Loading...
Logo TinLit
Read Story - Layar Surya
MENU
About Us  

Pertemuan ketiga diadakan di pendapa dekat kelas, sebab hujan mengguyur deras, dan Soya nyaris ketahuan.

Dua puluh menit sebelumnya, Soni, yang ngedumel sejak hujan turun dan katanya mengancam rencana rapat dengan klien-klien lama, mengotot untuk mengantarkan Soya ke tempat les bimbel. Cewek itu sempat panik, memikirkan rencana cadangan sekaligus berharap Soni takkan menungguinya hingga hujan reda.

Berita buruknya, Soni memang menunggu. Saat Soya diturunkan di depan tempat les bimbel, Soni mengawasi untuk memastikan cewek itu masuk hingga ke lobi. Ia tidak mau beranjak walau Soya sudah mengibaskan tangan, mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja menunggu di teras yang berkanopi. Soni menganggap tingkah Soya konyol. Tersela keras suara guyuran hujan, Soni menurunkan kaca mobil dan berteriak, “Kenapa nggak masuk? Cepat masuk!”

Akhirnya, Soya pun melewati pintu kaca dengan sungkan. Suasana yang lenggang dan hanya diramaikan alunan radio membuat Soya malu, apalagi saat petugas resepsionis yang pernah berinteraksi dengannya dulu ikut memerhatikan.

“Ada yang bisa saya bantu, Kak? Sudah memutuskan mau daftar?”

“M-maaf,” kata Soya dengan lirih. “Butuh tempat teduh aja, Kak.”

Petugas itu tersenyum simpul dan mengabaikannya. Soya pun berbalik, dan—ini berita baiknya—mobil Soni akhirnya meluncur pergi.

Usai mengucapkan permisi, cewek itu bergegas keluar bangunan dan membuka payung. Ia bertemu Daru yang baru saja turun dari angkot.

“Soya! Nebeng!”

Belum sempat Soya menjawab, Daru sudah berlari ke arahnya, mendesak di bawah naungan payung yang tak seberapa lebar.

“Aduh, kecil payungnya, ya,’’ gumam Daru dengan rasa bersalah. “Maaf ya, aku salah bawa payung, sih. Aku keliru bawa payung rusak. Belum sempet kujahit.”

Soya menggeleng. “Nggak apa-apa. Ayo.”

Daru merapat, kaos hitamnya yang basah sebagian menempel pada lengan Soya, dan bergegas mereka berlari menuju tempat yang diumumkan Sastra semalam lewat grup percakapan. Genangan air berkecipakan kala mereka melintas dengan sandal-sandal.

Baru saja mereka tiba di teras sekolah, mobil sedan melenggang masuk ke halaman parkir terdekat. Selang beberapa saat, Kaspian keluar dari jok pengemudi, dan Juni menyusul dari bangku penumpang. Masing-masing membawa payung sendiri.

“Ciee.” Juni langsung mengangkat ponsel, mengarahkannya kepada Daru dan Soya yang sama-sama memeras ujung kaos basah. “Payungnya cuma satu, sepayung berdua, ya?”

Soya menahan napas. Ah, lagi-lagi direkam tanpa izin!

Kaspian tahu-tahu menutup kamera ponsel Juni dengan jarinya. “Udah, ah, Jun. Jangan dikit-dikit merekam. Ingat aku bilang apa tempo hari?”

Juni mencebik, meski tidak protes sewaktu Kaspian menurunkan tangannya. “Iya, iya. Nggak boleh rekam orang sembarangan kecuali saat jam ekskul. Puas?”

Cowok itu tak menjawab. Ia mendahului Juni mencapai teras, lantas memerhatikan kaos Daru dan Soya yang kini renyuk, dan satu payung yang kekecilan untuk menaungi dua orang.

“Kalau nanti masih hujan, aku antar, ya.” Kaspian ikut meletakkan payungnya.

Daru menggeleng. “Rumahku jauh. Di kabupaten.”

“Nggak apa-apa,” kata Kaspian. “Daripada kalian terkena penyakit dan nggak bisa liburan dengan tenang.”

“Tapi—“

“Iyain aja,” Juni menimpali. “Kas emang suka gitu, kok! Dia suka nyetir ke mana-mana kayak orang gabut.”

“Siapa yang gabut? Itu bantu ngejernihin pikiran!”

