Soya mencoba mengikuti saran Kaspian. Ia ingat Nino punya kostum pahlawan dari acara televisi, lengkap dengan topengnya, untuk acara hari pahlawan di taman kanak-kanak dahulu. Mengingat Nino selalu memiliki mainan baru, topeng itu pasti tenggelam di salah satu boks mainan yang hampir tak pernah dibuka.
Dugaannya benar. Topeng Spiderman yang karetnya sudah lepas, lengkap dengan sobekan kecil di bagian dagu itu masih ada. Soya pun membetulkannya, lantas diam-diam membawanya ke kamar. Tiap malam, ia mengenakan topeng itu di depan kaca, dan meniru gerakan-gerakan aktor di sinetron yang ditonton Yasmin hari itu. Walau wajahnya tertutup, setidaknya ... gerakan tubuhnya bisa dilemaskan, kan ... ?
Itu, ditambah memenuhi hari-hari latihan selama liburan dengan menyusun naskah, akhirnya liburan pun berakhir dan semester genap dimulai.
Namun, Soya tak pernah menduga akan menerima panggilan dari wakil kepala sekolah di hari pertama masuk.
Ia tidak sendirian.
Panggilan datang tiba-tiba, ketika Ketua OSIS SMA Surya Cendekia mampir ke kelas XI Bahasa saat jam istirahat kedua. Cowok itu mengintip ke dalam kelas, seperti mencari-cari seseorang. Saat itulah Nova muncul dari arah kantin bersama teman-teman ceweknya.
“Woi! Ketua OSIS, minggir. Nggak bisa lewat.”
Cowok itu spontan menoleh. “Naaah. Aku nyariin kamu, Nov! Kamu dipanggil Waka Kesiswaan.”
Lalu, telunjuknya terarah ke murid lain, tetapi bingung mesti tertambat pada siapa tepatnya. “Sama dua lagi ... namanya Daru dan Soya. Yang mana, ya?”
Soya terbengong-bengong. Mendengar bahwa dirinya dipanggil seorang wakil kepala sekolah—walau tidak sendirian—membuatnya refleks berdebar. Daru, yang selalu menghabiskan jam istirahat kedua dengan tidur, refleks mengangkat wajah dari meja. Ada jejak liur di ujung bibirnya.
“Sekarang?” tanya Nova.
“Sekarang banget.”
Sempat Soya dan Nova bertukar pandang, lantas mereka memberi anggukan kepada Ketua OSIS. Menit berikutnya, mereka bertiga sudah meninggalkan kelas menuju ruang para wakil kepala sekolah. Suara geluduk dan angin kencang menyusup di tiap celah bangunan sekolah, mengantarkan aroma hujan yang tampaknya bakal deras hingga sore.
Ruang para wakil semencekam ruang kepala sekolahnya. Bukan karena pendingin ruangan, melainkan potret-potret para pejabat pendahulu yang menyambut para pendatang dengan tatapan kosong. Plakat-plakat piagam jadul dari kayu dan kuningan berjajar rapi di atas lemari-lemari arsip yang setua nenek Daru, terselimuti oleh debu sepanjang liburan. Dari tiga meja wakil kepala sekolah, hanya satu yang sedang dihuni oleh seorang pria paruh baya, tengah menanti mereka. Kaspian dan Juni ternyata sudah ada di sana. Ekspresi mereka tak terbaca.
Soya menelan ludah. Ada apa ini?
Ishak tak mengatakan apa pun saat ketiga murid memasuki ruangan. Alih-alih, telunjuknya menuding mereka bergantian, bibir tebalnya menggumamkan sesuatu.
“Lima? Hanya lima?” tanyanya. “Anggota ekskul teater?”
“Ya, Pak,” jawab Kaspian.
“Semuanya kelas sebelas?”
“Betul.”
Ishak mengatupkan bibir. Entah apa yang berada di pikirannya, tetapi Soya menduga itu bukan kabar baik. Terlalu sering diam dan mengamati membuatnya mudah mengenali ekspresi semacam itu: cara Ishak mengangkat alis, mata yang tidak ikut tersenyum, dan jari yang mengetuk-ketuk pelan di meja.
Lantas Soya menyadari sesuatu. Kenapa tak ada Sastra?
“Ini sudah semester genap. Semester depan, kalian sudah naik ke kelas dua belas. Itu berarti ....”
Ishak sengaja tidak meneruskan kalimatnya sejenak, memerhatikan satu per satu wajah yang menanti. Tampaknya hampir semua murid sudah paham apa yang dimaksudkan Ishak.
“Itu berarti, nggak ada yang bakal meneruskan ekskul teater,” katanya perlahan, tetapi keras untuk menancap pada setiap hati para pendengarnya.
“Tapi, Pak.” Nova melangkah maju. “Kan ada demo ekskul tiap pekan MOS. Kami masih baru menginjak kelas dua belas waktu itu. Belum waktunya untuk fokus belajar lebih keras.”
