Aku menghabiskan makan siangku dengan cepat. Bang Damian sudah mengabarkan kalau dia dan Bang Yoan akan menunggu di pintu depan kantin.
“Buru-buru banget, Win? Kamu kebelet, ya?” Shila sampai bertanya seperti itu karena aku sudah berdiri, sedangkan makanan miliknya baru habis seperempat.
“Ada urusan klub, Win. Duluan, ya.” Tanpa menunggu balasan, aku langsung berjalan menuju pintu kantin.
Kebetulan, aku melewati meja yang ditempati Arya. Aku pun berhenti di sebelahnya, lalu menepuk pundaknya.
“Arya, kalau sudah siap makannya, tolong jaga ruang klub sebentar, ya.”
“Oh, seperti yang kamu informasikan di pesan grup tadi, ya? Mau mencari hiasan pena?” Dia berbicara sambil mengunyah dan dengan pipi menggembung sebelah. “Oke. Tapi sebagai gantinya, ketika jadwalnya aku jaga ruangan, kamu harus menemaniku.”
Sebenarnya aku agak malas melakukannya, tapi apa boleh buat. Akhirnya aku mengiyakan.
Kembali melangkah, aku mendatangi dua seniorku yang ternyata sudah menunggu. Setelah aku bergabung, kami pun memulai pencarian.
Kata Bang Yoan, pada jam pelajaran terakhir di hari Jumat sebelumnya, kelasnya belajar di lab biologi. Dia ingat penanya diselipkan di antara halaman buku catatannya sepulangnya dari lab. Mungkin saat itulah penanya jatuh. Sore harinya, Bang Damian menemukan pena itu di koridor kelas 11 IPA. Maka itu, kami memutuskan untuk mencari di sana.
Kelas IPA berada di gedung A, berseberangan dengan kelas IPS yang berada di gedung C. Gedung B yang berada di tengah-tengah menjadi penghubung antar keduanya, dan gedung ini dipenuhi dengan laboratorium, ruang kesenian, kantor guru, dan aula utama.
Susunan gedung A dan C sama. Dari lantai dasar, ada lobi, kamar mandi, dan gudang. Lantai dua sampai empat secara berurutan dipenuhi dengan ruangan kelas 1, 2, dan 3.
Sepertinya, maraton pagi bersama Shila Sabtu lalu belum menunjukkan hasil yang signifikan. Buktinya, aku merasakan napasku tersengal dan kakiku yang memberat setelah menaiki dua tingkat tangga. Tapi, karena aku sedang bersama senior, sebisa mungkin aku menyembunyikannya.
Hampir semua murid pergi untuk makan siang, sehingga suasana koridor cukup sepi ketika kami sampai. Hal itu membuat kami menjadi lebih leluasa untuk mencari hiasan pena yang kecil itu.
“Tapi, aku sudah mencarinya di sekitar sini tadi pagi,” kata Bang Yoan. Dia juga sudah mengatakannya tadi, kalau begitu sampai di sekolah, dia langsung mencari pena yang hilang di dalam kelas dan sekitarnya.
Namun, Bang Damian tetap ingin memeriksanya. “Siapa tahu hiasan itu terjatuh lalu menggelinding sampai ke sudut-sudut yang kurang kamu perhatikan,” katanya dengan optimis.
Kami mulai menelusuri koridor luas itu. Bang Damian berfokus di area depan kelas, sementara Bang Yoan berfokus di area seberangnya. Aku sendiri berjalan di belakang mereka seraya melihat setiap sudut dengan lebih teliti.
Di tengah pencarian, Bang Damian tiba-tiba bersuara untuk memecahkan keheningan.
“Aku baru tahu, loh, kalau kamu ternyata suka memakai pena yang lucu begitu. Agak tidak seusai dengan citramu.”
Aku diam-diam memelototi Bang Damian. Menurutku, itu pertanyaan yang kurang sopan. Semua orang, kan, bisa memakai barang seperti apa pun terlepas dari bagaimana penampilan dan citranya.
“Maaf kalau tersinggung dengan pemilihan kataku. Aku murni penasaran saja,” Bang Damian segera menimpali.
Tapi kemudian, Bang Yoan menyahut. “Tidak apa. Teman sekelasku juga banyak yang mengatakan itu. Beberapa malah ada yang meledek dengan dalih bercanda.”
