Loading...
Logo TinLit
Read Story - Layar Surya
MENU
About Us  

Semestinya Soya makan satu mangkuk sambal bakso, bukan sesendok saja.

Ia berharap sakit tipesnya tidak sembuh secepat ini. Lebih parah, kalau bisa. Dioperasi ususnya sekalian tidak mengapa. Asalkan satu: ia tidak perlu berbicara di depan kelas.

Ia ingin ambruk.

Pingsan.

Kalau bisa, dan fisiknya mampu, Soya bakal melompati meja-meja kayu itu, menerjang jendela yang terbuka, dan lompat dari lantai dua. Namun, ia tahu di sisi kanan bangunan adalah pagar dengan juntaian semak-semak kembang sepatu yang disayang Ibu Kepala Sekolah. Ketahuan mencabut satu daun dihukum lari tiga putaran keliling lapangan. Mencabut satu bunga dihukum jadi pemimpin upacara pada Senin mendatang.

Yah. Soya tak mau mengambil risiko merusak sepetak semak-semak. Apa jadinya ia nanti?

“Ayo, Ya!” teguran Sastra membuat Soya melonjak kaget. Lembar pertama dari bendelan di tangannya hampir lecek. Itu naskah Siti Nurbaya. Hari ini, pada penghujung pertemuan pelajaran Sastra Indonesia di semester ganjil, Soya tahu-tahu dipilih untuk membacanya.

Mata Soya terasa lebih basah daripada biasanya saat menatap dua puluhan wajah yang tengah menanti. Dua puluhan pasang mata yang tatapannya menghunjam kepadanya. Cara Sastra melipat tangan juga tidak membantu. Bersandar di dinding belakang kelas, Soya mampu melihat ujung sepatu beliau mengetuk-ketuk tidak sabar.

“K-kira-kira pukul satu siang ....” Ia mengawal, suaranya tersendat dari gigi yang terkatup. “Kelita ... eh, kelihatan ... dua orang anak  muda—“

“Kurang keras!” sahut teman sekelasnya yang duduk paling belakang. Dengan badan segempal itu, ia tidak kesusahan berseru dengan lantang.

Soya berusaha mengencangkan suara, tetapi dentam jantung membuat kata-katanya meluncur dengan gemetaran. “Ber ... bernaung  di  bawah  pohon  ketang—ketapang  yang  rindang ....”

Gadis yang duduk tepat di depan Soya menghela napas keras-keras. Nova namanya. “Aduuh, kalau bacanya gitu terus, dua jam nggak selesai-selesai, nih!”

Tahu-tahu Nova beranjak. Ia menyambar naskah di tangan Soya dan menyikutnya. “Duduk aja, sana,” ujarnya, lantas berbalik menghadap kelas. “Pak Sastra! Saya aja yang bacain, ya!”

“Kamu tuh, bisa-bisanya! Siapa yang suruh gantikan Soya?” Meski begitu, Sastra tidak tampak marah. Ia terbahak-bahak. “Udah kelas sebelas masih nggak bisa baca, gimana sih, Soya ... Soya! Duduk! Kembali ke tempatmu.”

Soya hampir menangis. Bahkan mungkin sudah. Ia tidak tahu apa rasa basah di pipinya ini akibat keringat suhu pukul satu siang di dalam kelas yang kipas anginnya mati, atau karena tangisan.

Soya mengatupkan bibir rapat-rapat saat menyeret kaki menuju bangku. Ia ingin protes. Aku kan baru sembuh dari tipes! Baru keluar dari rumah sakit! Namun, itu juga bukan pembelaan yang masuk akal. Apa hubungannya tipes dengan kelancaran membaca naskah Siti Nurbaya di depan kelas?

Kala ia melesakkan tubuh ke kursi kayu yang keras, Daru, teman sebangkunya, terbangun dari tidur. Dengan linglung, Daru menepuk-nepuk bahu Soya. “Tisu?”

Gadis itu terlalu lemas untuk bisa menjawab. Ia melirik Daru telah sigap merogoh tas kumal yang teronggok di bawah meja. Ia mengeluarkan tisu yang dilipat-lipat kecil, masih bersih, walau ada sobekan furing tas yang menyangkut di permukaannya.

Soya menerima sodoran Daru, semata-mata tidak enak kalau menolak. “Makasih,” bisiknya lirih. Sambil mengusap pipi dengan tisu, lengkingan Nova mengejutkan seisi kelas.

