Loading...
Logo TinLit
Read Story - Layar Surya
MENU
About Us  

Soya mencoba mengikuti saran Kaspian. Ia ingat Nino punya kostum pahlawan dari acara televisi, lengkap dengan topengnya, untuk acara hari pahlawan di taman kanak-kanak dahulu. Mengingat Nino selalu memiliki mainan baru, topeng itu pasti tenggelam di salah satu boks mainan yang hampir tak pernah dibuka.

Dugaannya benar. Topeng Spiderman yang karetnya sudah lepas, lengkap dengan sobekan kecil di bagian dagu itu masih ada. Soya pun membetulkannya, lantas diam-diam membawanya ke kamar. Tiap malam, ia mengenakan topeng itu di depan kaca, dan meniru gerakan-gerakan aktor di sinetron yang ditonton Yasmin hari itu. Walau wajahnya tertutup, setidaknya ... gerakan tubuhnya bisa dilemaskan, kan ... ?

Itu, ditambah memenuhi hari-hari latihan selama liburan dengan menyusun naskah, akhirnya liburan pun berakhir dan semester genap dimulai.

Namun, Soya tak pernah menduga akan menerima panggilan dari wakil kepala sekolah di hari pertama masuk.

Ia tidak sendirian.

Panggilan datang tiba-tiba, ketika Ketua OSIS SMA Surya Cendekia mampir ke kelas XI Bahasa saat jam istirahat kedua. Cowok itu mengintip ke dalam kelas, seperti mencari-cari seseorang. Saat itulah Nova muncul dari arah kantin bersama teman-teman ceweknya.

“Woi! Ketua OSIS, minggir. Nggak bisa lewat.”

Cowok itu spontan menoleh. “Naaah. Aku nyariin kamu, Nov! Kamu dipanggil Waka Kesiswaan.”

Lalu, telunjuknya terarah ke murid lain, tetapi bingung mesti tertambat pada siapa tepatnya. “Sama dua lagi ... namanya Daru dan Soya. Yang mana, ya?”

Soya terbengong-bengong. Mendengar bahwa dirinya dipanggil seorang wakil kepala sekolah—walau tidak sendirian—membuatnya refleks berdebar. Daru, yang selalu menghabiskan jam istirahat kedua dengan tidur, refleks mengangkat wajah dari meja. Ada jejak liur di ujung bibirnya.

“Sekarang?” tanya Nova.

“Sekarang banget.”

Sempat Soya dan Nova bertukar pandang, lantas mereka memberi anggukan kepada Ketua OSIS. Menit berikutnya, mereka bertiga sudah meninggalkan kelas menuju ruang para wakil kepala sekolah. Suara geluduk dan angin kencang menyusup di tiap celah bangunan sekolah, mengantarkan aroma hujan yang tampaknya bakal deras hingga sore.

Ruang para wakil semencekam ruang kepala sekolahnya. Bukan karena pendingin ruangan, melainkan potret-potret para pejabat pendahulu yang menyambut para pendatang dengan tatapan kosong. Plakat-plakat piagam jadul dari kayu dan kuningan berjajar rapi di atas lemari-lemari arsip yang setua nenek Daru, terselimuti oleh debu sepanjang liburan. Dari tiga meja wakil kepala sekolah, hanya satu yang sedang dihuni oleh seorang pria paruh baya, tengah menanti mereka. Kaspian dan Juni ternyata sudah ada di sana. Ekspresi mereka tak terbaca.

Soya menelan ludah. Ada apa ini?

Ishak tak mengatakan apa pun saat ketiga murid memasuki ruangan. Alih-alih, telunjuknya menuding mereka bergantian, bibir tebalnya menggumamkan sesuatu.

“Lima? Hanya lima?” tanyanya. “Anggota ekskul teater?”

“Ya, Pak,” jawab Kaspian.

“Semuanya kelas sebelas?”

“Betul.”

Ishak mengatupkan bibir. Entah apa yang berada di pikirannya, tetapi Soya menduga itu bukan kabar baik. Terlalu sering diam dan mengamati membuatnya mudah mengenali ekspresi semacam itu: cara Ishak mengangkat alis, mata yang tidak ikut tersenyum, dan jari yang mengetuk-ketuk pelan di meja.

Lantas Soya menyadari sesuatu. Kenapa tak ada Sastra?

“Ini sudah semester genap. Semester depan, kalian sudah naik ke kelas dua belas. Itu berarti ....”

Ishak sengaja tidak meneruskan kalimatnya sejenak, memerhatikan satu per satu wajah yang menanti. Tampaknya hampir semua murid sudah paham apa yang dimaksudkan Ishak.

“Itu berarti, nggak ada yang bakal meneruskan ekskul teater,” katanya perlahan, tetapi keras untuk menancap pada setiap hati para pendengarnya.

