Walaupun sudah menyediakan jasa antar bahan-bahan masak, masih saja ada yang kurang atau beberapa persediaan habis dengan cepatnya. Seperti kali ini saat mengecek bahan di dapur, ternyata persediaan bawang merah dan bawang putih sudah menipis mau tak mau aku harus belanja ke pasar, kebetulan kafe masih belum terlalu ramai dan hari juga belum terlalu sore.
Akhir-akhir ini, Zahra juga sering mampir di kafe. Bahkan, sejak tadi siang hingga kafe akan tutup dia masih betah di sana. Aku sudah mengatakan kepadanya kalau di kafe sangat sibuk jadi tidak bisa menemani. Namun, dia santai saja karena dia memang numpang untuk WiFi- an saja. Padahal di rumahnya atau di butiknya ada Wi-Fi.
"Ra, aku pamit sebentar ya, mau ke pasar," ujarku padanya, dia paling betah di pojok ruangan yang dekat dengan kipas.
"Ya udah, aku temani saja," tawarnya, lalu dia pun langsung mengambil tongkatnya. Melihat itu aku merasa tidak enak.
"Gak usah, Ra. Cuma sebentar, kok. Beli bawang aja."
"Walaupun kamu nolak, aku akan tetap ikut, ayok!" Dia benar-benar memaksa ingin mengantar dan sudah berada di sampingku. Mau tak mau aku tetap mengizinkan dia ikut meskipun tahu, pastinya akan sangat repot baginya.
Bisa saja aku mengajak salah seorang yang bisa membawa mobil, tetapi paksaan Zahra rasanya tak bisa ditolak.
Aku naik ke mobil Zahra dan kendaraan pun meninggalkan area parkir menuju jalan raya. Aku merasa Zahra terlalu berlebihan, padahal jarak pasar ke kafe tidak terlalu jauh. Malahan karena menggunakan mobil menjadi makin lama di jalan karena macet.
"Ehh, kok, arah sini? Ke pasar itu ke situ!" Aku bersorak heboh saat Zahra melewati jalan menuju pasar.
"Kalau kamu beli di pasar pasti mahal, aku tahu tempat jualan bawang yang murah," katanya berpromosi.
Aku cuma pasrah dan mengangguk. Toh Zahra yang menyetir, aku hanya bisa mengikutinya kemana dia akan membawaku.
Mobil melewati area persawahan. Aku yakin ini adalah jalan pintas karena jika menggunakan jalan raya, maka sangat macet dan aku memang belum pernah melewati jalan ini. Tanpa terasa, mobil berhenti tepat di depan sebuah ruko kosong. Aku memperhatikan sekeliling, ini memang Tampak seperti pasar, tetapi aku tidak melihat ada yang menjaul bawang.
"Mana jualan bawangnya?" tanyaku keheranan.
"Kalau masih duduk di situ mana nampak, Bu. Coba lihat itu di depan sana ada saung-saung. Tuh coba deh jalan ke sana. Aku tunggu di sini," ujar Zahra sambil mengarahkan telunjuknya agar aku menuju ke tempat penjual bawang.
Aku menuruti perintah Zahra dan mataku pun sontak terbelalak saking kagetnya. Ternyata. Di sini memang pusatnya segala jenis bumbu masak. Mungkin dari tempat ini diecer ke pasar ataupun toko-toko. Lalu aku berjalan menelusuri jalanan pasar yang becek, sementara Zahra menunggu di mobil.
Saat aku menanyakan tentang harganya ternyata jauh lebih murah dengan yang dijual di pasar. Aku merasa beruntung ada Zahra yang menunjukkan.
Mengingat harganya yang bersahabat, aku memesan lebih banyak dari biasanya. Yang biasanya sekali belanja hanya 20 kilo untuk bawang merah kini menjadi 30 kg. Kalaupun memesan banyak, aku yakin tidak akan percuma. Untuk bawang putih aku membeli 20 Kg dan bawang bombay 5 kg. Tujuan membeli banyak adalah sebagai persediaan.