Meledek seseorang hanya karena dia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan anggapan orang-orang—padahal yang dilakukannya bukanlah hal negatif—menurutku adalah candaan yang tidak lucu. “Mereka kekanak-kanakan sekali,” gerutuku tanpa bisa ditahan.
Tanpa disangka, Bang Yoan tersenyum tipis. Entah karena apa. Lalu dia berkata, “Nyatanya kita tidak bisa mengontrol reaksi orang lain.”
Iya, sih. Aku sendiri sebenarnya kadang-kadang tidak bisa mengendalikan reaksi yang kukeluarkan ketika menanggapi sesuatu.
“Awalnya, aku memang tidak begitu menyukai benda-benda imut dan lucu seperti pena dengan hiasan karakter kartun,” ungkap Bang Yoan. Matanya menerawang ke jendela yang menampilkan pemandangan bagian depan sekolah.
Aku dan Bang Damian sontak bertukar pandangan, sebelum akhirnya menaruh perhatian pada Bang Yoan. Sambil mendengarkan ucapannya, kami tetap mencoba meneliti lantai dan sudut-sudut koridor.
“Tapi, sejak adikku cukup besar untuk belajar menabung dan bisa memberikan hadiah ulang tahun, aku jadi terbiasa menggunakan benda-benda imut dan lucu itu.”
“Wah, Bang Yoan punya adik?” Tanpa sadar aku sedikit berseru.
“Iya, punya. Perempuan. Tahun ini usianya sembilan tahun.”
Bang Yoan pasti sangat menyayangi adiknya. Terlihat jelas dari senyumnya yang tulus ketika dia mulai membahas adiknya.
“Hadiah pertama darinya kuterima saat umurnya lima tahun. Dia memberikan penggaris kuning bergambar peri yang kartunnya sering dia nonton di televisi. Kemudian ada pensil bergambar Doraemon, kucing bulat berwarna biru. Lalu ada gantungan kunci berbentuk karakter domba putih dari salah satu kartun kesukaannya, celengan kaleng bergambar karakter penguin bertopi kuning, dan tahun ini dia memberikan pena dengan hiasan boneka Totoro.”
“Imutnya,” komentarku. Sebagai anak tunggal, mendengar cerita manis tentang persaudaraan selalu membuatku takjub.
“Dia memang imut,” Bang Yoan menyetujuinya. “Hadiah yang diberikannya memang kecil dan bisa dicari di mana saja. Kalau hilang pun masih bisa dibeli lagi. Tapi, adikku selalu memberikan hadiah yang berbeda setiap tahunnya, dan dia sering memastikan apakah aku menggunakannya dengan baik. Maka itu, aku berusaha menjaga hadiah pemberiannya sebaik mungkin.”
Aku membayangkan adik Bang Yoan mungkin akan sedih kalau hadiah pemberiannya sudah tidak utuh lagi, terutama kalau boneka karater kartun kesukaannya yang hilang.
Tiba-tiba, Bang Damian menepuk bahu Bang Yoan. “Aku paham perasaanmu, karena aku juga punya adik laki-laki. Walaupun dia hanya pernah memberikan cokelat yang diam-diam sudah dimakannya separuh, aku tetap merasa senang.”
Aku lantas terkejut mendengarnya. “Hah? Bang Damian punya adik?” Gara-gara kelakuan isengnya, selama ini aku mengira senior itu adalah anak tunggal atau anak bungsu. Meskipun perkiraanku juga tidak berdasar, sih.
Bang Damian memiringkan kepala dan memandangku curiga. “Kenapa reaksimu berbeda dibandingkan ketika Yoan yang mengatakannya tadi?”
Malas menanggapi pertanyaan itu, aku segera mengalihkan pembicaraan. “Kita harus melanjutkan pencarian. Itu benda yang sangat berharga, meskipun ukurannya kecil.”
***
Kami sudah menelusuri dari ujung koridor yang satu sampai ke ujung yang lain, tapi masih belum menemukan hiasan pena itu.
Sekarang, kami memutuskan untuk istirahat di dekat jembatan penghubung gedung B. Ada beberapa kursi bekas yang masih bisa diduduki di sini. Koridor juga mulai ramai karena banyak murid yang sudah selesai makan siang.
Bang Damian dan Bang Yoan sedang mengobrolkan sesuatu, sedangkan aku mencoba menduga-duga di mana kira-kira hiasan itu berada.
Dugaanku, bisa jadi boneka karet Totoro itu tersapu ketika ada murid piket yang bertugas membersihkan koridor. Kemungkinan terburuknya, benda itu sudah dibuang ke tempat sampah. Kalau benar begitu, maka bakalan susah untuk mencarinya.
Ah, tapi, bisa jadi pula boneka kecil itu tersepak oleh kaki-kaki yang lewat di koridor. Kalau benar begitu....
Aku melihat-lihat sekitar. Di ujung koridor yang dekat dengan jembatan penghubung antar gedung ini, ada lemari dan loker lama yang sudah tidak dipakai. Mungkin karena berat, benda-benda tersebut belum dipindahkan ke gudang. Kalau dugaanku yang kedua benar, boneka kecil itu mungkin tersepak sampai ke sini dan masuk ke kolong lemari atau loker.
Namanya juga kemungkinan, berarti belum pasti. Tapi, tidak ada salahnya untuk memeriksa, kan?
Mengambil ponsel dari kantong, aku kemudian menyalakan senter. Mendapati adanya cahaya tiba-tiba itu, Bang Damian dan Bang Yoan langsung melihatku dengan heran.
“Mau ngapain, Win?” tanya Bang Damian.
“Mau melihat kolong lemari dan loker itu, Bang,” kataku sambil menunjuk kedua benda itu. “Siapa tahu saja hiasan penanya tersepak sampai ke sana.”
Bang Damian terlihat ragu sejenak, tapi aku meyakinkannya melalui tatapanku.
Akhirnya dia berkata, “Sini ponselnya. Biar aku saja yang memeriksanya.”
Setelah kuberikan ponselku, Bang Damian pun berlutut dan mengarahkan cahaya senter ke kolong. Di sampingnya, Bang Yoan melakukan hal yang sama menggunakan senter dari ponselnya sendiri.
Mengabaikan tatapan penasaran dari beberapa murid yang lewat, Bang Damian dan Bang Yoan merangkak sambil mengarahkan senter ke seluruh pojok kolong.
Ketika Bang Yoan memeriksa kolong di bawah loker, dia sepertinya melihat sesuatu. Dengan tangan kirinya, dia mencoba menggapai sesuatu itu tanpa memedulikan lengannya yang langsung disambut debu tebal.
“Ketemu,” gumamnya kemudian, setelah dia berhasil mengambil sesuatu dari kolong. “Hiasan penanya sudah ketemu.”
***
Dua hari kemudian, semua anggota Klub Lost & Found berkumpul di ruang klub pada jam istirahat pertama. Bang Yoan habis mengirimkan banyak sekali keripik sebagai ucapan terima kasihnya. Kata Bang Damian, ibu Bang Yoan memiliki usaha kecil-kecilan yang memproduksi berbagai keripik kemasan.
Aku membuka kemasan berisi keripik pisang. Rasa asin dan gurih dengan sedikit manis memenuhi mulutku begitu aku mengunyahnya.
“Kok, bisa-bisanya kamu kepikiran untuk mencari di bawah kolong?” Arya bertanya sambil mengunyah keripik singkong.
“Tiba-tiba kepikiran saja,” jawabku. Aku sendiri tidak menyangka kalau hiasan pena itu sungguhan ada di sana.
“Cincin di sarang burung dan hiasan pena di kolong loker. Sepertinya anggota baru kita punya kemampuan untuk menemukan benda di tempat-tempat yang tidak terduga, ya,” sahut Bang Damian.
Arya langsung menimpali. “Jangan-jangan nanti Windi bakalan menemukan harta karun rahasia yang terkubur di sekolah ini.”
“Atau, menemukan hantu penunggu gedung olahraga yang sedang diteliti oleh klub peneliti hantu,” tambah Bang Damian lagi.
Jengah mendengar celetukan mereka, aku pun menggeser tempat duduk mendekati bangku Kak Mela yang sedang mengobrol dengan Bang Jovin.
Sambil menikmati keripik, kurasakan percikan aneh yang menyenangkan itu kembali memenuhi hatiku. Ingatan tentang wajah Bang Yoan yang akhirnya tersenyum cerah sambil menunjukkan boneka Totoro kecil di tangannya, membuatku lega dan senang, seolah kebahagiaannya menular padaku.
Aku jadi menerka-nerka, kira-kira benda apa yang akan kutemukan selanjutnya?