Tatapan Ishak sempat menajam kepada cewek berambut bergelombang itu, sebelum ia tersenyum lebar. “Memangnya gimana cara kalian bakal demo ekskul dengan anggota lima orang aja? Pekan MOS lalu, kalian bahkan nggak dapat izin demo ekskul karena cuma bertiga. Kalau nggak ada anggota yang lebih muda, gimana bisa menarik perhatian murid baru?”
Juni memicingkan mata. “Intinya Bapak apa, deh?”
Ishak menyeringai saat ditanya demikian, ekspresinya seolah-olah mengatakan, “Akhirnya!”
“Jadi gini, saya nggak tahu apakah Pak Sastra sudah menyampaikan kepada kalian atau belum, tapi pihak yayasan menerapkan efisiensi anggaran untuk beberapa hal, termasuk bidang ekstrakurikuler.” Ishak mengaitkan jari di bawah dagu. “Singkatnya, ekskul teater akan saya tutup setelah kalian naik kelas.”
Ketika para murid terperangah, Kaspian dan Nova bereaksi paling keras.
“Tapi jumlah anggotanya pas lima, Pak! Itu syarat minimal anggota ekskul teater!”
“Kami masih ada kesempatan untuk demo ekskul!” timpal Kaspian. Kengerian di matanya tak luput dari perhatian Soya. Kejujuran reaksi cowok itu melampaui pengakuannya, beberapa waktu lalu, bahwa dirinya bergabung teater karena sekadar dorongan ekspektasi. “Dan kami juga udah daftar lomba. Proposalnya udah disusun—“
Senyum Ishak berubah masam. “Itulah masalahnya. Kalian—nggak, Pak Sastra, maksud saya—terlalu memaksakan untuk mempertahankan ekskul teater ini. Pakai ikutan lomba segala, padahal mau dibubarkan. Mending saya alokasikan ke pengembangan ekskul lain yang ramai peminat.”
Ishak mengayunkan tangan ke tumpukan proposal baru yang mampir di mejanya. Semuanya dari berbagai ekstrakurikuler yang tak pernah kehabisan pendaftar: ekstrakurikuler basket, futsal, bahkan tari yang akhir-akhir ini semakin ngetren sejak membuka cabang tari modern, hingga PMR, Paskibraka, dan Pramuka. Trio ekstrakurikuler terakhir itu memang tak pernah sepi peminat.
“Bahkan kalau kami menangkan lomba ini, Pak?” Daru tiba-tiba bersuara. “Kalau berprestasi, apa nggak bisa dipertahankan? Seharusnya masih bisa dipertahankan, karena membuktikan anggaran untuk lomba kami nggak sia-sia.”
Kala murid-murid lainnya menatap Ishak tanpa kedip, pria itu menghela napas. “Yakin bisa menang lomba?” tanyanya skeptis. “Kalian cuma berlima, loh. Anggota ekskul teater sekolah lain malah banyak banget. Minimal dua puluh ada. Sudah pasti persiapan mereka matang. Kalian. Cuma berlima. Yakin?”
Keheningan mencekik masing-masing tenggorokan. Tidak mudah menelurkan satu patah kata ‘ya’, ketika ucapan Ishak telah mengembalikan mereka pada realita.
Lima orang. Menyiapkan naskah. Membangun properti. Beradu akting—dengan seseorang yang begitu malu untuk bersuara. Mencari kostum. Bisakah mereka melakukannya?
Sadar tak ada yang menjawab, Ishak mengangkat bahu. “Kalian bisa dapat dua anggota baru aja udah syukur. Layar Surya memang pernah berjaya, tapi dulu.” Ia mengayunkan tangan ke arah plakat-plakat paling usang di atas lemari pojok. “Dua puluhan tahun lalu. Tapi sekarang nggak lagi. Banyak teater yang lebih terkenal, yang lebih ... tidak bermasalah.”
Alis Soya berkedut mendengarnya. Bermasalah? Bagian mana dari Teater Layar Surya yang bermasalah? Ia tak pernah mendengar kasus apa pun tentang teater ini, selain memang berada di ambang batas karena sepinya peminat. Ia melirik kepada kawan-kawannya, tetapi mereka juga tampak sama tak mengertinya.
“Paham, ya?” Ishak berkata lagi. “Ekskul teater tetap akan saya tutup. Nggak usah repot-repot memikirkan demo ekskul. Untuk proposal lombanya ... hmm, simpan saja dulu.”
Soya memelotot. Tunggu. Otak spontan memunculkan berbagai dugaan mengerikan. Apa itu berarti Ishak sebenarnya menyarankan agar mereka tidak ikut lomba? Bukankah itu alasan Soya dan Daru ditarik ke teater?
Bukankah itu alasan Soya dijanjikan nilai sempurna?
Jika tak ada lomba, maka itu berarti keaktifannya di Layar Surya sia-sia, maka ia harus mendaftar bimbel, maka orang tuanya akan sadar jika—
“P-Pak!” seru Soya. “Kami bisa menang, kok!”
Saat keempat kawannya spontan menoleh kepada Soya dengan mulut menganga berjamaah, Soya mengabaikan mereka. Jantungnya berdebar-debar keras.
Sebab, ada yang lebih mengerikan daripada tatapan mereka.
“K-kan, nggak tahu kalau nggak dicoba dulu!”
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas