Ada sedikit berita buruk. Rupanya, anggota ekskul PMR mengadakan pelatihan di paruh terakhir musim liburan, otomatis membuat SMA Surya Cendekia bukan lagi lahan berlarian bagi kelima anak teater. Mereka mesti berpuas diri dengan menguasai perpustakaan dan auditorium.
Pertemuan kali ini, yang Soya sudah lupa hitung untuk keberapa, dimulai dengan Sastra ingin menguji kemampuan Daru.
Dari meja resepsionis yang didudukinya, Sastra menyodorkan buku yang memuat cerita Cindelaras. “Coba, kamu baca bagian dialog Cindelarasnya. Kamu bilang pernah diceritakan sama nenekmu semasa SD, kan? Coba, saya ingin tahu ... sekuat apa impresi Cindelaras bagi kamu.”
Daru yang disuruh, tetapi entah kenapa malah Soya yang tegang. Ia memerhatikan kawannya membolak-balik halaman dengan tenang. Inilah yang membuat Soya penasaran dengan Daru sejak mereka jadi teman sebangku. Daru sering tak banyak bereaksi. Kalem. Sisi antusias cowok itu malah seperti kejutan tak terduga yang entah kapan bakal muncul lagi.
Akhirnya, Daru berkata, “Saya butuh ada yang jadi Raden Putra.” Tanpa menunggu lagi, ia ganti menyerahkan buku kepada Kaspian. “Coba baca baris keempat di halaman kiri.”
Kaspian mengangkat alis. Ia membaca dengan santai, nadanya tak jauh-jauh dari membaca buku biasa. “’Buktikan kehebatan milikmu, Cindelaras! Namun, jika engkau tak bisa mengalahkan diriku, maka pantaslah kau angkat kaki lebih jauh daripada hutan yang kau tinggali itu.’”
Selama Kaspian membaca, Daru telah memejamkan mata. Alisnya berkedut dan dahinya berkerut seiring ucapan Kaspian, seolah-olah vonis itu benar-benar dijatuhkan kepadanya.
Soya menahan napas. Apa yang bakal Daru lakukan?
Saat cowok itu membuka mata, tatapannya berubah. Ada keberanian di matanya yang gelap. Ujung bibirnya menyimpan kesanggupan, manakala Daru mencondongkan tubuh. Satu tangannya menangkup di dada seperti menghormati dan satu tangannya terkepal di balik punggung.
“Dengan senang hati, Paduka Raja,” nadanya tegas dan penuh keyakinan, dalam dan membuat Soya terperangah. Daru tak pernah bersuara seperti itu!
Namun, pertunjukan belum berakhir. Daru menegakkan tubuh, tangannya berayun ke arah Kaspian. Kesanggupan yang menggelitik ujung bibirnya kini berubah menjadi senyum lebar, tetapi menantang dengan santun.
“Namun, jikalau saya menang, maka berikan separuh kekayaan Paduka kepada saya!” serunya penuh semangat. Matanya berbinar-binar kala merentangkan tangan, seperti seorang bocah yang telah dijanjikan mainan terbaik seumur hidup.
“Telah tiba waktunya ibunda saya hidup lebih baik daripada yang telah dilaluinya selama ini. Ibunda yang sangat saya cintai, walau saya menyesal tidak mampu membawa Ibunda kemari, barang duduk sejenak di pelataran Paduka!”
Daru mengatupkan mulut. Wajahnya masih berseri-seri ke arah Kaspian. Cowok yang ditatap melongo, seperti wajah cewek-cewek lainnya. Sempat ia panik membaca ke halaman buku yang terbuka lagi, lantas Kaspian terperangah.
“Nggak ada di buku!” ujarnya. “Apa yang kamu bilang tadi—itu—“
Ucapan Kaspian tersela oleh tepuk tangan Sastra. Tidak cepat, tetapi lambat dan tiap tepukannya disertai anggukan.
“Improvisasi.” Sastra tersenyum, sementara seri palsu di wajah Daru lenyap, berganti ekspresi datarnya seperti biasa. “Begitu cara nenekmu bercerita?”
Daru mengangguk. “Mbah seneng banget cerita,” katanya, agak malu, tapi juga ada kebanggaan di nadanya. “Kadang-kadang dialognya ganti. Kadang-kadang ceritanya panjang banget, kadang kependekan, tergantung suasana hati beliau.”
“Bravo, Daru. Bravo!” Sastra melompat turun dari meja. Ia mencengkeram kedua tangan cowok itu dan mengajaknya berputar-putar seperti orang menang lotre. “Sudah lama saya nggak nemu jiwa berbakat kayak kamu! Nova!”
Nova, yang semula skeptis parah terhadap Daru, kini tak ragu-ragu untuk ikut bergabung dengan tarian perayaan itu. “Ya elah, Dar! Ngerti gitu kamu tunjukin bakat dari awal!”
Begitu pula Juni, yang bergegas mengacungkan ponsel kamera dan berseru, “Daru, ulang lagi, dong! Tadi nggak sempet kerekam semuanya!”
Soya menatap Daru dengan kagum. Wow, ia ... ia tidak menyangka teman sebangkunya yang sederhana itu ternyata bisa akting! Ia menangkup tangan di mulut, berandai-andai jika dirinya diam-diam punya bakat seperti itu.
Pasti menyenangkan kalau bisa menjadi percaya diri seperti Daru!
Baru saja ia akan mengikuti perayaan dengan sekadar bertepuk tangan, ketika ujung matanya menangkap sosok Kaspian.
Tak ada senyum sama sekali di bibir cowo itu. Tangannya meremas buku di genggaman. Namun, tak ada yang memedulikannya, semua sibuk dengan perayaan kecil dan euforia tarian berputar di tempat.
Barulah Soya sadar, bahwa Sastra tadi sama sekali tak menyebut nama Kaspian saat menyebut jiwa berbakat.
Menyadari ini, cewek itu jadi sungkan untuk ikut menari-nari dalam putaran. Lagi pula, ia punya alasan bagus untuk tidak bersorak begitu cepat. Ia khawatir jika dirinya bakal dites kemampuan aktingnya seperti Daru juga.
Sastra dan ketiga muridnya akhirnya berhenti menari, langkah mereka terhuyung bak baru dihujani kerlip lampu sorot panggung yang menyilaukan. Soya buru-buru menyodorkan botol minum kepada Sastra.
“Saya ... saya nggak ikut dites, kan, Pak?”
Nova tertawa. “Ya kali! Kamu kan ikutan pentas juga, masa engga dites?”
Wajah Soya tak pernah memucat secepat ini. “Ng-ngerti! Tapi, kan ... tapi, kan, aku bakal megang tata artistik. D-dan aku nggak bisa ngomong depan orang-orang, dan ... dan ....”
Dan, ia tak pernah panik sebesar ini sampai-sampai mengucapkan segala hal yang bisa dilempar menjadi alasan. Ia tak peduli jika kawan-kawannya menatap dengan iba sekarang. Matanya berair dan Soya siap menangis kalau disuruh mencoba akting saat itu juga. Membayangkan saja membuat lututnya gemetaran.
Mendadak, Soya berpikir bagaimana bisa dirinya tetap rutin datang kemari tiga kali seminggu, alih-alih mendaftarkan diri ke les bimbel itu walau terlambat.
Apa, sih, yang sebenarnya aku lakukan di sini?
Sastra menghampirinya dan menepuk kedua pundak Soya. “Kan, ada peran pembantu,” katanya dengan senyum lebar. “Iya, Soya fokus koordinasi untuk properti, oke?”
Kelegaan menyeruak derasnya arus kepanikan Soya. Cewek itu refleks mengembuskan napas berat, tak menyangka dirinya mampu bereaksi seperti ini.
Nova justru mengernyit. Ia berkacak pinggang saat berkata, “Lah, gimana, sih? Bukannya peran pembantu juga mesti prak—“
“Ssh!” Kaspian mendesis kepadanya. Sebelum Nova mampu protes, ia beranjak dari posisi, menghampiri cewek itu dan mengucapkan sesuatu yang Soya tak mampu dengar. Punggung jangkung Kaspian menutup sosok Nova dari pandangannya.
Sastra berdeham. “Kita mulai susun naskah sekarang, anak-anak,” katanya, mengayunkan tangan ke arah meja besar yang dikelilingi kursi-kursi empuk berwarna gelap. “Bagian dokumentasi dan sekretaris—Daru dan Juni—sudah siap, kan?”
“A-anu.” Masih dengan jantung berdebar-debar, Soya mencicit. “G-gimana kalau ... kalau saya bantu Juni jadi sekretaris aja ...?”
Sastra dan Juni mengangkat alis bersamaan. Alih-alih, justru Daru yang bersuara. “Kalau kamu masih takut akting, memang mestinya lebih berguna di bagian lain, sih.”
“Aku mau melakukan apa aja ... apa aja. Asal nggak akting.” Soya mengangguk cepat-cepat, terdorong oleh rasa bersalah. Melihat Kaspian membungkam Nova—barangkali untuk membelanya—ia merasa tak semestinya itu yang terjadi. Seharusnya ia tidak keberatan disuruh akting.
Namun, bagaimana caranya melakukan itu, jika membaca naskah tertulis saja membuatnya ingin terkencing-kencing di depan kelas?
Bukankah lebih baik ia diam saja daripada merusak kepercayaan diri kawan-kawannya yang menawan?
“Hm ... gimana, Jun?”
“Aku, sih, nggak masalah.” Juni mengangkat bahu. “Kalau begitu, bagian dokumentasi agar aku dan Daru aja yang handle bersama. Karena dokumentasi tuh penting banget untuk teater kita.”
Sembari berpindah posisi ke meja yang dimaksud Sastra, Soya mendengar gerutuan Nova di belakang punggungnya.
“Gimana, sih? Hadap kamera nggak bisa. Akting nggak bisa. Buat apa ia gabung di sini?”
**
Jika Soya jujur bahwa kehadirannya di Teater Layar Surya adalah untuk mendapatkan jalan pintas nilai sempurna, akankah Nova dan yang lainnya marah? Daru, teman sebangkunya itu, untungnya tak pernah membahas rahasia ini. Walau, ucapan Daru tadi rasanya seperti menyindir.