“Dengerin, ya! Aku nggak mau ngulang dua kali.” Nova mengacungkan bendelan naskah di tangan. Saat cowok-cowok di jajaran belakang menyerukan “Huu!” untuk mencemooh, Nova balas merespons dengan menyibakkan rambutnya yang bergelombang. Mengacuhkan koor mereka, ia berdeham, dan mengacungkan telunjuk tinggi-tinggi.

“Kira-kira pukul satu siang ....” Nova memulai, badannya condong sedikit, suaranya dalam dan—entah bagaimana—selantang ejekan cowok-cowok tadi. Cara telunjuknya mengabsen satu-satu wajah, seluwes burung merak yang mengumumkan kedatangannya. Seolah berkata: Awas kalau kalian nggak memerhatikan aku.

“Kelihatan dua orang anak  muda ....”

Seisi kelas menjadi senyap. Tanpa bantuan Sastra, Nova telah membuat tiap-tiap mulut bungkam. Hanya terdengar gemerisik pohon beringin dan mangga, dan tiupan angin panas yang bikin gerah, seolah-olah mengiringi bacaan selanjutnya:

“Bernaung  di  bawah  pohon  ketapang  yang  rindang, di  muka sekolah   Belanda   Pasar   Ambacang   di   Padang ....”

Soya termasuk ke dalam dua puluhan murid yang ikut diam, tapi tidak ikut menyaksikan. Walau suara Nova menembus gendang telinganya, Soya menatap nanar kepada Daru. Teman sebangkunya itu tidur di waktu Soya maju, tetapi kini matanya terpaku bulat-bulat pada pembacaan Nova, seolah ikut tersedot ke dalam kisah Siti Nurbaya.

**

Sebelum bersukacita menyambut libur akhir tahun, sebagian siswa mesti memeras perasaannya dulu. Terutama pada salah satu dari beberapa tanggal keramat. Keramat sejak Soya mengenal apa itu rapotan dan ujian.

Hari ini: 22 Desember 2017.

Lokasi yang mendadak lebih mengerikan daripada biasanya: SMA Surya Cendekia dan bangunan tuanya yang merupakan bekas sekolah elit sejak tahun 1901.  Lebih menakutkan daripada saat ujian akhir!

Namun, bunga-bunga kembang sepatu justru mekar semegah-megahnya di sepanjang tepi pagar besi sekolah. Pohon beringin dan trembesi sedang rindang-rindangnya, meneduhkan jajaran mobil-mobil mengilap yang menyesaki halaman parkir sekolah. Langit juga—sayangnya—sedang cerah-cerahnya, padahal kemelut hati Soya sekelam awan kelabu padat yang siap menyambut badai amukan Papa Soni dan Mama Yasmin.

Kelas XI-B terletak di ujung lorong, bersebelahan dengan pendapa yang biasa digunakan anggota OSIS rapat di penghujung siang yang bikin ngantuk. Namun, kali ini, pendapa itu sesak oleh jajaran meja-meja kayu yang dijadikan alas presensi dan para orang tua. Harum semerbak parfum berpadu dengan canda tawa para ibu yang saling menyapa, dan senyum-senyum pasrah tiap anak.

Jika ada yang tidak tersenyum hari itu, pastilah Soya, dan mungkin beberapa anak lagi yang belum terlihat. Entah kenapa semua kawannya tampak semringah hari ini. Heran. Begitu pula Daru yang berlari membawakan lembar presensi ke meja tempat neneknya menunggu, juga berseri-seri.

“Mbah! Tanda tangan, Mbah! Bisa, kan? Masa aku tanda tangani juga, kan nggak boleh!”

Soya mengatupkan bibir rapat-rapat. Ia tahu Daru bisa tersenyum lepas karena dia rajin menangkring di peringkat tiga teratas. Namun, bukan itu masalahnya. Teman-temannya juga! Bahkan para tukang hina yang telah menguasai tiga peringkat terakhir kelas juga tetap petantang-petenteng bangga saat orang tuanya yang tak kalah sangar mampir, membuat murid-murid lain menganga, seolah ingin mengatakan, “Lihat, aku keren karena bapak aku ya super keren!”

Heran. Bagaimana mereka bisa tetap senang dengan peringkat belasan dan dua puluhan?

Memangnya orang tua mereka nggak pernah marah? Soya termangu saat menunggu wali kelasnya menjelaskan program sekolah yang sudah berlalu. Dari balik salah satu jendela, ia mengintip Papa Soni dan Mama Yasmin duduk berdampingan di bangku paling depan, di bangku Nova.

“Saya akan umumkan peringkat semester ganjil 2017/2018.” Seiring ucapan Bu Oris, sekretaris kelas mengambil spidol dan mulai menulis angka satu, dua, dan tiga di papan.

“Peringkat satu ....”

