“Orang tidak pernah tahu alasan kita tidak ingin memilih hal itu.”
***
“Hari ini mama ada arisan di rumah. Kamu nanti bantuin mama masak ya.” Erilya mengambil sisa barang belanjaan mama yang masih tertinggal di cantolan motor. Erilya terdiam sejenak untuk merespons. “Kenapa? Nggak mau?”
“Eri kan ada urusan ma,” jawab Eri dengan lirih. Dia takut mendengar balasan mamanya. Tidak lain dan tidak bukan pasti akan menggunakan lagu yang sama.
“Urusan apa? Emang kamu punya urusan apa? Kamu kan nggak ngapa-ngapain. Bantuin mamalah, Kak. Adikmu kan lagi nggak ada di sini.”
Eri menghembuskan napas pelan. Wajahnya tertekuk saat itu juga. Tadi mamanya sudah merasa bersalah kepadanya tetapi sampai di rumah sama saja. Wanita itu kembali menggunakan ultimatum yang sulit untuk dia bantah. Menjadi pengangguran benar-benar tidak ada harga dirinya di mata semua orang.
“Mama kan tahu sendiri Eri nggak bisa masak.” Eri masuk ke rumah dan mengekori mamanya. Dia lalu meletakkan semua belanjaan berkantong besar itu ke atas meja dapur.
“Ya terus?” Mama mengeluarkan belanjaannya dan memisahkannya ke dalam wadah. “Kamu kan bisa bantuin mama motong sayur. Kenapa? Nggak bisa juga?” Mama menoleh ke arah Erilya yang baru meneguk air mineral dari kulkas.
“Ya enggak, Ma.”
“Kamu itu udah gedhe. Udah dua puluh tiga tahun. Udah lulus loh dari kampus. Masa masak aja nggak bisa. Kalau kamu nanti nikah gimana itu suami kamu?”
“Emang Eri mau nikah?” tanya Eri dengan nyolot. Mamanya langsung mengangkat pisau sejajar dengan telinganya.
“Bilang apa kamu?” Mama sudah mulai menggunakan intonasi yang tidak bersahabat.
Erilya langsung mengambil bawang merah, bawang putih, dan cabai untuk dikupas atau dicabut batangnya. “Eri ngurus ini dulu.”
Erilya langsung pergi membawa tiga kantong bumbu dapur itu ke ruang televisi. Lebih baik dia menonton drama china kesukaannya daripada harus berdebat dengan mamanya di dapur. Hari ini biarkan dia membuang waktunya untuk mengurus urusan masak memasak.
Selama seharian penuh Erilya membantu mamanya menyiapkan makanan untuk para tamu. Mamanya membuat sop daging, keripik kentang, menggoreng kerupuk, menggoreng ayam, dan membuat sambal. Mama juga membuat makanan manis dari agar-agar. Tak lupa membuat minuman segar es kuwut yang menjadi idaman ibu-ibu arisan.
“Nanti bantuin mama ngeluarin ini ya. Kamu juga ikutan aja nanti biar kenal sama ibu-ibu di sini. Ada Tante Ratna sama Tante Safa juga nanti. Mereka ikut arisan di sini biar bisa ada alasan pergi jauh katanya. Jadi jangan di kamar terus.”
“Iya.” Erilnya menyusun agar-agar yang sudah jadi ke dalam nampan dan memasukkannya ke kulkas sesuai instruksi mamanya.
“Kamu mandi aja, Er. Sisanya biar mama yang ngurusin. Nanti jangan lupa pakai kerudung. Mama nggak mau kamu itu nanti kelihatan auratnya.”
“Iya, Ma.” Erilya hanya bisa menurut. Tenaganya sudah benar-benar habis. Dia mencium bau badannya. Bau bumbu dan asap dapur menyerbak menjadi satu dengan parfum yang dia pakai tadi pagi. Apalagi seharian ini dia belum sempat mandi juga.
Setelah selesai mandi, Erilya mengantuk. Dia lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia tetiba melupakan pekerjaan yang diminta mamanya tadi. Alhasil ketika para ibu-ibu arisan datang, Erilya masih terlelap dalam tidurnya.
“Kan, apa mama bilang pasti kamu lupa. Er, mama tadi minta tolong loh bantuin mama.” Mama berdiri di samping kasur sambil berkacak pinggang. Dia menepuk pundak anaknya dengan pelan.
“Bentar ma, Eri ngantuk,” ucap Eri sambil berusaha membuka mata tapi tetap sama saja, tidak bisa. Matanya terlalu berat untuk melihat dunia.
“Ayo bangun. Tamu mama udah dateng ini. Kamu juga belum pakai baju, belum pakai kerudung loh. Mama tunggu di bawah. Lima menit kamu nggak turun, mama nggak ngasih kamu uang lagi.”
