskan dendammu, Naln. Ubah mereka semua. Buat mereka tahu rasanya jadi kau. Atau... lebih tepatnya, jadi milikmu.” Naln tak menjawab. Kepalanya penuh keraguan, bisikan, amarah... dan rasa takut terhadap dirinya sendiri. Sron berdiri kembali, matanya menatap langit yang mulai memerah oleh senja.
“Cepat atau lambat... kau akan melakukannya, Naln.” Dan suara itu, meski pelan... terdengar seperti takdir yang mulai mengetuk.
***
Tepat dua tahun setelah hari itu…
Hari itu akhirnya datang. Malam yang selama ini hanya menjadi bisikan pelan dari mulut Sron... kini menjadi kenyataan.
Naln terbangun di tengah malam. Udara di dalam rumah terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya berasal dari dirinya sendiri. Tanpa banyak bicara, tanpa keraguan sedikit pun di matanya, ia bangkit dari ranjang.
Tangannya meraih kalung merah yang tergeletak di atas meja kayu. Kini Naln bukan lagi anak berusia dua belas tahun yang terhuyung-huyung di hutan, berdarah-darah, dan ketakutan. Ia telah berumur empat belas tahun. Dan dalam dua tahun itu, kekuatannya tumbuh... bersama sesuatu yang lain.
Retakan di keningnya kini bercabang lebih jauh, menjalar seperti akar pohon mati di kulitnya. Helaian rambut putihnya menyelinap di antara hitam, lebih banyak dari sebelumnya,
Ia mengenakan hoodie hitam kesayangannya. Tudungnya ditarik naik, menutupi rambut dan retakan di dahinya. Ia menatap sejenak bayangannya di kaca kecil di sudut ruangan. Datar. Tak ada emosi. Lalu berbalik. Kakinya melangkah ke luar rumah. Tanpa suara. Tak ada angin malam, hanya keheningan.
Waktunya berangkat. Aku akan kembali.
Lenard...
***
Ini adalah hari yang sangat menyenangkan bagi salah satu keluarga kecil. Mereka kedatangan orang yang sudah lama mereka tunggu. Bertahun-tahun tak melihat batang hidungnya. Tak melihat senyuman dan tawa yang tersungging di bibirnya. Hanya uang yang memberikan kabar bahwa seseorang itu masih hidup.
Namun sekarang, orang itu datang. Malam yang Bahagia. Keluarga mereka berkumpul Kembali di rumah yang sama. Walaupun kekutrangan satu orang yang telah pergi. Entah akan Kembali atau tidak.
Lenard, ia sedari tadi bolak-balik dari dapur ke ruang tengah. Ia tengah sibuk mengantarkan makanan yang telah ibunya siapkan untuk makan malam yang special hari ini. Sang Ayah kini sudah puklang dari luar kota. Setelah berkerja dan tinggal di sana selama bertahun-tahun. Akhirnya sekarang beliau pulang. Sudah waktunya berlibur menjenguk keluarga.
Sang ayah, Vorlen. Duduk dengan senyuman yang tak henti terukir di bibirnya. Menyaksikan anak bungsunya dan sang istri sibuk mempersiapkan makanan makan malam untuk sang Ayah dan mereka sendiri. Vorlen terkekeh, saat melihat Lenard yang kewalahan membawa makanan berkuah.
Ia bangkit, lalu membantu anak bungsunya yang sekarang telah menginjak umur dua belas tahun. Sang ayah menaruh wadah berisi sop yang berkuah. Lalu Kembali duduk di tempat sebelumnya. Lenard akhirnya duduk. Nafasnya ter engah-engah karna kelelahan bolak-balik menaruh makanan. Vorlen tersenyum. Tangannya terangkat untuk membelai rambut anaknya yang sedikit berantakan.
“Udah besar kamu, Lenard, Ayah kangen sama kamu yang dulu.” Vorlen terkekeh. Lalu melanjutkan.
“Dulu, kamu ga setinggi ini, masih seperut ayah, sekarang, udah seketek aja.” Lenard menatap ayahnya yang sekarang sedang tertawa. Perlaahan senyuman terukir di bibirnya.
“Ngobrol kok gak ngajak.” Sang ibu menimpali. Ia melangkah ke ruang tengah dengan bakul yang berisi nasi di atas tangannya.
“Kamu di dapur sih.” Vorlen membalas dengan senyuman mengejek. Tirell mengangkat bahu. Ia menaruh bakul yang berisi nasi di tengah-tengah lauk pauk yang banyak. Lalu ia duduk di Seberang suaminya.
“Udah lama ya ga makan malam bareng.” Tirell tersenyum, tatapannya bertemu dengan Vorlen. Seketika rona merah perlahan muncul di pipinya. Ia sudah lama tidak menyaksikan senyuman manis yang terukir dari bibir Tirell, istrinya.
“Kalo mau bucin jangan di deket aku dong, Ibu, Ayah.” Tirell dan Vorlen tertawa, rona merah masih menempel di pipinya.
“Maaf Lenard, habisnya Ayah kangen sama Ibu.” Vorlen mencubit pipi Lenard, gemas.
“Jangan di depan aku juga dong, Ayah.” Vorlen terkekeh.
“Iya, iya, enggak lagi kok.” Lenard cemberut. Ia kesal. Bukannya di perhatikan juga sama Ayah. Malah jadi nyamuk dia natara mereka berdua. Kan sakit.
“Udah, udah, ayo di makan, Kalo udah dingin kan ga enak.” Tirell mengambil dua mangkuk, lalu membagikannya kepada Vorlen dan Lenard. Tak lupa, ia mengambil satu piring lagi, untuknya.