“Kayak orang tua aja!”

Mereka berempat pun melintasi lorong sekolah yang begitu panjang dan senyap, hanya diperciki hujan deras sesekali. Gema pukul sepuluh pagi tepat dari lemari jam tua di sisi lorong ditenggelamkan oleh ganasnya guyuran hujan. Burung-burung dara di dalam kandang raksasa di taman—yang besar kandangnya mencapai sepertiga luas kelas—mengepakkan sayap gelisah kala mereka melintas.

Nova sedang membantu Sastra mencatat sesuatu saat mereka tiba. Dan di sinilah Soya, di pendapa sekolah, dua puluh menit setelah diantar Soni, dengan bertelanjang kaki.

“Hari ini kita latihan dasar lagi, ya,” kata Sastra. “Latihan dasar sebelum kita masuk ke serangkaian latihan buat menunjang pentas. Nah, setelah itu, kita nyusun naskah Cindelaras bareng.”

Tiap kali mendengar kata latihan dasar, entah kenapa perut Soya mulas, membayangkan jika suatu saat dirinya yang bakal terkena hukuman. Bagaimanapun, ia merasa paling bodoh di teater ini. Setidaknya Daru masih menunjukkan semangat bergabung, tetapi Soya tidak. Namun, ini lebih baik daripada menghadiri les bimbel, kan?

“Latihan dasar kali ini butuh berpasangan, jadi ... hm, sebentar. Kas, kamu bantu Soya. Untuk Daru ....”

Sastra menelengkan kepala. “Siapa yang mau bantu Daru?”

“Saya aja, Pak.” Nova tak butuh waktu untuk berpikir. Ekspresinya mengingatkan Soya saat pertemuan lalu, sewaktu ia dan Kaspian sama-sama menatap Daru sangsi.

“Oke. Juni, kamu bagian dokumentasi, ya?”

Juni mengeluarkan “yaaa” malas, sementara Sastra menepuk tangan, mengisyaratkan semua untuk beranjak. “Selain Juni, semua tutup mata!”

Kala Soya menutup mata, rasa mulas menjalar di perut. Aduh, apakah bakal ada perlombaan lagi? Bagaimana kalau Soya membuka sedikit mata ... agar ia tidak kalah?

Selagi ia sibuk berpikir, tahu-tahu kedua pundaknya dicengkeram.

“Jalan sini,” Sastra berbisik sambil mengarahkan Soya mengambil beberapa langkah ke kanan. Cewek itu berusaha agar tidak tersandung. Tersandung kegugupannya sendiri.

Tanpa melepaskan cengkeramannya di pundak Soya sama sekali, Sastra mengeraskan suara untuk berbicara kepada semua.

“Kali ini kita latihan konsentrasi,” katanya. “Kita perlu melatih fokus dan menghargai—menikmati—penampilan orang lain. Ingat waktu hukuman Juni kemarin? Kalian tuh, bukannya ngasih dukungan moral ke temennya, malah diketawain. Padahal udah jelas Juni bakal malu di sana. Tawa kalian bikin ia lebih malu. Ini baru Juni, gimana kalau orang lain?”

Soya mendengar cengiran dan kekeh malu dari kawan-kawan di sekitarnya, dan gumaman Juni, “tuh, dengerin!” tetapi ia lebih fokus pada kata-kata terakhir Sastra.

Benar. Orang lain itu adalah dirinya.

Kalau Juni saja ditertawakan, padahal ia sudah demikian berani tampil di depan umum tanpa merengek-rengek diganti hukumannya ... bagaimana dengan Soya?

Yang bahkan terbata-bata baca naskah di depan kelas—di depan teman-teman yang telah dikenalnya satu tahun?

Memikirkan ini membuat perutnya mulas kedua kali. Satu kali lagi, mungkin ia bakal mengibrit ke toilet sekolah.

“Oke, sekarang semua buka mata dalam hitungan tiga ... dua ... satu!”

Seumur hidup, Soya jarang berada begitu dekat dengan seorang cowok. Paling banter Daru. Teman sebangkunya sendiri yang Soya rasa tidak masalah jika harus berbagi payung tadi. Atau adiknya, Nino, yang sudah jelas alasannya—apalagi Nino masih bocah. Ini karena orang tuanya melarang Soya berpacaran, jadi melihat anak sulungnya berdiri dekat-dekat dengan cowok bakal memantik kecurigaan.

