Suasana The Hans Bakery cabang sedang kasak-kusuk karena Pak Rafli bersama keluarganya akan mengadakan kunjungan, baik dari Bakery pusat maupun cabang. Semua tampak heboh karena acaranya akan dilakukan besok. Otomatis hari ini kami sudah harus menemukan menu dan kue baru apa yang akan disajikan dan dipresentasikan kepada beliau dan keluarganya.
Biasanya kami tidak terlalu heboh, tetapi kali ini harus berpikir keras karena tidak ada yang mengarahkan. Tepat pagi tadi ada informasi bahwa Bang Adnan telah mengundurkan diri sehingga belum ada yang menjadi penanggungjawab pengganti cabang ini.
Aku tidak tinggal diam. Mengambil inisiatif dan langsung bergerak cepat memutar otak tentang apa yang harus disajikan. Aku beserta sepuluh karyawan lainnya mengadakan diskusi singkat. Setelah memutuskan menu apa yang akan disajikan, kami segera bergerak cepat terutama untuk dekorasi ruangan.
Sampai detik ini aku tidak tahu alasan Bang Adnan tiba-tiba berhenti bekerja. Apalagi sejak dia datang ke rumah saat mengatakan niatnya memintaku dari orang tua, sama sekali tidak ada chat darinya. Aku juga tidak ambil pusing. Apalagi kami semakin sibuk akhir-akhir ini. Tepat seusai waktu Shalat Isya kami baru selesai mendekorasi ruangan toko. Setelah itu kami baru bisa pulang dengan lega.
Aku memilih tidur di kostan. Rasanya keadaan di rumah semakin mencekam jika mereka melihatku. Seolah aku adalah hantu yang menakutkan.
Saat sibuk main ponsel, tiba-tiba ada pesan masuk di WA.
[Maaf, Dhira. Seharusnya aku mengabarimu kalau berhenti. Besok aku akan datang ke rumah beserta keluarga]
Aku semakin tersenyum lebar, rasa lelah dan capek menguap begitu saja. Mungkin diam-diam aku sebucin itu kepada Bang Adnan. Bahkan, di setiap doa dan sujudku selalu menyelipkan namanya.
Untuk aku yang belum pernah jatuh cinta, hal ini tentu menjadi momen langka. Dulu aku tidak percaya diri untuk menyukai seseorang, tetapi sekarang aku sangat percaya diri bahwa aku juga pantas dicintai. Aku men-screeshoot chat itu, lalu mengirimkan kepada Zahra. Tak lama kemudian, setelah pesan itu dibaca olehnya, sebuah panggilan masuk ke ponselku.
Tuh kan Zahra langsung menelpon. Aku tersenyum begitu manisnya.
"Aaaa, Bestiku akan menikah, sementara aku calonnya aja belum ada," teriaknya heboh disambut aku yang tertawa mendengarnya.
"Doakan, ya supaya semuanya dimudahkan," pintaku lirih.
"Pasti dong. Doa terbaik selalu untukmu, Besti. Doakan aku juga, ya, biar nemu cowok kayak Bang Adnan."
Kami terus mengobrol panjang lebar. Begitulah kalau bersama Zahra. Aku sampai bisa melupakan semua masalah hidupku. Zahra memang berpengaruh besar dalam mengubah mood-ku menjadi sangat baik.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah berada di The Hans Bakery, sekarang kunci toko dipercayakan kepadaku. Kami belum tahu jadwal tepat kedatangan Pak Rafli beserta keluarga. Terpenting, bahwa kami harus mempersiapkan semuanya dengan sebaik mungkin.
Aku mulai sibuk setelah menyapu dan menata kursi toko, aku mulai mempersiapkan adonan. Ada beberapa kue yang harus kusiapkan meskipun karyawan lain belum datang. Karena sibuk dengan bahan-bahan kue, sampai aku tidak menyadari jika ada seseorang yang berdiri di depanku.
"Astaghfirullah."
Aku mengusap dada karena sangat kaget dan anak kecil itu tertawa.
"Tante serius sekali membuat kuenya, Mala takut mengganggu," ucapnya.
Aku pun tersenyum dan menyudahi mengaduk adonan kue setelah itu memasukkannya ke oven. Kemudian, aku meletakkan celemek dan mencuci tangan, lalu mendekati gadis kecil itu.
"Selamat pagi, Cantik. Adek sama siapa ke sini? Kok tumben pagi-pagi sekali beli kuenya? Adek ulang tahun, ya?" tanyaku kepada anak gadis yang imut itu.
Dia menggeleng. Menurutku gadis kecil itu imut sekali, apalagi dia juga menggunakan jilbab yang membuatnya semakin terlihat cantik.
"Aku ke sini sama Paman, Tante. Tapi sekarang gak tahu paman ke mana. Tadi bilangnya mau pergi sebentar, tapi sampai sekarang gak muncul," jawabnya polos sambil memainkan jari-jarinya.
"Oh, ya. Namanya tadi siapa dan umurnya berapa, Cantik?" Aku berusaha seramah mungkin dengan anak gadis mungil ini.
"Mala, Tante. Kata Mama umurku udah lima tahun," jawab anak itu sambil mengacungkan lima jarinya.
Anak kecil ini sungguh imut dan lucu. Aku semakin gemas melihat pipinya yang chubby.
"Oh ya, Adek mau kue? Tadi Tante baru buat, lho," tanyaku menawarkan kue kepadanya yang disambutnya dengan anggukan cepat.
Aku langsung mengambil kue dari oven dan memberikannya kepada Mala. Aku sangat senang saat melihatnya memakan kue itu dengan lahap. Bahkan, beberapa potong kue yang aku sajikan di piring sudah ludes semua.
"Kue buatan Tante enak banget, Mala suka," ujarnya polos sambil menjilati jemari.
"Makasih, Sayang. Lain kali Tante akan masak yang banyak untuk Mala," kataku kepadanya.
"Serius, Tante? Kalau gitu, Mala akan sering datang ke sini," ucapnya senang.
Tanganku perlahan mengelus pipinya, saking gemes dengan gadis mungil itu. Sementara itu, karena semua karyawan sudah datang, maka kami pun harus segera menyiapkan semuanya. Apalagi katanya di grup, keluarga Pak Rafli akan sampai pukul sembilan nanti.
"Kalau gitu Tante kerja dulu, ya. Setelah itu kita akan makan kue sebanyak-banyaknya," kataku.
Mala bersorak heboh, "Horee… Asyiiik… Makasih, Tante," ujarnya sambil tepuk-tangan.
"Pak Rafli udah datang! Kita semua siap-siap."
Teriakan Diko langsung membuat panik, kami sigap dan langsung berdiri di depan pintu untuk menyambut kedatangan Pak Rafli dan keluarga. Aku memperhatikan semuanya, siapa saja yang datang.
Setelah mengamati, ternyata yang aku kenal hanya Pak Rafli, bahkan istrinya baru sekarang kulihat. Selebihnya aku tidak pernah mengenal mereka. Mataku memperhatikan satu persatu hingga menangkap sesosok anak kecil dalam gendongan seorang pria, dia adalah Mala. aku menebak kalau Mala adalah cucu pak Rafli.
Saat melewatiku, Mala memanggilku dan memuji.
"Tente, kuenya tadi enak sekali, lho," ujarnya lugu.
Aku menanggapinya dengan senyum canggung. Apalagi pria yang menggendong Mala juga menatapku.
Seorang wanita di belakang mereka juga menyapa. Dia terlihat sangat ramah, bahkan menyalami kami para karyawan toko.
Setelah mereka duduk, kami menyajikan kue terbaik yang kami buat dan mereka langsung menikmatinya. Sungguh sebuah kejutan bahwa untuk moment kunjungan ini saja, ternyata Pak Rafli mengajak serta fotografer. Keren sekali!
"Nak Dhira!"
Pak Rafli memanggilku dan aku pun bergegas menghampiri.
Sontak semua karyawan menatapku dan tampak was-was. Aku bertanya-tanya dalam hati, ada tujuan apa kok tiba-tiba Beliau memanggilku?
"Karena Adnan telah berhenti, maka Bapak minta kamu untuk menjadi penanggung jawab di sini. Di sini kamulah yang paling senior."
Aku masih tidak percaya, mendapat kepercayaan besar menjadi penanggung jawab di toko ini. Sungguh hal ini merupakan impian semua karyawan. Aku langsung mengangguk setuju dan tersenyum.
"Baik, Pak. Saya sangat berterima kasih atas kepercayaan Bapak kepada saya."
"Kakek, kue buatan Tante ini enak, loh," kata Mala heboh.
Mendengar perkataan gadis kecil itu, sontak semua mata menatapku. Mau tidak mau aku balas menatapnya. Ah Mala memang menggemaskan.
Setelah mengobrol cukup lama membuatku tahu kalau ternyata keluarga Bapak Rafli sangat ramah dan terbuka. Walaupun dikenal sebagai keluarga kaya raya, tetapi mereka tidak sombong dan tidak semena-mena kepada karyawannya.
"Keluarga Bapak Rafli baik semua, ya, ramah juga."
Akhirnya aku pun ikut nimbrung bersama karyawan lain yang sedang bergosip di dapur.
"Iya, aku juga gak nyangka kalau mereka sebaik itu," balas Adila.
Karyawan yang dikenal paling up date terhadap informasi apapun.
"Oh, ya. Yang gendong Mala itu siapa, ya? Kok mirip banget sama Pak Rafli?" tanya Rasya penasaran. Sebenarnya, aku juga ingin tahu.
Mereka menatap ke arahku. Apalagi tadi aku sempat duduk bersama keluarga Pak Rafli untuk membahas apa saja yang perlu dilakukan sebagai penanggung jawab cabang.
"Ayahnya Mala, kali," jawabku tidak yakin dan mereka pun tampak kurang puas.
"Dengar-dengar Pak Rafli punya tiga anak. Itu anaknya kali. Pernah juga dengar ada anaknya yang bernama Bang Randi, tapi kurang yakin, sih."
Aku memilih diam daripada ikut obrolan mereka yang tidak ada ujungnya.
"Oh, ya. Kak Dhira aku mau nanya nih, kemarin gak sempat karena sibuk. "
Kini Luna bertanya. dia dikenal sebagai orang yang sifat penasarannya sangat tinggi, dan dia tahu kalau jawaban itu berbohong. Intinya siapa pun tidak bisa berbohong kalau berbicara dengan Luna. Tampak seluruh pasang mata menatapku, membuatku was-was.
"Nanya apa, Lun?"
"Sepertinya Kak Dhira mau menikah dengan bang Adnan, kan?"
Benar dugaanku, Luna akan menanyakan itu. Mereka menatapku tanpa berkedip sambil menunggu jawaban. Aku langsung mengangguk setelah menarik napas dalam-dalam? membuat seisi ruangan semakin heboh.
"Tuh, kan benar dugaanku," ujar Luna merasa tebakannya tidak melenceng.
Mereka yang terus mendesak membuatku terancam untuk bercerita.
"Wah, gak nyangka, ya. Semoga dimudahkan sampai hari H dan semoga berjodoh. Aku sih setuju banget kalau Bang Adnan sama Kak Dhira. Serasi pokoknya," ujar Rasya sambil mengacungkan jempol dan yang lain menganguk.
Bahkan, kini cowok yang juga ikut bergosip, semuanya tampak mendukung kalau aku bersama Bang Adnan. Awalnya mereka sangat terkejut karena tidak menyangka. Apalagi selama bekerja kami tampak biasa-biasa saja. Tidak pernah menunjukkan adanya hubungan khusus, juga tidak ada moment spesial dan kami pun mengobrol hanya masalah pekerjaan.
"Pokoknya jangan lupa undangannya, Kak. Dan, kita semua wajib datang, ya!"
"Pasti Kak Dhira sudah deg-degan. Apalagi keluarga Bang Adnan bakal datang."
Beragam komentar saat itu membuat otakku dipaksa untuk berpikir lebih keras lagi, terutama saat mendengar mereka menyebutkan kata keluarga. Ada rasa tidak yakin dan berbagai pikiran aneh muncul dalam kepalaku. Apalagi saat mengingat Mawar. Ah... aku semakin khawatir. Semoga saja pikiran negatif itu tidak terjadi.
***
Sebelumnya, aku sudah shalat isti’harah meminta petunjuk pada Allah agar semuanya dimudahkan. Bagaimanapun hasilnya nanti, itulah jawaban dari Allah.
[Bagaimana, Bang? apakah jadi datang ke rumah?]
Sehabis Salat Maghrib aku mengirimkan chat kepada Bang Adnan untuk memastikan, apakah mereka datang atau ditunda dulu. Bukan aku yang kepepet ingin menikah, hanya saja untuk spesies sekelas Bang Adnan tidak boleh ditolak. Orang seperti dia hanya akan datang sekali saja.
Dia online, tetapi chat tidak kunjung dibalas. Hingga azan Isya berkumandang, barulah dia mengirimkan balasannya.
[Insya Allah habis Isya]
Aku lega setelah membaca balasan chat itu. Bahkan, sekarang jantungku makin berdegup tidak karuan. Aku berdoa semoga semuanya dimudahkan dan dilancarkan.