Vorlen mengambil piring Lenard yang baru saja sang pemilik ingin raih.
“Sini Ayah ambilin, khusus buat kamu.” Seketika, senyuman Lenard melebar.
“Kamu mau pake lauk apa aja?” Tanya samng ayah seraya mengambil dua centong nasi.” Lenard menunjuk mangkok yang berisi daging rendang.
“Bumbunya banyaki ya, Ayah.”
“Siap, Bos.” Vorlen mengambil sendok. Menggunakannya untuk menyendok sepotong daging rendang dan mengambil bumbunya lebih banyak.
“Dagingnya mau dua.” Vorlen dan Tirell seketika tertawa. Tapi Vorlen tetap meyendok satu potong daging lagi. Lalu memberikan piring tersebut kepada Lenard.
“Makan yang banyak ya.” Lenard mengangguk. Tentu saja. Ia sudah merencanakan ingin menambah makanannya. Apalagi daging rendang favorit.
Vorlen dan Tirell juga mengambil makanannya. Tapi bedanya, mereka mengambil masing-masing. Lalu memakannya sendiri.
Ruangan menjadi sunyi. Menyisakan suara sendok yang bergesekan dengan piring, dan suara kunyahan dari tiga mulut yang sedang makan.
“Omong-omong, Naln mana? Ayah belum melihat mata birunya yang indah.” Ruangan seketika Kembali hening. Lebih hening. Tirell berhenti menyendok. Lenard berhenti mengunyah. Tersisa suara jam dinding yang bekerja.
Vorlen ikut terdiam. Salah kah aku bertanya? Pikirnya.
“Kenapa nanya tentang si retakan itu?” Bukannya menjawab, Tirell malah bertanya balik.
“Memanya kenapa Ibu? Dia anak ku juga.” Vorlen menaruh piringnya.
“Dimana dia sekarang-”
“Untuk apa kau mencarinya, Vorlen?” Tirell memotong pertanyaan Vorlen. Suaranya tegas. Ia tentu tak suka dengan topik ini.
“Aku kan pastinya punya hadiah untuk kalian bertiga, ga seru jika ia tidak ada. Lagian sebelum berangkat. Ayah sudah janji ingin memlikannya hadiah. Walau…tak seberapa.”
“Ia sedang tidak di rumah.” Jawab sang Ibu. Tentu saja ia berbohong.
“Oh? Iyakah? Mentang-mentang sudah besar, malam-malam belum pulang.” Semuanya terdiam. Lemnard sedari tadi sudah menaruh piringnya. Tidak nafsu makan. Rencana nambah makanan di batalkan.
Vorlen meraih tasnya. Membuka sleting lalu mengobok-ngobok isi tas tersebut dengan tangannya. Tak lama, sebuah kotak kecil. Berwarna hitam, ia keluarkan. Semua mata tertuju pada kotak hitam tersebut.
“Ini buat Tirell.” Vorlen tersenyum. Perlahan, ia membuka kotak tersebut. Tampak sebuah cincin berwarna silver di sana. Tirell reflek menutup mulutnya. Ia terpaku. Lenard, mulutnya menganga, tak siap menjadi nyamuk lagi.
“Ini…uh…” Vorlen tampak malu. Wajahnya perlahan memerah.
“Ini sebagai ganti cincin pernikahan kita. Cincin itu murah dan kurang berkualitas. Jadi aku belikan yang baru, walau tak semahal itu juga tapi…ini lebih bagus.” Suara Vorlen bergetar, jelas sekali bahwa ia sedang gugup.
Tirell meraih kotak itu, lalu mengeluarkan cincinnya.
“Makasih V-vorlen…” Tirell memberikan senyuman pada suaminya, Seketika Vorlen menajdi udang rebus. Sedangkan Lenard, wajahnya cemberut. Topik saat sang Ayah menanyakan kakaknya terlupakan seketika menjadi suasana romantic yang menggemaskan.
“Tuh kan. Ayah jadi udang rebus. Sedangkan aku jadi nyamuk lagi.” Mereka berdua tertawa.
Sekarang Vorlen mengobok-obok tasnya lagi. Ia mengeluarkan sebuah pin dengan dua anak kecil dengan tangan terangkat. Di atas telapak tangan mereka terdapat bintang yang bersinar.
“Ini buat kamu.” Vorlen mencodongkan pin tersebut kepada Lenard. Ia baru sadar, bahwa dua anak kecil itu adalah dirinya dan…Naln. Dengan ragu, Lenard menerima pin tersebut.
“Ini bukan pin biasa, ini pin berkualitas, tahan lama, awet kok.” Lenard tidak menimpali. Mata nya focus kepada pin tersebut.
“Sebenarnya Ayah punya dua, tapi karna Naln belum datang jadi-”
Tok! Tok! Tok!
“Lenard, tolomg bukakan pintunya.” Lenard mengangguk. Ia segera bangkit. Berlari-lari kecil mengahmpiri pintu.
“Sebentar.” Kata Lenard seraya mulai memegang gagang pintu. Lalu menariknya kebawah. Pintu terbuka. Memperlihatkan sosok Laki-laki memakai hodie hitam. Wajahnya menunduk.
“Siapa?...” Lenard memberanikan diri untuk bertanya. Wakau firasat dia sudah buruk.
Laki-laki itu perlahan mendongak. Memperlihatkan wajah putih dan tirusnya. Terutama retakan hitam di keningnya yang sekarang tambah bercabang. Mata Lenard membelalak. Mulut nya menganga. Perasaan senang, sedih, kecewa. Semuanya bercampur aduk.
“Kakak?...”