Atau, cuma perasaan Soya saja?
Soya terus kepikrian saat berjalan pulang. Waktu latihan teater telah bubar. Usai menyetor catatan kepada Sastra, ia beranjak pulang dengan lesu.
Saat itulah ia mendengar suara familiar memanggilnya. “Soya!”
Ia celingukan. Asal suaranya dekat. Soya mendongak ke arah tangga kafe dan mendapati Kaspian baru saja keluar dari bangunan itu, menghampirinya.
“Kas? Nggak pulang sama Juni?” tanya Soya heran. Tadi ia berpisah dengan Juni di gerbang. Cewek itu menaiki mobil, walau memang rupanya berbeda dari sedan yang biasa disetir Kaspian.
“Juni ada janji sama mamanya. Kamu mau pulang?”
Soya mengangguk.
“Bareng?”
Ganti ia menggeleng. “Mau jalan aja. Mau ... mikir.”
Ekspresi Kaspian melunak. “Mau aku temani mikir? Aku lagi nggak bawa kendaraan—mobilku dipinjam mamaku.”
Soya ragu-ragu sejenak. Ingin ia menolak, tetapi lantas teringat bahwa ada hal yang membuatnya penasaran. Maka ia mempersilakan Kaspian untuk menyusuri trotoar bersama-sama.
“Kas, tadi ... kamu ngomong apa ke Nova?” tanyanya pelan, berharap Kaspian tidak keberatan. “Waktu Nova protes karena aku nggak mau akting ....”
“Oh, itu.” Kaspian menyesap iced dark chocolate di genggaman. “Aku cuma bilang, tiap orang punya prosesnya sendiri-sendiri. Nggak bisa dipaksa.”
Ternyata Kaspian benar membelanya. Walau ucapan cowok itu tampaknya benar, rasa sungkan Soya lebih besar daripada keinginan berterima kasih. Tangannya mengeratkan genggaman di selempang tas.
“Kas, boleh tahu alasan kamu gabung Layar Surya?”
Soya kira alasannya sudah jelas. Karena Kaspian mantan aktor cilik. Bergabung teater seperti memastikan bahwa bakatnya itu tidak hilang.
Namun, jawaban cowok itu di luar dugaan. “Aku nggak tahu harus gabung ekskul apa selain teater,” gumamnya sambil menggigit sedotan. “Dan lagi, orang-orang memandangku aneh kalau nggak gabung Layar Surya dengan statusku.”
Soya mengernyit. Jadi, bukan karena keinginan terpendam? “Kalau Juni? Nova? Apa kamu tahu?”
“Tahu. Nova gabung karena kedua orang tuanya aktor ludruk. Mereka punya sanggar sendiri, jadi bagi Nova udah sewajarnya kalau ia gabung teater ini.”
Ah, pantas saja!
“Kalau alasan Juni gabung Layar Surya ....” Kaspian mengernyit. “Jujur, masih misteri sampai sekarang. Juni cuma pernah bilang kalau bergabung teater karena ada aku. Emang tuh cewek kalau nggak hapean mulu, ya ngikutin aku ke mana-mana. Katanya nggak ada teman main.”
Soya termangu. Semua punya alasan masing-masing, kuat atau aneh, tetapi itulah yang membuat Teater Layar Surya menjadi tujuan mereka.
Tak seperti Soya, yang menggunakan teater itu untuk mendapat nilai sempurna.
“Aku ... bukannya nggak mau akting,” ujarnya pelan, walau sejujurnya ia memang tidak mau akting. Meski, kejutan Daru tadi membuatnya sempat berangan-angan walau untuk beberapa detik saja. “Tapi ... aku nggak bisa.”
Saat mengatakan ini, Soya sebenarnya takut bakal dicemooh Kaspian. Apalagi cowok itu memiliki pengalaman yang lebih banyak daripada kawan-kawan mereka yang lain. Kaspian pernah tampil di beberapa iklan televisi, jadi pemeran anak dari pasangan tokoh utama di sinetron empat musim tujuh tahun yang lalu, dan terakhir memerankan peran anak sekolah dasar di sebuah film bioskop yang konon penjualannya tak mampu mengganti biaya produksi. Kaspian tak pernah mau memberitahu film apa itu, kendati sekarang siapa saja bisa mencari di internet.
“Memang nggak bisa kalau nggak dicoba dulu,” kata Kaspian, nadanya sesantai Daru saat mengucapkan hal serupa di pertemuan lalu.
Nggak akan tahu kalau nggak dicoba.
“Tapi,” tambah cowok itu, “Keluar dari zona nyaman memang ngeri. Ngeri banget. Aku tahu rasanya.”
Kala Soya menatapnya dengan kaget, Kaspian terkekeh pelan. “Apa?”
“Kamu kan mantan aktor cilik!”
“For your information, Soya, pertama kali aku dipaksa audisi, aku nangis.” Kekehan Kaspian berkembang menjadi tawa. “Serius!”
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas