Fire snake
Keesokan harinya...
Sepulang dari sekolah, dua saudara itu kembali ke hutan yang biasa Naln kunjungi untuk mencari kayu bakar. Mereka melangkahkan kaki menuju lokasi kemarin, tempat mereka diserang oleh ular.
Sesampainya di lokasi tersebut, Naln mulai berkonsentrasi. Seraya memejamkan mata, ia mencoba mengendalikan korban hipnotisnya. Walau belum selihai itu, setidaknya kini ia sudah bisa.
Gresak-grusuk.
Suara itu terdengar dari balik semak-semak, menandakan sesuatu sedang bergerak dari balik sana. Suara dedaunan yang tergesek secara tiba-tiba terlintas di telinga Lenard, membuatnya refleks berdiri lebih dekat ke Naln.
Benar saja. Satu per satu ular keluar dari semak-semak. Rupanya mereka berlindung di sana sejak kemarin. Untung saja tidak turun hujan malam itu, kalau iya, mereka mungkin sudah basah kuyup.
Ular-ular itu mulai merayap di atas tanah, membuat formasi lingkaran yang mengelilingi Naln dan Lenard. Diam. Tenang. Tapi mengintimidasi.
Mulut Lenard menganga. Matanya berbinar. Ia terpaku melihat pemandangan sepuluh ular yang melingkarinya dengan rapi, seolah tahu siapa tuan mereka sekarang. Ia tampak sangat antusias. Bahkan sedikit takjub.
"Kakak keren! Kakak bisa bikin ularnya menari-nari nggak?" Naln langsung melotot ke arah Lenard yang sekarang nyengir lebar. Aneh banget pertanyaannya, pikir Naln.
"Jangan aneh-aneh deh, Lenard. Ini bukan pertunjukan sirkus."
"Tapi sirkus bukannya pake singa?" Naln menghela napas panjang.
Capek...
Perkataan Lenard makin ke sini makin absurd aja.
"Terserah kamu lah, Lenard." Naln mulai melangkahkan kakinya, mendekati salah satu ular yang berada tak jauh di depannya.
Lenard memperhatikan kakaknya yang perlahan meninggalkannya di belakang. Sekarang, ia melihat Naln duduk di hadapan ular yang tadi ia hampiri.
"Kakak mau tatap-tatapan lagi sama ular, kayak kemarin?" Naln menopang dagunya dengan tangan kanan.
"Iya." Jawabnya singkat, padat, dan jelas. Lenard langsung memasang wajah cemberut.
"Terus aku gimana?"
"Mainin ular aja sana, nggak bakal digigit kok."
"Nyeh..." Lenard manyun, tapi tetap mendekati salah satu ular sambil tetap mengawasi kakaknya. Salah satu ular menjulurkan lidahnya ke arah Lenard, seperti sedang menyapa.
"Hii! Jangan jilat aku!" Lenard mundur selangkah, lalu tertawa sendiri.
"Lucu juga ya..." Ia mulai menggambar lingkaran di tanah, berharap ularnya ikut bikin pola.
Sementara itu, Naln masih fokus. Matanya menatap lurus ke arah mata ular.
Konsentrasi... tenang... jangan kepancing Lenard... batinnya. Sebuah dedaunan jatuh di kepalanya. Naln mendesis pelan.
"Fokus, Naln... fokus..." Lenard di belakang justru makin asik.
"Kak! Ularnya kayak ngerti gambar aku loh! Nih tuh... dia ngikutin jejaknya!"
Naln menahan senyum. Tapi tetap tak berpaling. Naln sengaja mengendalikan ular yang Lenard mainkan untuk bermain denganya. Tanpa sepengetahuan Lenard.
Keesokan harinya...
Sepulang dari sekolah, dua saudara itu kembali ke hutan yang biasa Naln kunjungi untuk mencari kayu bakar. Mereka melangkahkan kaki menuju lokasi kemarin, tempat mereka diserang oleh ular.
Sesampainya di lokasi tersebut, Naln mulai berkonsentrasi. Seraya memejamkan mata, ia mencoba mengendalikan korban hipnotisnya. Walau belum selihai itu, setidaknya kini ia sudah bisa.
Gresak-grusuk.
Suara itu terdengar dari balik semak-semak, menandakan sesuatu sedang bergerak dari balik sana. Suara dedaunan yang tergesek secara tiba-tiba terlintas di telinga Lenard, membuatnya refleks berdiri lebih dekat ke Naln.
Benar saja. Satu per satu ular keluar dari semak-semak. Rupanya mereka berlindung di sana sejak kemarin. Untung saja tidak turun hujan malam itu, kalau iya, mereka mungkin sudah basah kuyup.
Ular-ular itu mulai merayap di atas tanah, membuat formasi lingkaran yang mengelilingi Naln dan Lenard. Diam. Tenang. Tapi mengintimidasi.
Mulut Lenard menganga. Matanya berbinar. Ia terpaku melihat pemandangan sepuluh ular yang melingkarinya dengan rapi, seolah tahu siapa tuan mereka sekarang. Ia tampak sangat antusias. Bahkan sedikit takjub.
"Kakak keren! Kakak bisa bikin ularnya menari-nari nggak?" Naln langsung melotot ke arah Lenard yang sekarang nyengir lebar. Aneh banget pertanyaannya, pikir Naln.
"Jangan aneh-aneh deh, Lenard. Ini bukan pertunjukan sirkus."
"Tapi sirkus bukannya pake singa?" Naln menghela napas panjang.
Capek...
Perkataan Lenard makin ke sini makin absurd aja.
"Terserah kamu lah, Lenard." Naln mulai melangkahkan kakinya, mendekati salah satu ular yang berada tak jauh di depannya.
Lenard memperhatikan kakaknya yang perlahan meninggalkannya di belakang. Sekarang, ia melihat Naln duduk di hadapan ular yang tadi ia hampiri.
"Kakak mau tatap-tatapan lagi sama ular, kayak kemarin?" Naln menopang dagunya dengan tangan kanan.
"Iya." Jawabnya singkat, padat, dan jelas. Lenard langsung memasang wajah cemberut.
"Terus aku gimana?"
"Mainin ular aja sana, nggak bakal digigit kok."
"Nyeh..." Lenard manyun, tapi tetap mendekati salah satu ular sambil tetap mengawasi kakaknya. Salah satu ular menjulurkan lidahnya ke arah Lenard, seperti sedang menyapa.
"Hii! Jangan jilat aku!" Lenard mundur selangkah, lalu tertawa sendiri.
"Lucu juga ya..." Ia mulai menggambar lingkaran di tanah, berharap ularnya ikut bikin pola.
Sementara itu, Naln masih fokus. Matanya menatap lurus ke arah mata ular.
Konsentrasi... tenang... jangan kepancing Lenard... batinnya. Sebuah dedaunan jatuh di kepalanya. Naln mendesis pelan.
"Fokus, Naln... fokus..." Lenard di belakang justru makin asik.
"Kak! Ularnya kayak ngerti gambar aku loh! Nih tuh... dia ngikutin jejaknya!"
Naln menahan senyum. Tapi tetap tak berpaling. Naln sengaja mengendalikan ular yang Lenard mainkan untuk bermain denganya. Tanpa sepengetahuan Lenard.
"Sebenarnya kau tidak butuh sefokus itu. Kau hanya perlu membayangkan," suara Alam kembali terdengar, tenang tapi jelas.
"Ketika kau menghipnotis target, ada sebuah tali yang tersambung antara pikiranmu dan pikiran target. Selagi kau tidak memutuskan talinya, hipnotismu masih tetap ada di pikirannya. Namun, jika kau ingin melepaskan hipnotis itu, cukup bayangkan tali itu terbagi dua... atau terbelah. Simpel, kan?"