Melihat belanjaanku yang banyak, aku meminta tolong kepada penjualnya untuk mengangkut ke mobil Zahra, sementara bawang Bombay aku sendiri yang membawanya. Baru selangkah aku berjalan dengan menenteng banyaknya bawang bombay, tiba-tiba kini semua bawaanku menjadi berserakan karena ada yang menabrak. Bahkan, aku juga terjatuh karena dorongan keras dari orang yang berlari dan menabrakku tadi. Dari kejauhan aku melihat banyak orang yang berlari mengejarnya, tetapi aku tidak sadar ternyata pria berambut gondrong tadi membantu memungut bawangku yang berceceran.
"Maaf, Bu, saya tidak sengaja," ujarnya panik. Mau tak mau aku kasihan juga. Aku langsung menatap pria itu, bahkan dia juga menatapku. Pandanganku belum lepas dari pria itu, sama dengannya. Aku sangat mengenalnya walaupun penampilannya sangat lusuh. Tiba-tiba orang-orang yang mengejarnya meneriakinya dengan kata 'pencuri'. Karena dia tidak berlari dan malahan membantuku memunguti bawang bombay yang berserakan, sekarang dia dikeroyok ramai-ramai. Kesadaranku kembali, cepat-cepat aku berusaha melerainya.
Aku menghentikan aksi mereka yang menendang pria itu yang kini sudah berdarah di bagian wajah dan kakinya.
"Berhenti!!"
Teriakanku menghentikan aksi mereka yang sudah seenaknya main hakim sendiri.
"Dia pencuri, untuk apa dikasihani!" teriak seorang ibu yang terlihat tampak marah.
"Hajar lagi, dia cuma meresahkan saja," ujar si Bapak yang lain.
"Tenang Pak, Bu. Kalau boleh tahu apa yang terjadi?" tanyaku kemudian bermaksud untuk menenangkan meskipun aku pun masih ngos-ngosan karena kaget tiba-tiba sudah banyak massa.
"Dia mencuri roti di kedaiku," tuding si Ibu tadi. Mereka sekitar enam orang. Mungkin penjual di kaki lima.
"Pencuri itu jangan dikasih ampun. Daripada makin meresahkan," teriak si Ibu dengan jilbab merah malah ngompori.
Daripada makin heboh, aku berusaha ingin menengahi perdebatan mereka.
"Kalau boleh tahu berapa harga roti yang dia curi?" tanyaku kemudian.
"10.000 walaupun murah, tetapi pencuri kan gak boleh dikasih ampun!" teriaknya berapi-api.
Aku mengambil tiga lembar berwarna merah dari dompet.
"Ini ganti ruginya Bu, setelahnya mohon bubar," pintaku memohon kepada mereka.
Melihat uang itu, si Ibu yang rotinya dicuri langsung berbinar dan mereka pun bubar, lalu berjalan menuju dagangan masih-masing.
Aku segera menatap pria yang masih tergeletak di jalan setelah tadi dihajar massa tanpa ampun. Sekali lagi kuamati wajahnya. Kok, rasanya benar, dia memang Bang Leo Nurfin, abangku sendiri.
"Bang Leo," ucapku lirih, lalu dia juga menatapku.
"Dhira?" ucapnya dengan suara yang lemah.
Aku mengangguk, bahkan sekarang aku meneteskan air mata melihat kondisinya yang kurus, penampilannya yang layaknya pengemis di jalanan, bahkan wajahnya juga tidak terawat. Aku menyalami tangannya dan memeluknya sangat erat, kini aku menangis dipelukannya.
"Apa kabar, bang?" Tanyaku, aku mengambil tisu dari dalam tas, lalu menyeka darah yang bercucuran di wajahnya.
"Abang tidak baik-baik saja, dek" jawabnya jujur. Aku paham, setelah itu aku mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Penjual bawang tadi membantu memungut bawang bombai yang berserakan dan memasukkannya ke garasi mobil. Setelah mengucapkan terima kasih, aku dengan memapah bang Leo berjalan mendekati mobil Zahra.
Entah berapa kali Bang Leo meringis kesakitan karena ditendang warga tadi. Aku melihat Zahra duduk di kursi depan ruko yang tutup. Dia menatap heran padaku. Mungkin saja dia bertanya-tanya siapa yang kupapah.
"Siapa Dhi?" tanyanya sambil mengerutkan alis.
"Bang Leo," jawabku singkat, Zahra tampak mengangguk. Aku memang pernah menceritakan padanya tentang saudaraku. Sekarang Zahra sibuk menyodorkan minuman kepada Bang Leo.
"Kita bawa ke rumah sakit aja, Dhi. Kasihan Bang Leo," tawar Zahra. Aku juga setuju, tapi Bang Leo menggeleng.
"Gak usah, Dek. Abang baik-baik saja," ucapnya. Aku makin kasihan padanya. Entah berapa tahun tidak bertemu dengannya. Sekarang saat bertemu malah melihat kondisinya yang sangat miris.
"Ya udah, Bang Leo ikut Dhira, ya. Nanti bisa istirahat di kamarku," pintaku kepada bang Leo yang terlihat makin lemah.
Bang Leo mengagguk, lalu kami membantunya berdiri agar masuk ke mobil.
"Aduh maaf ya, Ra. Malah merepotkan gini," ujarku merasa tidak enak.
"Ya elah, dikira sama siapa aja. Aku senang kok direpotkan," balas Zahra sambil tersenyum
Bang Leo memejamkan mata. Aku membiarkannya bersandar di bahuku. Kasihan sekali. Bang Leo pasti melewati pahitnya hidup ini dengan berkelana tak menentu. Bahkan, Ayah dan Emak tidak peduli sama sekali.
Tiba di parkiran kafe, aku hendak turun untuk memanggil Arham dan Putra, waiters kafe untuk mengangkat barang di bagasi mobil Zahra. Namun, Bang Leo terlebih dahulu sudah keluar dari mobil.
"Abang gak nyangka kamu kerja disini, Dek?" tanyanya sambil menatap lurus ke bangunan kafe.
"Abang di dalam saja, sebentar lagi aku antar ke kos," tawarku. Namun, Dia tersenyum.
"Abang gak apa-apa kok, Dek. Oh ya, ini bawangnya diturunkan, ya?" tanyanya sambil memandangku.
Akhirnya, aku membiarkan Bang Leo menurunkan bawang dan menyuruhnya agar meletakkan di dekat ruangan kasir. Aku meminta agar Bang Leo duduk saja dan memesan makanan karena yakin dia pasti kelaparan. Saat berada di depan ruangan, kami tak sengaja berpapasan dengan Bang Randi. dia menatap penuh selidik kepada pria gondrong yang ikut bersamaku. Namun, tak berkata apa-apa dan berlalu begitu saja.
Setelah meletakkan bawang di dapur, aku membawa pesanan Bang Leo. Aku pikir pasti Bang Leo sangat kelaparan, makanya sampai harus mencuri sepotong roti. Aku juga membawa kotak P3K untuk mengobati lukanya.
Para waiters juga tampak kepo, tapi aku tidak ada waktu meladeni mereka. Mereka yang kepo membuatku merasa lebih kasihan pada kondisi Bang Leo.
"Silakan makan dulu, Bang. Pasti Abang lapar kan," pintaku kepadanya.
Dia mengagguk lalu menyantap nasi goreng yang disajikan. Aku terus memandangi Bang Leo demikian halnya dengan Zahra.
Hanya beberapa menit, nasi di piring sudah ludes. Begitu laparnya Bang Leo, entah berapa hari tidak makan.
"Abang masih lapar? Mau dipesankan lagi?" tawarku. Namun, dia langsung menggeleng.
"Abang udah kenyang, maaf ya. Abang malah merepotkanmu, Dek," ucapnya sambil memandangku dalam.
"Dhira gak direpotkan, kok. Sini biar Dhira obati lukanya.”
Aku pun mendekat ke arah Bang Leo, lalu membersihkan lukanya dengan alkohol. Aku melihat dia meringis karena perih.