Setelah Shalat Isya aku memakai gamis yang sekiranya menarik, menyesuaikan dengan jilbab dan bersiap-siap. Aku semakin deg-degan ketika mendengar suara mobil terparkir di depan rumah. Saat aku keluar kamar, kulihat Mawar juga angkat kaki dari kamarnya. Dia tampak habis berdandan. Wangi parfumnya menyengat. Namun, aku tidak peduli. Mungkin, dia mau keluar bersama teman-temannya mengingat dia sering seperti itu.
Sebelum ke ruang tamu, terlebih dahulu aku ke dapur untuk menyiapkan minum dan camilan. Aku berpapasan dengan Emak yang baru keluar dari kamar mereka. Syukurlah Emak berdandan karena beberapa hari lalu aku mengatakan kepada Emak bakal ada yang datang untuk menyampaikan niatnya bersamaku. Sekilas aku melihat Bang Adnan yang tampak gagah memakai baju kokonya, membuat jantungku makin tidak terkontrol.
Samar-samar terdengar suara tertawa renyah dari ruang tamu. Aku bersyukur mereka tampak akrab. Tidak ingin memperlama di dapur, aku pun segera membawa minuman ke ruang tamu.
"Masya Allah ini pasti Mawar, cantik sekali," puji ibunya Bang Adnan. Loh, kok Mawar ada di sini? Batinku. Saat itu aku melihat Mawar tersipu malu.
Walaupun bertanya-tanya, aku tetap meletakkan nampan di atas meja dan ikut duduk di samping Mawar. Ruang tamu hanya menyediakan delapan sofa yang mulai tampak lusuh. Ayah duduk di samping Emak, Bang Adnan duduk di singel sofa dan orang tua Bang Adnan duduk di sofa yang berhadapan dengan Ayah dan Emak.
Di sofa panjang ada Bang Munar dan Kak Nisa. Sofa yang tersisa hanya yang di samping Mawar. Aku merasa suasana semakin aneh, apalagi ibunya Bang Adnan menatap sebelah mata kepadaku, aku berpikir apa yang salah?
"Begini Jeng, selain untuk mempererat tali persaudaraan, kami ke sini juga hendak melamar putri kalian untuk putra kami," tutur ibunya Bang Adnan.
Aku merasa suasana semakin terasa aneh. Apalagi, Bang Adnan tidak sekalipun menatapku. Dia hanya mencuri-curi pandang kepada Mawar. Aku yang tadinya deg-degan, kini jantungku juga bergemuruh, tetapi tidak sampai negatif thinking. Mungkin hanya perasaanku saja.
"Silahkan sampaikan, Nak," ujar Bu Diana, ibunya Bang Adnan kepada putranya.
Aku semakin menunduk, sekarang jantungku berdebar kembali setelah tanpa sengaja tatapan kami bertemu. Lewat sorot matanya, Bang Adnan seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Semoga.
"Bismillahirrahmanirrahim, dengan nama Allah, kali ini saya Adnan ingin menyampaikan niat saya untuk memperistri putri Om dan Tante, yaitu..."
Bang Adnan menjeda ucapannya, membuatku makin was-was.
"Mawar Rainy," lanjutnya.
Mendengar itu, aku mematung seketika, masih berusaha mencerna ucapannya, selain itu aku sangat berharap dia meralat kembali nama Mawar yang dia ucapkan. Tapi ternyata tidak. Bagaikan disambar petir, aku merasa tersengat oleh sakitnya kenyataan dan kejamnya realita. Mendengar ucapannya, aku bagaikan tertimpa bangunan runtuh. Sudah terjatuh tertimbun pula. Miris sekali.
Aku bisa melihat Mawar tersipu, lalu dia senyum-senyum tidak jelas.
"Wah, terima kasih Nak Adnan atas niat tulusnya, walau bagaimanapun jawaban tetap ada pada putri kami," ujar Emak dengan senyum merekah.
"Adnan dan Mawar memang tampak lebih serasi," ucap Kak Nisa seolah memanas-manasiku.
Mungkin dia berusaha untuk membuatku makin sakit hati. Aku tidak tahan lagi dengan semua ini. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Kemudian aku pergi tanpa pamit, lalu menutup pintu kamarku. Setelah itu menangis sejadi-jadinya.
Sakit sekali ya Allah, ternyata begini rasanya patah hati. Aku segera menghubungi Zahra dan kabur dari jendela kamar. Tentunya, sangat tidak mungkin jika aku pergi melewati ruang tamu yang ada akan berhadapan dengan orang-orang yang egois.
Aku naik ojol menuju rumah Zahra. Saat seperti ini hanya dialah tempatku mengadu. (*)