“Arya, menurutmu, manusia serigala itu ada, tidak?”
Laki-laki tinggi yang sedang berjalan di sebelahku dalam perjalanan pulang dari sekolah itu menatapku bingung. “Tiba-tiba banget, Win?” sahutnya.
Aku menaik-turunkan bahuku. Kejadian di klub tadi terus terngiang-ngiang di kepalaku, dan sepertinya akan meledak kalau aku terus memendamnya. Arya adalah orang yang tepat yang bisa kuajak bicara tentang itu sekarang. “Jawab saja.”
“Aku, sih, percaya mereka eksis,” katanya kemudian.
“Kenapa kamu berpikir begitu?”
“Karena cerita fiksi.” Lalu dia melanjutkan, “Walaupun makhluk itu adalah imajinasi soerang penulis, tapi pernah, tidak, kamu berpikir dari mana datangnya imajinasi seperti itu? Bagaimana kalau imajinasi manusia ternyata adalah salah satu cara dunia untuk menunjukkan bahwa makhluk mitologi itu mungkin memang pernah ada atau bahkan masih ada?”
Aku terdiam sejenak. Sebenarnya, selama ini aku selalu membatasi segala sesuatu yang berbau fantasi dengan dunia nyata. Jadi, meskipun aku pernah menebak-nebak kalau isi loker misterius itu adalah peri penghilang ingatan dan kaca pembesar penemu apa saja, aku tidak sungguhan percaya keduanya ada di duniaku. Tapi, pendapat Arya membuatku mencoba melihat kemungkinan yang lain.
“Ini hanya pemikiran asal saja, sih, jadi jangan terlalu dipikirkan,” sahutnya. Kemudian, seakan baru menyadari sesuatu, dia kembali berkata, “Oh! Apa ini gara-gara peti mati kecil yang berisi sepasang gigi taring palsu itu?”
Aku mengangguk.
“Daripada manusia serigala, bukannya lebih cocok vampir—eh, hati-hati Win, ada lubang. Tapi, kenapa kamu malah berpikir sampai ke sana?”
Aku menunduk untuk melompat menghindari lubang yang tergenang sedikit air. “Trims.” Untung saja Arya sempat memperingatkan sebelum sepatuku menginjak pinggirannya. “Aku berpikir begitu karena tidak ada lagi yang bisa kupikirkan. Loker biru digunakan untuk penyimpanan khusus. Awalnya kukira itu untuk menyimpan benda berharga, tapi cincin permata yang kutemukan tidak disimpan di sana. Bang Damian juga bilang kalau peti mati itu bukan dari dunia ini. Jadi, mau tidak mau aku menyimpulkan kalau loker biru itu digunakan untuk menyimpan benda-benda milik sesuatu yang selama ini kita pikir hanya ada dalam dunia fantasi.”
Arya mencerna ucapanku, “Bisa jadi, sih,” komentarnya. Kemudian dia melayangkan tanya. “Kamu percaya?”
Aku berhenti, menarik napas dan mengelap keringat di dahi. Lumayan juga, sekarang aku bisa pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Shila pasti akan senang mendengar kabar ini.
Menoleh, aku menatap mata Arya yang tampak seperti biasanya; antusias dan bersemangat. “Entahlah. Dari awal klub yang kita masuki itu sudah kelihatan aneh dan misterius. Siapa tahu memang ada makhluk-makhluk seperti manusia serigala dan vampir yang bersembunyi di balik loker-lokernya.”
***
Awet muda, bermata merah menyala, bergigi taring tajam, kulit putih pucat. Sewaktu kecil, aku selalu membayangkan sosok vampir yang demikian. Tapi, seiring dengan bertambahnya referensi bacaan novel, aku jadi tahu kalau vampir pun tampak berbeda-beda tergantung pada siapa yang menulisnya.
Vampir memang awet muda, tapi bukan berarti wajahnya tidak akan berkeriput. Kadang-kadang bisa hangus hanya dengan setitik cahaya matahari, kadang-kadang berjalan gagah di siang hari setelah memakai tabir surya. Matanya tidak selalu merah, bisa pula biru atau jingga. Kalau kulit, hm, sejauh ini hanya ada vampir pucat dalam tulisan yang kubaca.
Sebenarnya aku tidak terlalu peduli pada bagaimana makhluk yang sama dapat dideskripsikan dengan berbagai bentuk. Bagaimana pun juga, aku tidak akan pernah bertemu dengan yang asli untuk memastikan versi mana yang benar.
Namun, sekarang aku mematung di depan salah satu jendela ruang klub yang menghadap ke koridor. Hari Selasa pada jam makan siang, aku melihat seorang tamu yang menurutku seharusnya tidak kulihat. Pikiranku segera melayang pada satu versi tentang sosok yang memiliki kemampuan untuk menyebarkan jaring lengket seperti laba-laba. Mengingat tubuhku yang enggan bergerak, aku sejenak yakin sudah terjebak dalam jaring itu. Garis batas yang selama ini kubentang rasanya mulai mengabur dan membuat kepalaku pusing.