"Pelan-pelan, Dek," pintanya memohon.
"Maaf, Bang. Ini Dhira coba pelan-pelan, ya," kataku berusaha pelan sesuai permintaannya.
"Aku heran kenapa banyak orang yang menatap ke arah kita, terutama para waiters, mereka terus menatapmu Dhi. Bahkan, Bang Randi juga melihat ke sini," bisik Zahra. Akan tetapi, aku tidak punya waktu menatap balik mereka karena sekarang sibuk mengobati luka Bang Leo.
"Perasaanmu saja kali," balasku kepada Zahra.
"Enggak, Dhi. Beneran lho mereka menatap kemari. Bahkan, beberapa pengunjung tampak berbisik-bisik," tambah Zahra lagi.
Aku menoleh ke belakang dan ternyata benar. Mereka tampak berbisik-bisik dan tak sengaja tatapanku tertuju pada Bang Randi yang berdiri di dekat ruangan kasir. Wajahnya seperti biasanya, tak ada ekspresi sama sekali.
Aku tidak peduli dan tetap membersihkan wajah dan tangan Bang Leo yang terluka. Mungkin hari ini aku harus izin pulang duluan karena harus mengurusnya. Apalagi azan Maghrib sudah menggema. Situasi kafe masih seperti tadi. Tentunya kafe akan ramai kembali setelah salat Isya.
Aku mendekati Bang Randi yang duduk di sebuah kursi panjang bersama beberapa mahasiswanya, mungkin saja mereka sedang bimbingan skripsi.
"Bang, saya izin pulang cepat hari ini," ujarku. Tanpa menatapku, dia langsung menjawab.
" Silakan”.
Beberapa mahasiswanya langsung mengedipkan mata melihat betapa dinginnya Pak Randi yang saat itu sedang sibuk mencoret-coret di lembaran skripsi mereka.
"Terima kasih, Bang. Saya pamit dulu," ujarku.
Setelah mendapatkan izin aku langsung mengandeng tangan Bang Leo agar tidak terjatuh karena dia masih tampak lemah.
Kali ini aku memaksa agar Zahra menginap di kosan untuk menemani. Biasanya tanpa diminta dia sudah menginap di sana. Namun, karena ada Bang Leo aku merasa tidak enak, walaupun kami saudara. Kebetulan kontrakanku memiliki dua kamar jadi tidak terlalu repot.
Selesai berwudu, aku menyuruh Bang Leo mandi. Aku memberikan baju training karena dia tidak memiliki apa-apa sekarang sementara aku bergantian salat dengan Zahra. Kemudian aku pun meminta Bang Leo untuk salat. Malas untuk memasak dan khawatir Bang Leo akan merasa lapar lagi, maka aku putuskan untuk memesan makanan delivery saja.
Setelah mandi dan salat, Bang Leo tampak lebih segar walaupun wajahnya kini dipenuhi jambang. Mungkin besok dia harus ke salon.
Aku, Zahra dan Bang Leo duduk di ruang tamu. Kami akan bercerita banyak hal. Kalau tidak salah sejak umurku 15 tahun aku tidak pernah bertemu dengan Bang Leo, dan sekarang umurku sudah 23 tahun. Begitu lamanya kami tidak saling bertemu, tetapi aku masih mengenalnya.
"Abang udah dengar tentangmu, Abang tidak menyangka kalau Mawar akan begitu tega padamu," ujarnya memecah kesunyian di antara kami bertiga.
Aku tersenyum untuk meyakinkan Bang Leo bahwa aku baik-baik saja sekarang.
"Tidak apa, Bang. Mungkin ini yang terbaik," jawabku mencoba agar tetap terlihat tabah.
"Tapi kenapa juga calon suamimu dia ambil!"
Dari nada suaranya, bang Leo juga sedikit geram.
"Sudahlah, Bang. Mungkin bukan dia jodohku. Lagian Dhira sudah lebih baik sekarang. Ada Zahra yang selalu membantu Dhira dan tempat kerja yang nyaman. Bahkan posisi Dhira sangat bagus di “The Hans”, Bang," ujarku dengan bangga. Kini Bang Leo menatap Zahra.