Naln terdiam. Penjelasan dari Alam yang tiba-tiba melintas di telinganya membuatnya membeku sejenak. Ia melamun, perasaan kesal, dan lega bercampur aduk.
"Juga... tidak butuh sampai satu detik. Kalau kau membayangkan tali itu putus, walau hanya samar-samar, itu saja sudah cukup untuk membuat hipnotismu hilang dari target," lanjut suara itu pelan, seolah menuntun langkah Naln menuju pemahaman yang lebih dalam.
Naln tak langsung merespons. Ia menghela napas panjang, terdengar jelas rasa kesal dalam desahannya.
"Kenapa kau nggak bilang dari kemarin sih!" gerutunya. Ia bangkit sambil melempar batang kayu kecil yang ada di dekatnya. Lempengan kayu itu terbang begitu saja, mendarat tak jauh dari semak-semak.
Lenard yang sedang asyik menggambar sesuatu di tanah bersama salah satu ular, spontan menengok. Ia memiringkan kepala, memperhatikan kakaknya yang terlihat... yah, cukup dramatis.
"Kakak lagi ngomong sama Alam ya? Tuh kan... beneran jadi gila..." gumam Lenard santai sambil mengangkat bahu, seolah sudah terbiasa. Ia pun kembali melanjutkan gambarannya di tanah, tak terusik dengan ulah kakaknya, ditemani oleh ular korban hipnotis yang dengan setia melingkar di sampingnya. Bukan melilit.
“Hehe...” Suara Alam terdengar di kepala Naln. Dan andai saja Alam memiliki wujud manusia... mungkin sekarang dia sedang nyengir lebar sambil mengangkat alis iseng.
“Maaf Naln, aku cuma pengen liat proses latihanmu dulu. Tapi sumpah deh, aku greget sendiri ngeliat kamu dari tadi cuma duduk, tangan kanan menopang dagu, mata fokus ke ular, pikiran kalut... Lenard pun dicuekin. Kasian, dia jadi main tanah bareng ular. Mending kalo ularnya ga gigit”
Naln menghela napas lagi. Kali ini agak dalam, sambil menahan emosi yang hampir tumpah. Ia mencoba menenangkan diri. Jangan sampai... emosi kecil berubah jadi api besar yang bisa membakar hutan seisi. Mungkin akan membuat Alam marah…
“Baiklah... kalau begitu,” ucapnya lirih tapi terdengar jelas,
“terima kasih, Alam.” Senyum kecil akhirnya muncul di bibirnya, meski sedikit getir.
“Oke... mari kita coba...” Naln kini berdiri tegak. Kali ini, ia tak memilih duduk. Mungkin, secara naluriah, tubuhnya bersiap untuk langsung kabur jika hipnotis itu benar-benar terputus.
Matanya menatap ular-ular itu. Naln mulai membayangkan, ada tali-tali tak kasat mata yang menyambungkan pikirannya dengan pikiran sepuluh ular itu. Lalu...
Tss!
Tali-tali itu putus secara bersamaan.
“Aaaah!” Teriakan itu dari Lenard. Naln lupa bahwa adiknya sedang asyik bermain dengan ular.
Naln spontan menoleh. Salah satu ular yang tadi menggambar bersama Lenard kini membuka mulutnya lebar-lebar, memperlihatkan taringnya yang tajam. Jantung Lenard berdegup kencang, nyaris loncat dari dadanya. Tapi refleks menyelamatkannya, ia sempat menghindar. Tak ada luka.
Lenard langsung berlari ke arah kakaknya, wajahnya panik. Telunjuknya menuding sesuatu tepat di belakang Naln.
“ULAR DI BELAKANG KAKAK MAU NYERANG!” Mata Naln membelalak.
Terlambat.
Ular itu sudah menggigit tangan kanan Naln.
“AARRGH!!” Teriakan itu menggema di antara pepohonan. Rasa sakitnya tajam, seperti disiram bara panas.