“Kenapa berdiri di sini, Win?”
Kurasa barusan aku hampir pingsan kalau tidak merasakan tepukan di bahu dan mendengar suara Arya.
“Itu.” Aku langsung mengulurkan telunjuk ke dalam ruangan, bingung harus menjelaskan apa kepada Arya. Duduk di hadapan Bang Jovin dan Kak Mela, seseorang dengan segelas minuman merah—aku tidak tahu apa itu dan tidak berniat untuk mengetahinya—kelihatan sedang membicarakan sesuatu. Kulit pucatnya tidak terlihat normal, kepalanya yang sepertinya botak ditutupi dengan topi fedora hitam, dan dia sama sekali tidak terbakar oleh sinar matahari. Aku tidak melihat jelas apa warna matanya, tapi saat dia tertawa, aku bisa melihat giginya yang tajam. Sosok semencolok itu sudah pasti bukan warga sekolah ini.
Aku melirik ke samping dan mendapati Arya membeku dengan mulut menganga—mirip dengan reaksiku tadi. “Menurutmu, itu siapa?” tanyaku pelan.
Butuh beberapa detik sampai akhirnya laki-laki itu mampu bersuara. “Vam—”
“Lagi mengintip siapa? Ikutan, dong!”
Dengan kompak, aku dan Arya terjengit. Tapi yang datang ternyata Bang Damian, yang seharusnya sudah bisa kutebak. Dia tertawa puas sekali meskipun dengan suara yang lebih pelan. Aku menatapnya tajam, sedangkan Arya mencoba menenangkan jantungnya.
“Berdiri di sini sampai bel pulang pun, rasa penasaran kalian tidak akan hilang,” kata Bang Damian sambil menyeret kami memasuki ruangan. Tampaknya dia tahu kalau kami terlalu takut untuk masuk begitu saja. Jadi, akhirnya kami pun berjalan masuk di belakang Bang Damian dan menjadikannya tameng kalau-kalau terjadi sesuatu yang membahayakan.
***
Tapi, sesuatu yang membahayakan itu tidak pernah terjadi.
Setelah membawa kami masuk ke dalam, Bang Damian duduk di sebelah sosok yang memperkenalkan dirinya sebagai Tuan Vampir—dia sungguhan vampir! Senior satu itu pasti ingin menjahili kami yang ketakutan, jadi dia sengaja memilih duduk di sana. Aku dan Arya akhirnya memilih menggeser kursi di belakang Bang Jovin dan Kak Mela.
“Hohoho. Saya kira, kalian hanya akan terus menonton melalui jendela. Ternyata kalian pemberani juga, ya.”
Aku tersenyum meringis mendengar kalimat yang sepertinya sindiran itu. Tapi, tanpa kuduga, suaranya terdengar berat dan ramah. Sama sekali tidak dingin dan menusuk seperti yang selama ini kubayangkan. Gerak-geriknya kelihatan gesit dan anggun, tapi santai dan nyaman. Sebenarnya, kalau aku melupakan identitasnya, tuan ini tampak seperti kakek-kakek biasa.
Tuan Vampir meraih gelas di depannya, kemudian menyesap minuman merah itu dengan perlahan, seolah-olah dia ingin menikmati setiap tetesnya. Aku tidak bisa tidak resah melihat pemandangan itu, dan Arya sepertinya lebih gelisah dariku. Dia menjulurkan kepalanya, lalu membisiki Bang Jovin yang duduk di depannya.
“Beliau ini benaran vampir yang itu, Bang? Bukan lagi menyamar?”
Belum sempat Bang Jovin menjawab, Tuan Vampir lebih dulu menyahut. Pendengarannya pasti tajam sekali.
“Hohoho! Aku vampir benaran, bukan tipuan. Apa kalian ingin melihat buktinya?”
Meskipun aku penasaran, kurasa aku tidak akan suka dengan bukti yang akan ditunjukkannya. Arya pasti setuju denganku, karena kami kemudian refleks menggeleng.
Tuan Vampir kembali mengeluarkan suara tawanya yang khas seraya melambaikan tangannya. “Aku bercanda, bercanda.” Lalu dia bilang, “Kalian pasti anak baru, jadi belum terbiasa dengan sosok sepertiku.”
“Benar, Tuan Vampir. Ini bulan kedua mereka di sini,” sahut Kak Mela.
Aku tidak tahu apa hubungan antara ‘anak baru’ dengan kehadirannya di klub ini, tapi apa maksudnya dengan ‘belum terbiasa dengan sosok sepertinya’? Apa itu berarti ada sosok-sosok lain yang sebelumnya pernah datang ke ruang klub ini?
Aku tidak bisa untuk tidak menatap para seniorku dengan tatapan curiga. Tapi, mereka seakan tidak menyadari tatapanku dan justru fokus mendengarkan ucapan Tuan Vampir.
“Kalian harus tahu kalau tempat ini luar biasa, meskipun sangat merepotkan. Ah, tentang itu biarlah senior kalian yang menjelaskannya.”
Sebelum aku dan Arya kembali menghujani para senior dengan laser mata kami, Tuan Vampir kembali bercerita.
“Gigi taring ini sebenarnya bukan sesuatu yang spesial.” Dia mengatakannya sambil membuka peti mati imitasi dengan hati-hati—seakan benda kecil itu akan meledak, dan melihat sepasang taring palsu di dalamnya dengan mata berbinar. Kemudian aku berseru dalam hati, ternyata dia datang untuk mengambil benda miliknya yang hilang.
“Aku mendapatkannya sebagai hadiah dari anakku saat dia tahu kalau aku akan menyerpih. Katanya, aku harus memakai gigi taring palsu ini kalau yang asli sudah copot.”
“Menyerpih?” Aku refleks bertanya.
Tuan Vampir menatapku dengan mata merahnya dan aku mencoba untuk tidak memalingkan pandangan. Padahal aku masih sedikit takut padanya.
“Vampir jenis sepertiku, seperti kami—karena aku cukup paham kalau ada banyak versi vampir di dunia kalian—akan menyerpih kalau sudah tua. Gigi copot satu per satu, lidah menjadi sensitif pada rasa, dan rambut rontok adalah gejalanya. Begitu sudah waktunya, tubuh kami berubah menjadi serpihan bagaikan kayu yang dibakar menjadi abu, kemudian serpihan itu akan terbang ke udara.”
“Kalian mati tanpa meninggalkan jasad,” tiba-tiba Bang Damian bersuara.
“Benar,” sahut Tuan Vampir. Itu terdengar menyedihkan untukku, tapi tuan itu terdengar tenang dan tidak ragu sama sekali. “Anakku yang tidak pernah memberi hadiah sebelumnya, tiba-tiba memberikan sesuatu. Aku jadi tidak ingin memakai gigi taring itu dan justru membeli yang baru. Dia sampai melayangkan protes, hohoho!”
“Kalau situasinya seperti itu, daripada menggunakannya, aku pun pasti lebih memilih untuk menyimpannya sebaik mungkin.” Tanpa kuduga, Arya akhirnya bersuara. Tapi suaranya agak berbeda, tidak seantusias sebelumnya. Dia juga menunduk sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya. Mungkin dia juga masih bingung dan takut pada keberadaan Tuan Vampir.
“Betul, betul. Itulah yang kurasakan.” Tuan Vampir mengangguk-angguk. Dia kembali menenggak minumannya, kali ini sampai habis. “Sebenarnya, aku agak senang juga pada ketuaanku. Aku jadi bisa menikmati jus buah naga yang enak ini! Cucuku selalu iri kalau kudeskripsikan bagaimana manis dan segarnya buah eksotik ini. Tapi, darah rusa hutan pun tidak ada duanya.”
“Eh? Jus buah naga?” Aku dan Arya berteriak hampir bersamaan. Melihat keterkejutan kami, Bang Damian tertawa kencang. Kak Mela dan Bang Jovin pun sampai ikut tertawa meskipun tidak sekencang Bang Damian.
“Kalian pasti mengira kalau isi gelas itu adalah darah!” Senior satu itu tertawa puas sekali sampai tidak sadar kalau ikat rambutnya terlepas dari rambut semi gondrognya. Cukup menyebalkan.
Bukan salahku kalau aku mengira demikian, kan? Lagi pula aku terlanjur takut dan kaget sampai-sampai tidak bisa melihat lebih teliti kalau isi minuman itu punya tekstur yang berbeda dengan darah. Meskipun malu, aku sedikit lega setelah mengetahu kebenarannya.
Tuan Vampir pun ikut-ikutan tertawa dengan tawa khasnya. “Sejujurnya, hidup jadi lebih mengasyikkan ketika aku tahu aku akan menyerpih. Aku sudah hidup lama, jadi perubahan yang asing dan kematian membuatku bersemangat. Tapi anakku sepertinya terlalu terpaku pada kehilangan, sehingga dia tidak nyaman dengan ketenanganku. Kuharap dia tidak mengabaikan simpanan darah rusa terbaik yang sudah kufermentasikan dengan sempurna saat mereka merayakan hari kematianku nanti.”
Untuk kali ini, Tuan Vampir tidak tertawa.
Lagi pula, dipersiapkan seperti apa pun, kehilangan tetap akan meninggalkan bekas menghitam yang sulit hilang.