"Terima kasih, Dek karena tetap bersama Dhira bagaimanapun keadaannya," ucap Bang Leo sambil memandang Zahra yang disambut Zahra dengan tersenyum lebar.
"Sama-sama, Bang," jawab Zahra girang.
"Abang juga harus bercerita, kenapa gak pernah pulang ke rumah?" tanyaku sambil memandang lekat kepada Abang Leo.
Pertanyaanku itu membuat Bang Leo terdiam. Dia menghela nafas panjang dan membuangnya secara berlahan.
"Mungkin kamu juga kurang tahu tentangku karena dulu di pesantren," demikian Bang Leo mengawali ceritanya.
Aku pun mengangguk. Memang tentang Bang Leo tak banyak kuketahui.
"Saat kelas 11, Abang sering membuat orang tua dipanggil oleh pihak sekolah karena sangat bandel. Rupanya, hal inilah yang membuat Ayah dan Emak malas mengurus Abang. Mereka tidak pernah datang memenuhi panggilan dari sekolah. Sampai-sampai Abang di-DO ( drop out) dari sekolah karena kabarnya ketahuan memakai narkoba.
"Padahal, saat itu abang gak pake sama sekali karena teman lah yang telah meletakkan ‘barang haram’ itu di kantong sehingga terlihat Abanglah yang sudah makainya. Walaupun sangat bandel, tetapi untuk narkoba,Abang gak pernah memakainya, bahkan sampai saat ini. Namun, setelah ditangkap bersama ketiga teman Abang kami dipenjara selama 3 tahun.
Sejak saat itu Ayah dan Emak tidak pernah menjenguk ataupun menghubungi Abang, bahkan kabar Abang pun mereka tak mau tahu. Tiga tahun berlalu, Abang pun bebas, tidak tahu arah tujuan hingga ada teman yang menyarankan agar merantau ke Kalimantan bekerja di PT sawit. Di sana katanya Abang bertahan sampai sebulan lalu. Tanpa sengaja Abang bertemu dengan Bang Rasyid. Katanya, Beliau ingin memberikan pekerjaan, tetapi Abang tetap kekeuh ingin pulang ke rumah karena di PT tempat Abang bekerja sudah tidak memungkinkan lagi.
Bang Rasyid memberi ongkos pulang dan beberapa pakaian, tetapi saat di kapal ada yang mencuri uang dan koperku. Jadilah Abang tak punya apa-apa lagi, bahkan selama di perjalanan hanya bermodalkan sisa uang yang dipegang. Abang sudah sebulan disini, begitulah nyari kerja apa aja yang penting bisa makan. Tadi itu, Abang memang mencuri karena sangat lapar. Untunglah bisa bertemu denganmu tadi, Dek," ujar Bang Leo sambil menitikkan air mata.
Aku sangat sedih melihat tubuhnya yang makin kurus sekarang, bahkan sangat tidak terawat.
"Apakah Abang ada rencana pulang ke rumah?" tanyaku memberanikan diri.
Ia menggeleng cepat.
"Mungkin sekarang belum. Lagi pula aku juga gak tahu mau ngapain ke rumah, aku masih dianggap anak saja kurang tau, nasib kita sama, Dek," ujar Bang Leo.
Aku juga merasakan itu, nasib kami sama. Jika tidak dibutuhkan lagi di rumah, yaudah kalau pergi gak akan dicari.
Sebuah pesan masuk dari Bang Rasyid yang menanyakan tentang Bang Leo, langsung kubalas. Bahwa Bang Leo sudah aman di sini.
"Sekarang Abang tidur, mungkin kecapean. Kami juga akan tidur karena besok harus kerja Bang," saranku.
Bang Leo berjalan menuju kamarnya, demikian halnya dengan aku dan Zahra. Di kamar kami tidak langsung tidur melainkan masih mengobrol hingga ketiduran juga karena kelelahan ngobrol sana-sini.