Cewek sekretaris yang siaga itu mulai menulis nama yang disebutkan Bu Oris. Namanya sendiri.

“Peringkat dua ....”

Pasti Daru, batin Soya.

“Alam Darusena!”

Soya menghela napas lega. Sudah ia duga. Meski, itu berarti, menyisakan peringkat ketiga. Sudah terbayang omelan Soni dan Yasmin. Jantung Soya berdebar-debar. Pada kelas sepuluh lalu, gadis itu paling banter duduk di peringkat ketiga. Ia telah menjanjikan kedua orang tuanya jika bisa menyabet peringkat kedua dengan mengambil jurusan Bahasa, jurusan dengan jumlah peminat paling sedikit itu. Soya sudah menggunakan segala taktik agar diizinkan memilih jurusan Bahasa, sehingga—

“Peringkat tiga ....”

Soya.

Soya.

Soya Mayanura. Soya, tolong Tuhan, tuliskan nama Soya di sana!

“Nova Carissa!”

Kala Soni dan Yasmin bertukar pandang, lantas menggeleng pelan, Soya tahu dirinya mesti kabur dan melompat dari lantai dua saat itu juga.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • zetamol

    Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---

    Comment on chapter Prolog: Ambang Batas
  • zetamol

    Anxiety-mu itu loh, Soya 😭

    Comment on chapter Bab 1: Soya Mayanura
Similar Tags
Berawal Dari Sosmed
634      458     3     
Short Story
Followback yang merubah semuanya
RINAI : Cinta Pertama Terkubur Renjana
451      329     0     
Romance
Dia, hidup lagi? Mana mungkin manusia yang telah dijatuhi hukuman mati oleh dunia fana ini, kembali hidup? Bukan, dia bukan Renjana. Memang raga mereka sama, tapi jelas jiwa mereka berbeda. Dia Rembulan, sosok lelaki yang menghayutkan dunia dengan musik dan indah suaranya. Jadi, dia bukan Renjana Kenanga Matahari Senja yang Rinai kenal, seorang lelaki senja pecinta kanvas dengan sejuta war...
Finding My Way
780      473     3     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?
Mysterious Call
502      334     2     
Short Story
Ratusan pangilan asing terus masuk ke ponsel Alexa. Kecurigaannya berlabuh pada keisengan Vivian cewek populer yang jadi sahabatnya. Dia tidak sadar yang dihadapinya jauh lebih gelap. Penjahat yang telah membunuh teman dekat di masa lalunya kini kembali mengincar nyawanya.
Kisah di Langit Bandung
366      132     0     
Romance
Tentang perjalanan seorang lelaki bernama Bayu, yang lagi-lagi dipertemukan dengan masa lalunya, disaat ia sudah bertaut dengan kisah yang akan menjadi masa depannya. Tanpa disangka, pertemuan mereka yang tak disengaja kala itu, membuka lagi cerita baru. Entah kesalahan atau bukan, langit Bandung menjadi saksinya.
Pasal 17: Tentang Kita
139      59     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
Kisah Alya
334      237     0     
Romance
Cinta itu ada. Cinta itu rasa. Di antara kita semua, pasti pernah jatuh cinta. Mencintai tak berarti romansa dalam pernikahan semata. Mencintai juga berarti kasih sayang pada orang tua, saudara, guru, bahkan sahabat. Adalah Alya, yang mencintai sahabatnya, Tya, karena Allah. Meski Tya tampak belum menerima akan perasaannya itu, juga konflik yang membuat mereka renggang. Sebab di dunia sekaran...
Aromantic Roomates
159      143     1     
Non Fiction
Raya dan Rafa sahabat sejak kecil yang tak pernah terpisahkan Suatu saat keduanya diperhadapkan dengan masalah orang dewasa pada umumnya pernikahan Raya dan Rafa yang tak pernah merasakan jatuh cinta memutuskan untuk menikah demi menyelesaikan masalah mereka Akankah takdir membuat keduanya saling mencintai atau akankah perasaan mereka tetap pada tempatnya hingga akhir
Why Him?
606      333     2     
Short Story
Is he the answer?
Matchmaker's Scenario
1341      707     0     
Romance
Bagi Naraya, sekarang sudah bukan zamannya menjodohkan idola lewat cerita fiksi penggemar. Gadis itu ingin sepasang idolanya benar-benar jatuh cinta dan pacaran di dunia nyata. Ia berniat mewujudkan keinginan itu dengan cara ... menjadi penulis skenario drama. Tatkala ia terpilih menjadi penulis skenario drama musim panas, ia bekerja dengan membawa misi terselubungnya. Selanjutnya, berhasilkah...