Sehingga, ketika ia mendapati wajah Kaspian berada begitu dekat di hadapannya, napas Soya tercekat. Matanya membeliak, mempertegas kenyataan bahwa ujung-ujung jari kaki mereka hampir bersentuhan. Wawasan pandangnya penuh oleh wajah cowok itu: matanya yang cerah, alisnya yang rapi, hidung mancung ... bahkan dari jarak jauh, semua sepakat Kaspian memang cakep. Wajar. Dia mantan aktor cilik—penekanan pada kata mantan karena Kaspian cinta dan benci dengan status itu.

Sehingga, berdiri sedekat ini, rasanya Soya seperti mau pingsan. Jantungnya berdegup, mungkin karena panik dengan jarak mereka yang bisa membuat papanya jantungan, atau mungkin ini sensasi berdiri terlalu dekat dengan idola anak-anak enam tahun lalu, atau—

Kaspian refleks mengembuskan napas berat, menghantarkan aliran hangat ke wajah Soya di cuaca yang menggigil ini.

Cewek itu nyaris, nyaris sekali mengambil satu langkah mundur, apabila tidak teringat akan hukuman Juni tempo hari. Bagaimana jika mundur berarti kalah? Apakah ini latihan konsentrasi yang dimaksud—berani bertatap-tatapan tanpa goyah?

Namun, gara-gara ini, Soya gemetaran. Wajahnya memucat, tidak sanggup menatap kedua mata Kaspian lama-lama. Kala ia merasa tubuhnya hampir oleng ke belakang, mengakui kekalahannya dengan mengambil satu langkah mundur, Kaspian tahu-tahu mencengkeram kedua lengannya.

“Kas—“

Kaspian membuka mulut, tetapi alih-alih mengatakan sesuatu ... bibirnya melebar, lidahnya terjulur di antara barisan gigi, cuping hidungnya merekah, dan bola matanya bergulir naik.

Soya memekik. Apalagi saat Kaspian semakin mencondongkan tubuh dan genggamannya mengerat, mencegah Soya kabur. Namun, bahkan cengkeraman Kaspian pun melonggar, sebab tubuhnya gemetaran, dan cowok itu merosot ke lantai.

Dia tertawa keras-keras.

Soya kebingungan. Apa yang terjadi? Ia pun menoleh ke arah pasangan lainnya: Nova dan Daru. Soya melongo. Nova telah memasang wajah jelek terkonyol yang pernah dilihatnya. Wajah yang tak mungkin akan Nova tunjukkan pada dunia, bahkan pada cowok-cowok perundung di sekolah—sebab, Nova cukup menghardik mereka, tak perlu jauh-jauh berbuat seperti ini.

Namun, Daru tidak goyah.

Cowok itu bahkan lebih tenang daripada Soya. Bahunya mungkin sedikit melesak, semata-mata karena Nova ikut-ikutan mencengkeram lengannya. Meski begitu, selebihnya, Daru tak berkutik. Matanya mengerjap malas memandang Nova, walau wajah cewek itu telah memerah padam.

Sedetik kemudian, Nova bergabung dengan Kaspian di lantai, merosot dan menertawakan kekonyolan diri sendiri.

“Kalian ini gimana, sih!” Sastra menegur, meski seringai menghias bibirnya. “Kenapa malah kalian yang ketawa?!”

“Aku—aku nggak kuat.” Kaspian mengusap wajah, berusaha menghentikan tawa. Ia berusaha beranjak, tetapi tidak sanggup. “Soya tegang banget. Aku nggak tega. Tapi justru dia keliatan lucu.”

“Apa—“

Juni berdeham. Ia mematikan kamera dan bergegas mengulurkan tangan kepada Kaspian untuk membantu berdiri.

“Daru parah. Parah banget.” Nova masih terpingkal-pingkal. “Aku malu sendiri! Awas kamu, Daru!”

“Emang Nova nggak lucu, Daru? Ngaku aja, nggak apa-apa. Saya yang tanya.”

Daru menggaruk kepala saat menatap Sastra. “Kebetulan saya juga nggak pernah ketawa nonton acara komedi di televisi, Pak.”

“Tapi, kemarin kamu ikut menertawakan Juni!”