“Tapi, Pak.” Nova melangkah maju. “Kan ada demo ekskul tiap pekan MOS. Kami masih baru menginjak kelas dua belas waktu itu. Belum waktunya untuk fokus belajar lebih keras.”

Tatapan Ishak sempat menajam kepada cewek berambut bergelombang itu, sebelum ia tersenyum lebar. “Memangnya gimana cara kalian bakal demo ekskul dengan anggota lima orang aja? Pekan MOS lalu, kalian bahkan nggak dapat izin demo ekskul karena cuma bertiga. Kalau nggak ada anggota yang lebih muda, gimana bisa menarik perhatian murid baru?”

Juni memicingkan mata. “Intinya Bapak apa, deh?”

Ishak menyeringai saat ditanya demikian, ekspresinya seolah-olah mengatakan, “Akhirnya!”

“Jadi gini, saya nggak tahu apakah Pak Sastra sudah menyampaikan kepada kalian atau belum, tapi pihak yayasan menerapkan efisiensi anggaran untuk beberapa hal, termasuk bidang ekstrakurikuler.” Ishak mengaitkan jari di bawah dagu. “Singkatnya, ekskul teater akan saya tutup setelah kalian naik kelas.”

Ketika para murid terperangah, Kaspian dan Nova bereaksi paling keras.

“Tapi jumlah anggotanya pas lima, Pak! Itu syarat minimal anggota ekskul teater!”

“Kami masih ada kesempatan untuk demo ekskul!” timpal Kaspian. Kengerian di matanya tak luput dari perhatian Soya. Kejujuran reaksi cowok itu melampaui pengakuannya, beberapa waktu lalu, bahwa dirinya bergabung teater karena sekadar dorongan ekspektasi. “Dan kami juga udah daftar lomba. Proposalnya udah disusun—“

Senyum Ishak berubah masam. “Itulah masalahnya. Kalian—nggak, Pak Sastra, maksud saya—terlalu memaksakan untuk mempertahankan ekskul teater ini. Pakai ikutan lomba segala, padahal mau dibubarkan. Mending saya alokasikan ke pengembangan ekskul lain yang ramai peminat.”

Ishak mengayunkan tangan ke tumpukan proposal baru yang mampir di mejanya. Semuanya dari berbagai ekstrakurikuler yang tak pernah kehabisan pendaftar: ekstrakurikuler basket, futsal, bahkan tari yang akhir-akhir ini semakin ngetren sejak membuka cabang tari modern, hingga PMR, Paskibraka, dan Pramuka. Trio ekstrakurikuler terakhir itu memang tak pernah sepi peminat.

“Bahkan kalau kami menangkan lomba ini, Pak?” Daru tiba-tiba bersuara. “Kalau berprestasi, apa nggak bisa dipertahankan? Seharusnya masih bisa dipertahankan, karena membuktikan anggaran untuk lomba kami nggak sia-sia.”

Kala murid-murid lainnya menatap Ishak tanpa kedip, pria itu menghela napas. “Yakin bisa menang lomba?” tanyanya skeptis. “Kalian cuma berlima, loh. Anggota ekskul teater sekolah lain malah banyak banget. Minimal dua puluh ada. Sudah pasti persiapan mereka matang. Kalian. Cuma berlima. Yakin?”

Keheningan mencekik masing-masing tenggorokan. Tidak mudah menelurkan satu patah kata ‘ya’, ketika ucapan Ishak telah mengembalikan mereka pada realita.

Lima orang. Menyiapkan naskah. Membangun properti. Beradu akting—dengan seseorang yang begitu malu untuk bersuara. Mencari kostum. Bisakah mereka melakukannya?

Sadar tak ada yang menjawab, Ishak mengangkat bahu. “Kalian bisa dapat dua anggota baru aja udah syukur. Layar Surya memang pernah berjaya, tapi dulu.” Ia mengayunkan tangan ke arah plakat-plakat paling usang di atas lemari pojok. “Dua puluhan tahun lalu. Tapi sekarang nggak lagi. Banyak teater yang lebih terkenal, yang lebih ... tidak bermasalah.”

Alis Soya berkedut mendengarnya. Bermasalah? Bagian mana dari Teater Layar Surya yang bermasalah? Ia tak pernah mendengar kasus apa pun tentang teater ini, selain memang berada di ambang batas karena sepinya peminat. Ia melirik kepada kawan-kawannya, tetapi mereka juga tampak sama tak mengertinya.

“Paham, ya?” Ishak berkata lagi. “Ekskul teater tetap akan saya tutup. Nggak usah repot-repot memikirkan demo ekskul. Untuk proposal lombanya ... hmm, simpan saja dulu.”

Soya memelotot. Tunggu. Otak spontan memunculkan berbagai dugaan mengerikan. Apa itu berarti Ishak sebenarnya menyarankan agar mereka tidak ikut lomba? Bukankah itu alasan Soya dan Daru ditarik ke teater?

Bukankah itu alasan Soya dijanjikan nilai sempurna?

Jika tak ada lomba, maka itu berarti keaktifannya di Layar Surya sia-sia, maka ia harus mendaftar bimbel, maka orang tuanya akan sadar jika—

“P-Pak!” seru Soya. “Kami bisa menang, kok!”

Saat keempat kawannya spontan menoleh kepada Soya dengan mulut menganga berjamaah, Soya mengabaikan mereka. Jantungnya berdebar-debar keras.

Sebab, ada yang lebih mengerikan daripada tatapan mereka.

“K-kan, nggak tahu kalau nggak dicoba dulu!”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • zetamol

    Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---

    Comment on chapter Prolog: Ambang Batas
  • zetamol

    Anxiety-mu itu loh, Soya 😭

    Comment on chapter Bab 1: Soya Mayanura
Similar Tags
BUNGA DESEMBER
529      367     0     
Short Story
Sebuah cerita tentang bunga.
Horses For Courses
11505      2319     18     
Romance
Temen-temen gue bilang gue songong, abang gue bahkan semakin ngatur-ngatur gue. Salahkah kalo gue nyari pelarian? Lalu kenapa gue yang dihukum? Nggak ada salahnya kan kalo gue teriak, "Horses For Courses"?.
WulanaVSurya
451      316     1     
Romance
Terimakasih, kamu hadir kembali dalam diri manusia lain. Kamu, wanita satu-satunya yang berhasil meruntuhkan kokohnya benteng hatiku. Aku berjanji, tidak akan menyia-nyiakan waktu agar aku tidak kecewa seperti sedia kala, disaat aku selalu melewatkanmu.
Cinta (tak) Harus Memiliki
5474      1395     1     
Romance
Dua kepingan hati yang berbeda dalam satu raga yang sama. Sepi. Sedih. Sendiri. Termenung dalam gelapnya malam. Berpangku tangan menatap bintang, berharap pelangi itu kembali. Kembali menghiasi hari yang kelam. Hari yang telah sirna nan hampa dengan bayangan semu. Hari yang mengingatkannya pada pusaran waktu. Kini perlahan kepingan hati yang telah lama hancur, kembali bersatu. Berubah menja...
Kenangan Hujan
533      395     0     
Short Story
kisah perjuangan cinta Sandra dengan Andi
SWEET BLOOD
0      0     0     
Fantasy
Ketika mendengar kata 'manis', apa yang kau pikirkan? "Menghirup aromanya." Lalu, ketika mendengar kata 'darah yang manis', apa yang kau pikirkan? "Menikmati rasanya." Dan ketika melihat seseorang yang memiliki 'bau darah yang manis', apa yang kau pikirkan? "Mendekatinya dan menghisap darahnya."
The Call(er)
735      371     9     
Fantasy
Dengan penuh tanda tanya, Freya Amethys mencoba menenangkan gejolak yang sedang bergemuruh dalam batinnya sendiri. Kenapa dia bisa melanggar aturannya sendiri? Dia ke sini hanya untuk menyelesaikan tugas dari Raja. Misinya hanya itu tidak lebih. Tapi semua itu berantakan akibat pertemuannya dengan Raka. Sebagai anggota pasukan khusus Freya seharusnya memainkan perannya sebagai The Match Breaker ...
The Story of Fairro
2695      1106     3     
Horror
Ini kisah tentang Fairro, seorang pemuda yang putus asa mencari jati dirinya, siapa atau apa sebenarnya dirinya? Dengan segala kekuatan supranaturalnya, kertergantungannya pada darah yang membuatnya menjadi seperti vampire dan dengan segala kematian - kematian yang disebabkan oleh dirinya, dan Anggra saudara kembar gaibnya...Ya gaib...Karena Anggra hanya bisa berwujud nyata pada setiap pukul dua ...
Hunch
38336      5496     121     
Romance
🍑Sedang Revisi Total....🍑 Sierra Li Xing Fu Gadis muda berusia 18 tahun yang sedang melanjutkan studinya di Peking University. Ia sudah lama bercita-cita menjadi penulis, dan mimpinya itu barulah terwujud pada masa ini. Kesuksesannya dalam penulisan novel Colorful Day itu mengantarkannya pada banyak hal-hal baru. Dylan Zhang Xiao Seorang aktor muda berusia 20 tahun yang sudah hampi...
Kisah Alya
306      226     0     
Romance
Cinta itu ada. Cinta itu rasa. Di antara kita semua, pasti pernah jatuh cinta. Mencintai tak berarti romansa dalam pernikahan semata. Mencintai juga berarti kasih sayang pada orang tua, saudara, guru, bahkan sahabat. Adalah Alya, yang mencintai sahabatnya, Tya, karena Allah. Meski Tya tampak belum menerima akan perasaannya itu, juga konflik yang membuat mereka renggang. Sebab di dunia sekaran...