Erilya langsung mendudukkan tubuhnya. Suara pintu kamar ditutup. Erilya hanya bisa menyumpah serapahi dirinya sendiri. Takdir hidupnya benar-benar menyedihkan. Dia lalu bangkit dari tidurnya. Dia menepuk bedak padat ke kulit wajahnya dan mengoleskan sedikit lipstik ke bibirnya. Dia suka warna lipstik merah tapi untuk keadaan saat ini dia akan menggunakan lipstik itu dengan tipis agar tidak terlalu membahana.
Ketika turun di dapur, Erilya mengambil nampan. Dia meletakkan tumpukan piring bersih, tisu, dan ayam goreng. Hidangan itu lalu dia letakkan di tengah-tengah ibu-ibu yang sedang mengaji. Ibunya memberikan kode untuk mengeluarkan semua makanan. Alhasil Erilya seorang diri membawanya dengan gamis yang tidak biasa dia gunakan. Gamis berwarna hitam itu ingin rasanya dia tarik ke atas agar tidak menganggu kakinya melangkah. Tapi itu tidak sopan. Alhasil Erilya berjalan dengan perlahan. Ya itung-itung dia sedang belajar menggunakan pakaian yang besar.
Setelah mengaji selesai, mereka lalu membuka kocokan yang sudah disiapkan. Kali ini yang mendapatkan undian adalah mamanya.
“Yah saya dapat di awal ini itungannya. Jadi nanti cuma tinggal bayar-bayar aja. Saya jadinya ngutang sama kalian.”
“Haha, saya juga kok Bu. Malah saya yang pertama kali duluan bayarnya. Jadi sekarang saya ikutan cuma bayar utang aja.”
“Lucu ya arisan ini.” Ibu-ibu lain menimpali.
“Eh ini tumben Eri ikut kita di sini. Kamu udah lulus ya?” tanya Tante Ratna yang pertama kali menyadari keberadaan Eri. Eri langsung menurunkan ponselnya. Dia lalu menatap Tante Ratna dengan senyum sopannya.
“Iya Tante. Kebetulan Eri sudah lulus jadi bisa bantuin mama.”
“Udah kerja?” tanya Tante Safa. Wanita itu terlihat bersemangat.
“Belum tante. Masih nyari.”
“Kamu jurusan apa emangnya?” Tante Ratna kembali bertanya.
“Saya jurusan Sastra Indonesia, Tan.”
“Ohh. Mau jadi penulis?” Eri tersenyum canggung dan menggelengkan kepalanya. “Kenapa? Nulis aja. Coba ya jadi penulis.”
“Kalau nggak mau jadi penulis kamu mau jadi apa emangnya, Er?” Tante Safa menaikkan alisnya. Wanita itu juga penasaran, begitu juga dengan para ibu-ibu yang lain.
Erilya mati kutu. Rasanya seperti anak tikus yang dikelilingi oleh para kucing, seolah dirinya adalah santapan yang lezat. Erilya menunduk dan mengimrimkan pesan singkat di dalam grup.
Erilya: Guys, help me!
“Emmm … apa aja bisa kok tante. Hehe.” Erilya tertawa dengan canggung. Dia melirik mamanya yang memilih memakan agar-agar.
“Dia biarin aja, katanya mau kerja pindah-pindah,” ucap mama pada akhirnya. Wajahnya terlihat santai dan tanpa beban. Sedangkan Eri hanya bisa menahan malunya.
Xiandra: Kenapa lo?
Erilya: Telepon gue, Xi. Cepetan!
Kali ini hanya Xiandra yang bisa membantunya. Padahal biasanya wanita itu jarang merespon kalau tidak penting. Beruntungnya Xiandra memang responsif kalau dibutuhkan.
Telepon Erilya berdering.
“Tante, saya mengangkat telepon dulu ya.” Erilya langsung berdiri dan berjalan cepat ke atas. Dia sengaja mengangkatnya dan mengatakan halo agar terdengar oleh ibu-ibu arisan.
“Lo ngapain coba nyuruh gue nelepon?” Terdengar suara ketikan keyboard komputer di tengah-tengah ucapan Xiandra.
“Mama gue lagi ngajak temen-temen arisannya main ke rumah dan gue disuruh ikut.” Erilya menutup pintu kamarnya dan melepaskan kerudungnya. Dia juga melepaskan gamisnya dengan satu tangan sambil memegang ponselnya di telinga.
“Terus? Pasti lo kabur ya. Makanya minta gue telepon.”
“Iya,” jawab Eri dengan jujur. Ide apalagi memangnya yang bisa dia lakukan. “Lo lagi nge-game ya?”
“Hooh.” Xiandra menjawab sekenanya.
“Yaudah deh kalau gitu gue tutup dulu teleponnya.”
“Emmm …”
“By the way, Shi. Kita kapan dapat kerja ya?” Terdengar suara keyboard komputer Xiandra berhenti di sebrang sana. Perempuan itu jelas tidak mengetahui jawabannya juga.