“Itu ... karena yang lain ketawa.”

“Tapi, tadi kamu nggak ikutan ketawa waktu Nova dan Kaspian ketawa?”

Daru terdiam sejenak, mencari logika dari reaksinya tadi. “Kayaknya, karena saya nggak ngerti lucunya di mana. Saya bahkan nggak tahu mereka tadi ngapain tiba-tiba kasih wajah jelek.”

Sastra menepuk dahi, dan itu membuat Soya terkekeh. Sepertinya tak ada hukuman. Kalaupun ada, tampaknya ia takkan terkena hukuman itu, jadi lenyaplah ketegangan Soya, berganti tawa kecil dan ringisan.

“Kamu baru ketawa sekarang, Soya? Telat!”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • zetamol

    Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---

    Comment on chapter Prolog: Ambang Batas
  • zetamol

    Anxiety-mu itu loh, Soya 😭

    Comment on chapter Bab 1: Soya Mayanura
Similar Tags
Cinta dibalik Kebohongan
808      555     2     
Short Story
Ketika waktu itu akan datang, saat itu kita akan tau bahwa perpisahan terjadi karena adanya sebuah pertemuan. Masa lalu bagian dari kita ,awal dari sebuah kisah, awal sebuah impian. Kisahku dan dirinya dimulai karena takdir ataukah kebohongan? Semua bermula di hari itu.
Bismillah.. Ta\'aruf
831      520     0     
Short Story
Hidup tanpa pacaran.. sepenggal kalimat yang menggetarkan nurani dan menyadarkan rasa yang terbelenggu dalam satu alasan cinta yang tidak pasti.. Ta\'aruf solusi yang dia tawarkan untuk menyatukan dua hati yang dimabuk sayang demi mewujudkan ikatan halal demi meraih surga-Nya.
Diskusi Rasa
1132      668     3     
Short Story
Setiap orang berhak merindu. Tetapi jangan sampai kau merindu pada orang yang salah.
The Reason
10834      1965     3     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
Reality Record
3062      1067     0     
Fantasy
Surga dan neraka hanyalah kebohongan yang diciptakan manusia terdahulu. Mereka tahu betul bahwa setelah manusia meninggal, jiwanya tidak akan pergi kemana-mana. Hanya menetap di dunia ini selamanya. Namun, kebohongan tersebut membuat manusia berharap dan memiliki sebuah tujuan hidup yang baik maupun buruk. Erno bukanlah salah satu dari mereka. Erno mengetahui kebenaran mengenai tujuan akhir ma...
Dira dan Aga
547      376     3     
Short Story
cerita ini mengisahkan tentang perjalanan cinta Dira
Dialektika Sungguh Aku Tidak Butuh Reseptor Cahaya
492      352     4     
Short Story
Romantika kisah putih abu tidak umum namun sarat akan banyak pesan moral, semoga bermanfaat
Furimukeba: Saat Kulihat Kembali
493      342     2     
Short Story
Ketika kenangan pahit membelenggu jiwa dan kebahagianmu. Apa yang akan kamu lakukan? Pergi jauh dan lupakan atau hadapi dan sembuhkan? Lalu, apakah kisah itu akan berakhir dengan cara yang berbeda jika kita mengulangnya?
The Eternal Love
21385      3243     18     
Romance
Hazel Star, perempuan pilihan yang pergi ke masa depan lewat perantara novel fiksi "The Eternal Love". Dia terkejut setelah tiba-tiba bangun disebuat tempat asing dan juga mendapatkan suprise anniversary dari tokoh novel yang dibacanya didunia nyata, Zaidan Abriana. Hazel juga terkejut setelah tahu bahwa saat itu dia tengah berada ditahun 2022. Tak hanya itu, disana juga Hazel memili...
Silver Dream
9082      2153     4     
Romance
Mimpi. Salah satu tujuan utama dalam hidup. Pencapaian terbesar dalam hidup. Kebahagiaan tiada tara apabila mimpi tercapai. Namun mimpi tak dapat tergapai dengan mudah. Awal dari mimpi adalah harapan. Harapan mendorong perbuatan. Dan suksesnya perbuatan membutuhkan dukungan. Tapi apa jadinya jika keluarga kita tak mendukung mimpi kita? Jooliet Maharani mengalaminya. Keluarga kecil gadis...