"Kalian berdua sudah sama-sama lulus, apa ke depannya sudah ada rencana?" Pertanyaan Ayah membuat kami menoleh kepada kepala keluarga itu. Demikian halnya Emak yang mengangguk, juga yang ingin menanyakan hal yang sama.
Saat aku hendak menjawab, seorang yang berada di sampingku terlebih dulu bersuara.
"Yah, Mak. Mawar pengen kuliah. Pengen banget, kalau bisa Mawar harus kuliah, ya?"
Dia tampak memohon. Terlihat memelas saat menangkupkan kedua tangan juga mendukung kalau keinginan terbesarnya adalah kuliah.
Padahal, aku juga berkeinginan menempuh pendidikan di bangku kuliah.
"Kalau seandainya kalian berdua ingin kuliah, kami tidak ada biaya, Nak."
Kini Emak yang menjawab. Seketika ruang tamu hening. Tidak ada lagi yang bersuara.
"Dhira, kamu setuju kalau Mawar yang kuliah?"
Aku terperanjat mendengar perkataan emak barusan. Ujung-ujungnya aku juga yang diberi tawaran untuk mengalah. Seolah itulah takdirku. Entahlah. Rasanya sejak dulu sampai detik ini aku selalu berada di posisi yang selalu mengalah.
Mawar menoleh kepadaku. Dari sorot matanya tampak benar kalau dia memohon.
"Boleh, ya, Kak. Aku yang kuliah."
Melihat wajahnya yang penuh semangat itu tentu saja emak dan ayah salut pada kegigihan Mawar, sementara aku hanya diam membisu. Beginilah kalau terlalu sering mengalah. Pada akhirnya akan terus-terusan dipaksa mengalah demi kebaikan.
Aku mengangguk pelan. Tidak kuduga, Mawar langsung memelukku. Seumur-umur pertama kalinya pelukan itu datang. Mau tidak mau, aku tersenyum sambil mengusap punggungnya.
Ketika dihadapkan dengan hal yang paling diinginkan sekalipun, ternyata dituntut harus mengalah demi orang-orang yang disayang.
Begitupun Ayah dan Emak, kelihatan tersenyum karena aku kembali pasrah dengan keadaan. Kemudian aku pamit masuk kamar, mereka masih berceloteh ria di ruang tamu, sibuk memilih kampus dan jurusan apa yang hendak Mawar pilih.
Aku menghembuskan napas berat. Semoga ada hikmah dibalik rasa ikhlas yang dipaksakan ini.
***
Namaku Nadhira As-syifa. Aku akui, sungguh nama yang cantik. Siapapun pasti menduga, dari namaku tentu akan mengira kalau wajah dan fisik ini secantik namaku. Itu salah besar.
Aku gadis dengan segala kekurangan, kelemahan, dan tidak ada yang bisa dibanggakan. Kulit sawo matang, tinggi hanya 158 cm, berat badan juga hanya 49 kg, dan masih banyak kekurangan dalam diriku.
Sangat berbeda dengan adikku, Mawar Rainy. Sesuai namanya, dia seperti bunga mawar saat mekar. Parasnya cantik, putih, tinggi, body goals, otaknya juga cemerlang, bahkan lebih berprestasi dibandingkan aku. Terbukti selama di sekolah selalu menjadi bintang kelas. Bagaimana Ayah dan Emak tidak bangga, coba?
Usia kami terpaut setahun, alasan kami sama-sama lulus SMA adalah, aku pernah nganggur saat lulus SD, sehingga kami menjadi sama-sama lulus SMP dan SMA, meskipun sekolah kami berbeda. Mawar menempuh pendidikan di SMA, sementara aku menuntut ilmu di pondok pesantren.
Selain perbedaan tadi, dari segi pakaian dan penampilan juga kami sangat jauh berbeda. Mawar selalu tampil cantik dengan pakaian-pakaian kekinian, bahkan dia tidak pernah mau ketinggalan fashion. Sementara aku, sejak SD selalu memakai jilbab lebar, kaos kaki ketika keluar rumah bahkan pakaian yang terkadang menyentuh lantai.
Sejak dulu, keluargaku sering mempermasalahkan penampilanku, mereka juga pernah mengancam kalau aku sampai pakai cadar, akan mencoret namaku dari Kartu Keluarga. Walau berat hati, aku tetap mendengarkan. Mengalah dan mengubur dulu rencana untuk memakai cadar.
Tentang keluarga di rumah ini, selain aku dan Mawar, kami juga memiliki tiga Abang. Anak pertama adalah Bang Munar, sudah menikah tiga tahun lalu, tapi sampai sekarang belum dikaruniai anak. Rumah mereka berada di dekat rumah kami sehingga kak Nisa-istrinya, sering datang ke rumah. Sejak awal aku sudah membaca raut dan tatapan Kak Nisa yang memang tidak suka padaku. Demikian halnya dengan Bang Munar. Dari dulu juga tidak pernah dekat denganku. Namun dengan Mawar, mereka akrab sekali. Tentu saja perlakuan mereka berdua membuatku sangat iri.
Abang kedua bernama Bang Rasyid. dia juga sudah menikah setahun lalu dan tinggal di Kalimantan. Bang Rasyid sangat baik pada, bahkan dia lebih welcome. Bisa dibilang kami memang satu server. Pun dengan istrinya-Kak Aisyah, ramah sekali dan juga bercadar. Kak Aisyah lah yang membuatku berencana akan bercadar.
Namun, kehadiran Bang Rasyid dan Kak Aisyah sering dianggap tidak ada dan tidak dibutuhkan, sehingga mereka memilih menetap di Kalimantan Barat.