Naln memaksa melepas gigitan ular itu, lalu melempar makhluk melata itu menjauh. Tanpa berpikir panjang, ia segera menyambar tubuh Lenard, dan berlari secepat mungkin menjauh dari tempat itu.
Saking ringannya tubuh Lenard, Naln menggendongnya layaknya mengapit buku di bawah ketiak.
“Kakak!?” Lenard terkejut, tapi tak sempat protes lebih jauh.
Mau bagaimana lagi? Naln melompat, melewati ular yang sempat menerjangnya dari samping.
Srett!
Satu ular nyaris menggigit tumitnya, tapi Naln mendarat dengan cepat dan terus melaju.
Luka gigitan di tangan kanannya mulai terasa menyiksa. Racunnya, sepertinya, mulai menyebar. Perihnya menusuk, seperti jarum-jarum panas menari di bawah kulit. Naln meringis, giginya mengertak menahan nyeri.
Lenard menoleh ke arah tangan kanan Naln—tepat di tempat luka itu.
Wajahnya langsung berubah.
Kekhawatiran menggerogoti pikirannya.
Namun Naln tak berhenti. Meski tubuhnya mulai limbung, langkahnya tetap mantap.
Ia terus berlari, membawa adiknya menjauh dari kawanan ular yang kini kembali liar, tanpa kendali.
"Kakak, teleport!!" Panik terdengar jelas dari suara Lenard.
Pandangan Naln menyapu liar ke sekitar, mencari tempat yang cukup aman—tidak ada.
Ia mendongak ke atas. Batang pohon besar, cukup tinggi dan lebar, tampak kokoh—cukup nyaman untuk berpijak.
“Nah!”
Splash!
Kurang dari satu detik, tubuh Naln dan Lenard sudah berada di atas batang pohon itu. Cukup tinggi untuk menjauh dari bahaya. Naln langsung menjatuhkan diri, bersandar lemas ke batang pohon yang lain. Lenard ikut duduk, menatap kakaknya yang kini memegangi tangan kanan yang membiru.
Naln mencengkeram kuat lengannya. Rasa sakitnya menggerogoti kekuatan tubuhnya. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar.
Namun…
Tempat itu belum sepenuhnya aman.
Ssstt… WUUUUSHHH!
Sesuatu yang tak terduga terjadi.
Dari bawah, ular-ular itu menatap ke atas. Tapi mereka tidak memanjat secara biasa.
Dari mulut mereka, semburan api keluar. Menyala ganas. Api menjilat batang pohon, naik dengan cepat, membakar tempat bertengger dua saudara itu.
"Kakak! Pohonnya kebakar!" Lenard menjerit panik, tubuhnya bergetar.
"Ular itu bisa nyemburin api dari mulutnya!!"
Ia mencengkeram rambutnya sendiri, pikirannya kalut. Jika tetap bertahan di atas, api akan menyapu mereka.
Tapi kalau melompat? Tanah di bawah penuh ular. Dan ketinggian ini bisa bikin kakinya patah.
Lenard menoleh ke kakaknya yang kini makin lemah. Wajahnya pucat, nafasnya berat.
Tanpa pikir panjang, Lenard memeluk tubuh kakaknya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya.
"Jangan mati, kak... Kumohon..." Bisiknya lirih, putus asa, namun masih tersisa harapan di dalamnya.
Splash! Splash! Splash!
Lenard mendengar suara itu, suara teleportasi yang tak asing. Tapi ia tak bergerak.
Ia tetap memeluk erat kakaknya, mata terpejam kuat. Tubuhnya bergetar.
Splash!
Seketika...
Lenard merasa tubuhnya disambar oleh seseorang. Tapi... bukan kakaknya. Genggaman tangan Naln sudah tak terasa.
Splash!
Kini punggung Lenard bersandar pada batang pohon yang berbeda. Perlahan, ia memberanikan diri membuka mata.
