Angka-angka tidak pernah mengkhianati logika. Empat tambah empat selalu delapan. Nilai sempurna selalu seratus. Dan posisi tertinggi itu selalu satu.
Islamia hidup di dalam sistem itu—rapi, stabil, dan bisa diprediksi seperti layaknya konfigurasi atom yang harus berbaris rapi mengitari orbit agar stabil. Mia yakin ketika dirinya terus berlari dengan kecepatan yang sama, semuanya akan baik-baik saja dan dia tidak akan kalah.
Mia suka belajar. Beneran suka. Bagi Mia menghafal rumus itu menyenangkan. Menyelesaikan soal itu sebuah kepuasan tersendiri. Melihat angka 100 di pojok kanan atas kertas ulangan rasanya seperti matahari yang terbit setelah hujan—hangat dan menenangkan. Tapi entah sejak kapan belajar tidak lagi terasa menyenangkan sejak rankingnya turun ke posisi dua. Sejak nama Zaryn Al Ghazali bertengger di atas namanya. Dan sejak itu, Mama mulai mengulang kalimat yang sama setiap kali nilainya tidak sempurna :
“Kamu kenapa, Mia?”
“Mia capek, Ma.”
“Capek apa? Belajar itu bukan siksaan. Kamu aja yang makin malas. Lihat, tuh, kakakmu, Azam. Turun ranking sekali, bisa langsung naik lagi. Karena apa? Karena dia bukan pemalas kayak kamu, Mia.”
Perbandingan dengan Azam seharusnya sudah selesai. Tapi Zaryn datang, dan semuanya mulai dari awal lagi. Dia muncul seperti gangguan tak terduga dalam persamaan yang Mia kira sudah sempurna. Tidak tergesa, tidak terlalu rapi—bahkan kadang tertidur saat guru menjelaskan. Tapi hasilnya mencengangkan. Dan yang lebih menyebalkan tentang si Zaryn itu adalah : Dia tidak pernah menganggap Mia sebagai saingan. Mia yakin itu hanya penghiburan atau malah kedok untuk menutupi rasa sombongnya karena berhasil merebut peringkat satu.
“Kita kan sama-sama mau ke ITB,” katanya sambil tersenyum ringan sore itu setelah mereka selesai dengan kelas intensif Bu Kartika untuk olimpiade sains. “Daripada bersaing, mending kerja sama, kan?”
Mia mengerutkan kening. “Kamu enggak merasa kita bersaing?”
“Kalau tujuannya sama, buat apa bersaing? Mending bareng. Siapa tahu kita bisa sampai bareng juga.”
Kata-katanya terasa seperti rumus yang belum sempat Mia pahami. Mia terdiam. Memangnya bisa? Atau itu hanya trik baru untuk membuat dirinya lengah lagi?