Abang ketiga namanya Leo. dia masih lajang. Aku tidak tahu banyak tentangnya. Emak pernah bercerita kalau Bang Leo pernah menjadi buronan polisi. Aku kira karena itu juga kami menjadi tidak tahu keberadaannya yang entah dimana. Mendekam di penjara? Atau masih berkeliaran? Ayah dan Emak tidak berniat untuk mencari tahu.
Sifat dan karakter semua saudaraku jugalah yang menjadi alasan untuk mengalah kepada Mawar. Selain itu, Ayah dan Emak juga sudah tidak mampu lagi bekerja, sehingga pendapatan keluarga terus menurun.
Bahkan, toko grosir milik kami pun terancam tutup. Selain karena persaingan dagang yang semakin ketat, banyak juga bermunculan toko grosir sejenis di setiap sisi.
Dulu, Ayah dan Emak tergolong pengusaha dan orang berada. Mereka memiliki puluhan ruko, bus sekolah, angkutan umum, bahkan lahan yang berhektar-hektar. Namun, itu dulu saat abang-abangku masih anak-anak.
Sayangnya, terlahir dari keluarga kaya membuat mereka lalai dan sering berfoya-foya, sehingga kekayaan itu secara perlahan hilang dalam sekejap. Saat aku lahir, kami sudah menempati rumah sederhana ini. Sebuah rumah dengan kondisi setengah beton yang memiliki tiga kamar.
Rumah kami berdiri di antara bangunan mewah nan menjulang tinggi, yang seolah menertawakan kalau kami berada di kelas bawah. Hanya lahan di belakang rumah yang tersisa. Di lahan itulah, Ayah dan Emak berkebun.
Saat aku berumur lima tahun dan Mawar empat tahun, Ayah pernah mengajak kami jalan-jalan keliling kota dengan mengendarai motor. Mungkin kendaraan ini merupakan satu-satunya harta yang tersisa setelah rumah dan lahan kebun terjual habis. Mawar duduk di depan, sementara aku di belakang. Aku memeluk erat tubuh Ayah dan kami tertawa bersama. Sama halnya dengan Ayah, saat itu seolah tak ada beban apapun di pundaknya.
"Ayah akan menyekolahkan kalian tinggi-tinggi sampai sarjana," ujar Ayah lantang. Membuat aku dan Mawar bersorak kencang hingga motor menjadi sedikit oleng.
Naasnya, bertepatan dengan itu, sebuah mobil pribadi secara tidak terduga telah menghempaskan kami dengan jarak yang sangat jauh. Ayah sigap menggendong Mawar, sementara aku, terlerai sejauh delapan meter. Tubuh sisi kiriku membentur batu, terutama kepala. Banyak darah keluar dari telinga kiriku. Tanganku tidak bisa digerakkan.
Saat masih sadar dengan tatapan kosong, aku sempat melihat mobil itu putar-balik. Sempat pula aku mendengar suara seorang anak perempuan berteriak. Pelan tetapi pasti, aku mulai tidak mendengar apa-apa lagi dan yang kulihat hanya gelap.
Dalam kondisi seperti ini, aku memohon kepada Allah agar nyawaku jangan dulu dicabut, karena masih ingin sekolah tinggi sampai sarjana sesuai janji Ayah.
***
"Kak Dhira ikhlas, kan, kalau aku yang kuliah?" Saat itu aku sedang berada di dapur menyiapkan makan malam, sementara Mawar hanya berdiam diri. Sekalipun dia tidak pernah membantu memasak. Huhh!
Aku tersenyum sangat tulus dan ikhlas. Walaupun Ayah tidak menepati janjinya agar kami sekolah tinggi-tinggi, aku tidak menunjukkan kekecewaan sama sekali.
"Maka dari itu rajinlah belajar. Melihat tekadmu yang kuat ingin kuliah, Kakak sudah sangat senang," jawabku sambil menyelipkan nasehat kepadanya.
Mawar tersenyum. Tiba-tiba terdengar seseorang mengucapkan, "Memang seharusnya Mawar yang kuliah."
Aku yang tadi tersenyum, langsung terdiam begitu melihat siapa yang datang. Dia adalah Kak Nisa. Selalu begitu, saat tiba waktunya makan, tidak pernah absen datang ke rumah. Paling kesalnya, dia sering mencampuri urusan kami. Malahan, sering mengompori antara aku dan Mawar. Daripada meladeni, aku memilih mengaduk sayur yang sedang dimasak.
"Kuliah itu gimana sih, Kak?" tanya Mawar, kepada Kak Nisa.
Kini mereka berdua duduk di meja makan. Mengobrol lagi seperti biasanya.
"Seru, Dek. Kakak yakin kamu juga akan betah kalau kuliah. Secara kamu juga berprestasi," puji kak Nisa
Begitulah mereka. Saling bercerita banyak hal diselingi cekikikan dan terlihat tampak akrab tanpa menghiraukan keberadaanku. Seolah aku tidak ada di sana.
"Oh iya. kamu gak pengap apa memakai baju lebar itu di rumah? Lagian hanya ada Abang dan Ayah saja?" tanya Kak Nisa yang entah sudah berapa kali menanyakan hal ini kepadaku.
Kak Nisa memang tidak pernah memakai jilbab di rumah, termasuk di sekitar komplek. Kak Nisa dan Mawar memang sesempurna itu bagi semua orang.
"Gak, Kak," jawabku singkat.
Mereka kembali mengobrol banyak hal. Sekarang tampak berbisik-bisik sehingga aku tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Baguslah.