Matanya berkedip-kedip. Pandangannya kabur sesaat, sebelum akhirnya fokus. Di hadapannya, sesosok pria. Pria itu tampak dewasa, mungkin seumuran paman. Ia duduk tenang di hadapan Naln yang masih lemas. Tangannya kini memegang lengan kanan Naln—di bagian yang tergigit ular.
Cahaya hijau samar muncul dari tangan pria itu. Aura yang menenangkan menyebar perlahan di sekitar luka. Seperti kabut lembut yang menyembuhkan. Lenard terpaku.
Matanya menatap wajah pria itu. Wajah tirus, berkulit putih pucat. Rambutnya coklat, sedikit bergelombang. Mata coklat muda itu… Menatap Naln dengan tenang, penuh perhatian, namun misterius. Ada sesuatu yang aneh… tapi juga terasa aman
"Siapa pria ini?" Batin Lenard. Lenard masih terpaku. Dadanya naik turun, napasnya belum stabil. Namun perhatianya segera teralihkan oleh suara tubrukkan keras yang datang dari bawah.
Bugh! Bugh!
Lenard segera menoleh ke sumber suara. Matanya membesar. Sepuluh ular itu, yang tadinya berkeliaran buas, kini terperangkap dalam bola-bola hijau transparan yang melayang di atas tanah.
Bola itu tampak seperti gelembung raksasa, namun lebih padat.
Ular-ular itu meronta, menghantam sisi dalam bola, namun sia-sia. Tak ada yang lolos.
Naln juga menatap ke bola-bola hijau itu dengan mata yang terasa berat. Baru kali ini ia menyaksikan teknik seperti itu. Teknik penjara? Atau semacam... pengunci gerakan?
Pikiran Naln kalut. Tapi rasa penasaran muncul di balik tubuhnya yang mulai melemah. Lenard menoleh lagi ke pria yang duduk di hadapan kakaknya.
"Tu-tuan... siapa...?" Suara Lenard terdengar ragu. Namun rasa ingin tahunya jauh lebih kuat dari rasa takut.
Pria itu menoleh perlahan. Senyum tenang terukir di wajahnya. Tangannya tetap berada di lengan Naln, melanjutkan proses penyembuhan dengan cahaya hijau yang kini tampak semakin lembut dan stabil.
"Iya, adik kecil?" Nada suaranya hangat. Dalam, namun ringan. Seolah menghapus kekacauan yang baru saja terjadi.
"T-tuan... siapa?" Lenard kembali bertanya. Suaranya lirih, tapi jelas. Pria itu menoleh lagi, tersenyum.
"Saya...? Kau tak perlu tahu." Ia menjeda sebentar, lalu melanjutkan dengan nada santai namun tetap menenangkan,
"Kebetulan lewat hutan ini... melihat kalian yang terpojok. Naluri untuk membantu langsung mengambil alih." Tangannya masih menyentuh luka di tangan kanan Naln, semburat hijau terus mengalir dari telapaknya. Lalu ia menoleh lebih dekat ke arah Lenard.
"Kamu tidak apa-apa, adik kecil? Ada luka?" Lenard spontan menggeleng.
Namun dalam hatinya, gelombang pertanyaan mulai menyerbu.
Siapa sebenarnya pria ini...?
Apa tadi katanya? ‘Kebetulan lewat’?
Dan Aura hijau itu... Bola hijau yang bisa mengurung sepuluh ular sekaligus?
Itu semua kekuatan apa?
Mata Lenard masih terpaku. Wajah pria itu tampak tenang, terlalu tenang.
Ekspresi yang susah ditebak... Tidak ada celah untuk menilai apakah ia sedang berkata jujur... atau sekadar memainkan peran.
Lenard menelan ludah. Dalam hatinya, satu hal jelas—ia belum bisa memutuskan apakah ia sedang aman...atau justru berada lebih dekat dengan bahaya baru?